~10~

1.1K 89 7
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Film selesai pukul 9 malam, teman-teman mereka yang lain langsung pulang setelahnya. Mereka besok masih harus sekolah, kecuali Risku.

"Gue minta maaf." Kata Risku tiba-tiba.

Membuat Tegar yang sudah hampir memasuki alam mimpi jadi terbangun kembali. Dia sudah berjanji kepada mamanya untuk tidak menggangu waktu istirahat Risku, maka dari itu ia memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.

"Buat?"

"Gue tadi marah-marah, padahal cuma masalah sepele. Lo ga sakit hati kan?"

Tanya Risku memastikan, ia merasa bersalah. Mungkin karena dari kecil orang-orang selalu bersikap lemah lembut kepadanya, Risku menjadi orang yang perasa, dia akan merasa langsung bersalah jika tidak sengaja marah atau membentak orang lain.

Tegar yang awalnya memunggungi Risku jadi berbalik arah, melihat Risku yang sedang memandangi langit-langit kamarnya. Setelah itu, ia melakukan hal yang sama.

"Gue ngerti kok. Lo kan emang selalu emosian kalau lagi sakit."

"Iyasih, gue juga bingung. Kenapa emosi gue meledak-ledak kalau gue lagi sakit,"
Ucap Risku.

"Tadi, gue cerita ke Dinda tentang semuanya. Gue ga tega liat dia murung cuma gara-gara gatau tentang penyakit gue." Sambungnya lagi.

"Emang udah saatnya dia tau Ku, kasian juga plonga-plongo kayak monyet gatau apa-apa." Tegar menyahut enteng.

Membuat Risku langsung memukul tangannya kesal.
"Sembarangan cocotlu kalau ngomong."

"Sakit anjir." Sungut Tegar sambil mengusap-usap tangannya yang panas.

Lalu mereka kembali fokus menatap langit-langit kamar.
Memang malam hari itu saat paling nikmat untuk memikirkan banyak hal, apalagi kalau ada temennya.

"Terus dia tadi juga bahas Raka, katanya dia sedih karena waktu Raka gaada dia gatau apa-apa. Gue inget waktu itu kita semua kalut banget, sampai baru sempat ngabarin Dinda pas hari setelah Raka dimakamkan."

"Oh iya? Emang Dinda dimana?" Tanya Tegar penasaran. 

"Dinda waktu itu pindah ke kota lain karena proyek papinya disana, jadi kita pisah sejak kelas 5 sd, tapi kita masih sering ketemu kalau liburan, orang tua kita juga masih sering tukar kabar. Terus dia pindah lagi pas kita udah masuk SMA." Cerita Risku panjang. "Gue jadi kangen Raka," katanya sedih.

"Mending sekarang kita tidur, lo ga boleh begadang, nanti kak Sarel marah." Tegar segera mengalihkan perhatian saat melihat Risku yang sudah mulai akan menangis. Selalu seperti ini, kalau sudah ingat Raka pasti sahabatnya itu akan bersedih.


"Dulu gue egois banget ya Gar, pasti Raka marah sama gue, makanya dia milih pergi. Kalau dulu gue ga terlambat baca pesan dari dia, dia pasti masih ada disini." Risku mulai meracau.

"Udah ku, udah. Semua ini takdir, ga ada yang bisa disalahkan."

"Tapi, kalau dulu gue maksa dia satu sekolah sama gue, dia pasti ga akan ninggalin gue kan." Punggungnya mulai bergetar karena menangis. Entah kenapa, hatinya sakit. Apalagi saat melihat foto dirinya dengan Raka yang ia simpan di atas meja belajar, selalu mengingatkannya pada hari itu, hari dimana Raka pergi untuk selamanya.

Sudah beribu kali Sarel ingin menyingkirkan foto tersebut, namun jika ia lakukan, apakah Risku akan merasa lebih baik? Apakah Risku akan melupakan Raka? Tidak ada yang bisa menjaminnya. Karena foto itu adalah satu-satunya kenangan Risku bersama Raka. Meskipun kenangan tersebut penuh dengan luka.

my freak brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang