(Jakarta, Indonesia—in the distant past)
"Mau ke mana?"
"Kamar." Selesai menjawa pertanyaan Alice, Aline segera melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki lift menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Aline berusaha menutup telinga, saat tepat di belakang punggungnya—seluruh keluarganya tengah meributkan lamaran yang Nolan rencanakan diam-diam dengan mengumpulkan seluruh keluarga besar untuk acara makan malam.
Jemari Aline yang sedang sibuk melepas Cartier yang melingkari pergelangan tangannya sontak terhenti, begitu ia mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka—hampir membanting—oleh Alice.
Aline menghela napas panjang. Sudah ia duga kalau Alice tidak akan melepasnya dengan mudah. Alih-alih menanyakan keberadaan saudaranya itu, Aline kembali fokus melepas beberapa accecories yang menempel di tubuhnya.
"Dari reaksi lo tadi, gue tahu kalau lo sama cluelessnya kayak kita semua."
Berhasil melepas anting, dan menggantungkannya di earring holder, Aline memutar tubuhnya guna menatap Alice yang sedang duduk tegap di atas ranjang miliknya.
"What's the point of it all?" Bersedekap seraya menatap tajam Alice, Aline bertanya.
Mengikuti gestur yang sama—melipat kedua tangan di dada—Alice menghela napasnya panjang. "Duduk sini." Ia menepuk-nepuk bagian ranjang yang kosong di sebelahnya, memberikan gestur pada Aline untuk duduk di sana.
Menuruti kemauan Alice, Aline bergerak ragu sebelum duduk di samping Alice. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam saat kedua tangan Alice bergerak menangkup salah satu tangannya dengan erat.
"I just want you to think and be realistic." Alice berujar cukup pelan, masih menggenggam tangan Aline, ia melanjutkan, "kebahagiaan itu semu, Lin, and I don't want to let you get caught up in it," katanya dengan suara yang terdengar makin lirih.
"Nggak seharusnya lo ngomong kayak begini ke gue sekarang, Lis." Sama lirihnya, Aline menanggapi sambil menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya setelah mendengar perkataan saudaranya beberapa detik lalu.
"Lin, please never doubt how much I want you to be happy." Tubuh Alice bergerak miring, menarik genggaman keduanya, dan membuat Aline mengikuti arah tubuhnya—duduk saling berhadapan. "Tapi, nggak dengan cara itu. Bukan sama Nolan." Ia membungkukkan tubuh, mencoba menyetarakan tatapan dengan kedua mata Aline.
Kepala Aline lagi-lagi bergerak ke kanan dan kiri secara bergantian. Alice memang sering bersiteru dengannya, mulut kakaknya itu tidak segan mengeluarkan kalimat kasar untuk menegur Aline. Hanya saja, apa yang baru saja dikatakan Alice benar-benar membuat hatinya terluka.
Setelah memejamkan mata sesaat, Aline menegapkan kepalanya—membalas tatapan Alice yang berkaca-kaca. "Why don't you just let me be happy if you really don't want me to doubt you? What's your beef with my relationship with Nolan?"
"Did he know? Have you told everything to Nolan?"
Ucapan Alice barusan seakan berhasil membekukan waktu. Setiap kata yang sudah Aline persiapkan untuk menyanggah setiap perkataan sang kakak, tertelan kelat.
Menahan tangis, Alice menarik tangan Aline yang berada di dalam genggamannya ke depan keningnya. "Do you believe Nolan will accept everything? Like you—your family—who accepts you exactly as you are? Apa lo yakin kalau semuanya bakal baik-baik aja, meski dengan kondisi lo yang seperti ini, Lin?"
"Gue—" Ucapan Aline sontak terhenti karena wanita itu tersedak tangisnya sendiri. "—gue tahu kalau jalan ke depannya nggak akan mudah. Tapi, ini Nolan, Lis. A wonderful man, a man who offered to listen to my complaints. This is the type of man God has given me in my life." Dengan senyum yang merekah lebar di bibirnya, air mata Aline perlahan juga ikut turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECONNECTED (COMPLETED)
ChickLitreconnected [ /ˌriːkəˈnektɪd/ ]: connect back together. We've been hurt, kicked down-totally devastated. We just try to keep living with the numb feeling. This is how it feels now. Nothing. At the time, when God has his plans-when we are ready to e...