~9~

912 81 5
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hal yang paling menyakitkan menurut Risku itu adalah ketika ia harus membagi rasa sakitnya dengan orang lain. Dengan orang-orang yang ia sayang.

Bahkan rasanya lebih menyakitkan melihat orang disekitarnya menangis karena keadaan tubuhnya yang semakin memburuk.

Seperti melihat Salsa menangisinya kemaren, ia mati-matian menahan sesak. Sakit rasanya melihat Salsa menangis hanya karena dirinya. Risku ingin egois, ingin sekali ia pergi membawa semua sakit itu sendiri, Risku ingin menyerah, Risku juga lelah, lelah sekali.

Untuk mengurangi rasa sakitnya, ia memilih tidak memberitahu Dinda tentang keadaannya.

Risku takut, takut akan lebih banyak luka kalau dia benar-benar pergi nanti. Risku tidak mau menjadi kenangan menyedihkan di benak lebih banyak orang.

Maka dari itu, dari banyaknya orang yang tidak tau tentang sakitnya Risku memilih Dinda sebagai salah satu yang tidak ia beri tau. Meskipun berkali-kali Dinda bertanya padanya.

Namun sekeras apapun Risku menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.

"Bukankah sekarang saatnya?"

Risku menatap Dinda bingung.

"Lo sakit apa?"

Sekarang Risku paham, tentang apa yang membuat gadisnya ini murung terakhir belakangan.

Tanpa mereka sadari matahari mulai menenggelamkan dirinya, menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat.
Suasana kamar Risku sedikit berubah, karena tadi sang surya yang menerangi mereka. Namun hari mulai berganti malam, dan dengan otomatis lampu kamar Risku hidup sendiri.

Mendengar penuturan Dinda, Risku langsung menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.
Risku terdiam cukup lama, memikirkan kata apa yang cocok untuk dia utarakan. Sampai akhirnya ia mengambil nafas panjang lalu tersenyum, kemudian ditatapnya mata itu dalam-dalam.

Mata yang dipenuhi oleh sirat kecemasan dan kekhawatiran.

Mungkin dulu, Dinda memang tidak terlalu memaksa, melihat Risku yang selalu mengalihkan pembicaraan kepada hal yang lain, akhirnya Dinda mengalah. Tapi kali ini tidak lagi, dia sudah tau kebenarannya, dan harus mendapatkan jawaban dari orangnya langsung.

"Lo beneran gapapa denger ini?" Tanya Risku hati-hati.

Dinda mengangguk mantap. Ya iya, orang dia aja udah tau sampai hampir kecelakaan.

"Dari kecil kita temenan, gue ngerasa kita ga pernah bener-bener saling mengenal. Gue udah sering nanya kenapa lo ga boleh lari-lari padahal anak laki-laki biasanya aktif banget kejar-kejaran, kenapa Risku gaboleh main keluar rumah, kenapa dia selalu ke rumah Tante Sabina buat main sama Salsa, kenapa Risku harus selalu minum obat yang jumlahnya ga sedikit, kenapa Risku sering masuk rumah sakit. Tapi gaada yang pernah bener-bener jawab pertanyaan gue." Dinda ragu untuk melanjutkan atau tidak.

Risku diam mendengarkan, memberi ruang untung Dinda meluapkan isi hatinya.

"Risku gue takut... Waktu Raka pergi, gue gatau apa-apa. Bahkan gue ga hadir ke pemakamannya. Gue takut hal itu keulang lagi, gue gamau gatau apa-apa lagi, jadi tolong ya, jelasin semuanya, ceritain semua yang gue gatau, gue mohon." Dinda menggenggam tangan Risku.

Risku tersenyum sendu.
"Gue sakit jantung dari kecil. Makanya Mama ga pernah bolehin gue main keluar rumah. Makanya Mama ga bolehin gue kecapean, makanya gue sering keluar masuk rumah sakit dan harus minum obat yang ga sedikit." Risku berhenti berbicara lalu membuka laci kecil di bawah kasurnya.

my freak brotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang