~13~

283 15 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dinda berhasil mengejar Salsa. Menyamakan langkah cepat gadis itu menuju UKS. Mengabaikan rasa terkejutnya tentang apa yang baru saja Salsa lakukan. Ia yakin, tanpa melakukan tes DNA pun orang-orang akan percaya kalau Salsa memang anak Tante Sabina. Mirip sekali tingkahnya jika sudah marah.

Mereka berdua berjalan beriringan. Sesekali Dinda lihat muka sahabatnya, memastikan emosi gadis manis itu sudah cukup mereda.

Saat ruang UKS sudah dekat, Dinda dan Salsa dibuat semakin panik ketika melihat Om Juned yang juga berjalan tergesa menuju ruangan tersebut. Mereka pikir mungkin sesuatu yang buruk terjadi kepada Risku sampai Om Juned harus datang kemari.

Tapi, saat ketiganya sudah berada di ambang pintu UKS yang memang tidak ditutup, mereka malah dikejutkan dengan Risku yang lagi adu cekcok sama Tegar.

"Gue ga mau Tegar... Gamau..."
Terdengar suara Risku yang merengek dengan lemah. Dia sedang berbaring di ranjang. Dengan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.
Darah yang keluar dari hidungnya sudah berhenti dari tadi.

Risku tadi tidak benar-benar pingsan, namun kepalanya sangat pusing dan dadanya sedikit sesak. Maka dari itu, dokter penjaga UKS memberinya bantuan oksigen.

Tegar yang berdiri di sisi ranjang menjambak rambutnya frustasi.

"Risku, lo harus diperiksa. Gimana kalau ada masalah sama otak lo?" Kata Tegar memaksa. Waktu ia menghubungi Om Juned untuk membawa Risku ke rumah sakit tadi, anak itu malah uring-uringan berkata tidak mau. Bahkan sudah hampir menangis.

Risku menggeleng, "Gue udah gapapa, dua jam lagi kan sekolah udah pulang. Gue mau nunggu di sini aja sampai pulang. Gue gamau ke rumah sakit." Jawabnya lagi, kali ini ia buka masker oksigen yang menutupi, agar suaranya terdengar lebih jelas.

Tegar langsung memasang benda itu lagi saat melihat Risku terengah-engah setelah menyelesaikan kalimat panjangnya.

"Lo kenapa-kenapa, gaada yang gapapa." Tegar berkata tegas.

"Iya gue kenapa-napa. Tapi gue ga mau ke rumah sakit." Ucap Risku pelan. Air matanya ikut menetes. Tangannya terus meremat kepalanya yang pusing. Tambah pusing karena harus beradu mulut dengan Tegar.

"Om... Risku gamau... Hikss." Katanya pada Om Juned yang sudah mendekat. Tangisnya pecah, membuat orang-orang di sana akhirnya luluh. Tidak mau memaksa lagi.

Salsa mendekati ranjang, memijat kepala abangnya pelan untuk membantu mengurangi rasa sakit. "Yaudah, kita di sini aja ya. Ga jadi ke rumah sakit. Udah cup cup,"

Salsa mengambil tisu yang berada di samping ranjang, membersihkan air mata dan keringat yang membasahi muka abangnya, "Udah, berhenti nangisnya, nanti tambah sesek loh."

Risku yang merasa nyaman dengan pijitan Salsa akhirnya merasa tenang, ia berhenti menangis. Matanya mulai sayu karena mengantuk.

Sedangkan Dinda yang ingat dengan tujuan awalnya pun memilih berjalan ke area ranjang lain yang berada sedikit jauh dari tempat Risku, ditutupi oleh tirai. Di sana sudah ada temannya yang ternyata sedang tertidur. Ia duduk di bangku samping ranjang. Lega karena Risku sudah ditangani. Dinda melamun, dia jadi merasa bersalah. Berpikir jika Haikal berbuat seperti itu karena dirinya.

"Mas Risku sudah minum obat, Gar?" Tanya Om Juned yang sedari tadi berdiri di samping Tegar. Ia tadi sedang bermain catur dengan Satpam sekolah ini saat tiba-tiba Tegar menghubunginya dengan panik, menyuruhnya segera ke UKS dan membawa Risku ke rumah sakit.

"Udah tadi, paling bentar lagi tidur ni anak. Heran, keras kepala banget." Balas Tegar dengan nada jengkel.

Om Juned mengelus pundak Tegar. Ia paham jika sahabat tuan mudanya ini pasti sangat khawatir. "Sudah, tidak apa-apa. Nanti biar mas Sarel yang mengurus."

my freak brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang