REC-27

4.9K 641 196
                                    

Jakarta, Indonesia.


"Why? Don't tell me you're suddenly feeling guilty. You're aware that your emotions will be useless, right? Feeling sorry is also pointless now."

Narendra menyilangkan tangan di depan dada, menatap Nolan seraya menertawakan tingkah diam pria itu. Karena kesibukan keduanya dan juga karena sulit mencari jadwal sama untuk bertemu, after three tense days, Narendra and Nolan finally meet.

Bertempat di Table8 Hotel Mulia, Nolan sengaja menyewa private room untuk pertemuannya dengan Narendra siang ini. Selain karena permintaan khusus dari Narendra, Nolan sendiri berpikir kalau mereka butuh tempat yang tertutup untuk membicarakan sesuatu yang dirasanya sangat penting.

"Didn't you expect the news to be so popular among the public?" Narendra kembali menyahut, menekankan kata 'popular' dengan gerakan kedua tangannya.

Nolan memejamkan kedua matanya, menghela napas panjang. Kalau Nolan tahu berkonfrontasi dengan Narendra akan sesulit ini, mungkin sejak awal ia harus memperhitungkan segala aspek saat meminta mantan politikus itu untuk membantunya.

Selama kurang dari satu minggu ini, Nolan sulit tidur. Selain karena banyak sekali tekanan yang menyangkut dunia pekerjaannya, juga hubungannya dengan Sarah yang belum membaik juga, ada satu beban berat lain yang harus Nolan tanggung. Beban yang baru ia rasakan setelahnya—semacam penyesalan karena mengambil tindakan dengan pemikiran pendeknya.

Tidak mendapatkan respons apa pun dari Nolan, Narendra mendengkus. "Lo mikir apa, sih, Lan? Shouldn't you be relieved that news about you and Sarah has disappeared completely?" tanyanya, ditambah dengan raut wajah heran.

"Is it really necessary to ask that right now?" Nolan menyergah cukup keras.

Bukannya terkejut, Narendra justru tertawa meningkahi sikap Nolan yang terkesan kasar kepadanya. "Stress banget kayaknya, ya?" ejek pria itu sambil menggelengkan kepala. "Terus lo mau ditanya soal apa? Apa gue juga perlu tanya kabar lo, Lan? When I can judge and see for myself from your red eyes, eye bags, and face—astaga!" ujarnya dengan nada berlebihan, lengkap dengan raut wajah mengejek yang ditujukan pada Nolan.

Nolan mengibaskan tangan, menyuruh Narendra untuk berhenti berbicara. "I'm about to go insane...," gumamnya pelan. Tangan Nolan bergerak menjambak rambutnya—selagi menahan teriakan yang makin membuat Narendra tertawa geli.

"Why did you become so depressed? When did it take you so long to agree with my idea back then?" Setelah berhasil meredakan tawa, Narendra menimpali sembari menghapus air mata di sudut matanya.

"Gue lebih heran lagi karena lo bisa bertingkah gini, Ndra." Melempar raut wajah tidak percaya, Nolan menghela napas panjang menanggapi segala respons yang diberikan Narendra.

Tampak santai, Narendra meneguk air putih sebelum buka suara, "memang gue harus apa? Yang beritanya lagi rame diluaran sana juga nggak ada sangkut pautnya sama gue," ujarnya cuek. "You should be able to do the same as I did. Mau sekarang atau nanti—beritanya juga bakal kebongkar, Lan. Mau disembunyiin kayak gimana juga pasti bakal rame pada waktunya," sambung Narendra sambil tertawa.

Sayangnya, Nolan tidak bisa bersikap sama santainya seperti Narendra. Setelah mengambil keputusan, dan membiarkan Narendra dan staf-nya menyelesaikan sisanya, Nolan sama sekali tidak berpikir kalau berita yang digunakannya untuk menurunkan sharing beritanya bersama Sarah berhasil menarik perhatian banyak media dan menjadikannya berita utama.

"It's been three days, and the media is still keen on making 'that news' the front page of their news portal. I really didn't expect that—you know, usually when there are rumors or other important news, the news quickly drops its share rating." Nolan menghembuskan napas kasar, ia kembali menyuarakan kegelisahan yang melingkupinya akhir-akhir ini.

RECONNECTED (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang