Andre yang paham mencoba memberikan ketenangan pada raya dengan menggenggam tangan Raya yang ada di lengannya itu.
“Semua akan baik-baik saja aku janji.”
“Tapi---“
“Tenanglah.”
Sekarang giliran keluarga besar Wijaya yang akan datang mengucapkan selamat kepada Andre dan Raya. Itulah sebabnya mengapa Raya menjadi takut. Dia masih sedikit trauma dengan kata-kata yang di lontarkan Tio dan juga Dina.
“Kau memang keras kepala.” Kata itulah yang pertama kali Tio ucapkan. Bukannya mengucapkan selamat malah sindiran yang Andre dapatkan.
“Jangan rusak hari bahagiaku Pa,” lirih Andre.
“Jadi kau menganggap Papamu ini sebagai perusak.”
“Pa, sudahlah jangan bertengkar ini hari bahagia anakmu,” lerai Mawar yang mulai merasakan atmosfer permusuhan antara anak dan ayah itu.
“Terserah,” ucap Tio lalu pergi meninggalkan pelaminan.
“Raya sayang kamu jangan masukin hati sama apa yang dibilang papanya Tio ya,” ucap Mawar lembut sambil memeluk Raya.
“Makasih, karna Mama udah mau datang.”
“Tentu sayang, maaf karna selama ini Mama sama papa terlalu banyak nuntut kamu,” lirih Mawar. Andre menggeleng pertanda apa yang ibunya itu katakan salah. Selama ini Andre tidak pernah keberatan saat orang tuanya menuntut ini itu. Karna menurutnya itu sudah menjadi kewajibannya sebagai anak pertama.
“Mama sama papa gak salah lagi pula Andre gak pernah keberatan soal ini.”
“Mama nyusul papa kamu dulu.”
Hanya tersisa Dina dan Alfin--- adik pertama Andre di sana. Alfin adalah bos Raya yang lama. Alfinlah yang sudah menolong Raya sampai Raya bisa memiliki hidup yang lebih layak seperti saat ini.
“Selamat karna sebentar lagi lo bakalan jadi orang kaya. Gue rasa setelah ini lo gak perlu kerja cukup duduk cantik di rumah dan nyerahin badan lo sama Kak Andre.” Raya memejamkan matanya saat Dina menghinanya dengan begitu kejam. Raya tidak ingin memperkeruh suasana dengan membalas omongan Dina.
“Jaga ucapan kamu Dina!” bentak Andre.
“Lihat bahkan Kak Andre ngebentak gue Cuma buat belain lo!” sarkas Dina dan pergi meninggalkan pelaminan.
“Sudah biarkan saja Dina butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan semua ini,” ucap Alfin sambil menepuk bahu Andre.
“Makasih karna selama ini lo udah banyak bantu gue.”
“Santai aja gue ini Adik lo udah seharusnya kita saling berbagi masalah, ‘kan?” Andre mengangguk dan langsung memeluk adiknya itu.
“Lepas! Jijik gue lihat kita damai kayak gini,” kekeh Alfin sambil memukul bahu Andre.
“Sialan memang.”
Alfin beralih ke arah Raya. Kemudian memberikan satu buah kotak berukuran kecil sebagai hadiah pernikahan untuk kakak ipar barunya itu.
“Apa, ini Pak?” tanya Raya bingung.
“Astaga ini bukan di kantor lagi pula aku ini Adik iparmu kenapa kau malah memanggilku dengan sebutan, Bapak?” decak Alfin tak suka.
“Maaf aku belum terbiasa, tapi aku harus memanggil Bapak dengan sebutan apa?”
“Panggil nama saja,” ucap Alfin yang di balas anggukan kepala oleh Raya.
“Ya sudah kalau begitu aku pamit.”
**
Malam ini Andre dan Raya langsung pulang ke rumah. Mereka berdua masuk ke dalam kamar yang sama. Kamar yang datar tanpa ada hiasan lilin ataupun taburan bunga mawar.
“Kamar pengantin macam apa ini!” umpat Andre sambil membuka jasnya.
“Kenapa? Lagi pula seperti ini terlihat lebih bagus.”
“Bagus bagimu, buruk untukku.”
Raya tidak menggubris ucapan Andre. Lantas istri dari Andre itu masuk untuk membersihkan badannya yang lengket akibat seharian menjadi pengantin.
“Aaaa!” teriak Raya kuat sambil menutup kedua matanya.
“Apa kau gila hah!” bentak Andre.
“Kau yang gila. Mengapa kau tidak memakai baju!” kelakar Raya.
Bagaimana mungkin Raya tidak kaget. Saat keluar dari kamar mandi pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah Andre yang hanya menggunakan handuk tanpa atasan.
“Aku baru saja selesai mandi dari kamar sebelah dan aku ke sini ingin mengambil bajuku,” jawab Andre santai sambil melalui Raya dan masuk ke dalam walk in closet miliknya.
“Dasar gila!”
**
Raya merebahkan badannya di atas kasur. Ternyata seharian berdiri itu sangat melelahkan. Baru saja matanya ingin terpejam tapi tiba-tiba dengan entengnya Andre ikut tidur di samping Raya.
“Apa yang Bapak, lakukan?”
“Saya bukan Bapakmu! Bisakah kamu mengganti panggilan itu,” ucap Andre sambil menaikkan selimutnya.
“Tidak. Itu sudah panggilan permanen yang tidak bisa di ubah,” balas Raya sambil menarik selimut yang di pakai Andre.
“Hey! Aku ingin tidur,” keluh Andre. Sambil mengambil kembali selimutnya.
“Tidak bisa Bapak harus tidur di kamar lain ini sudah menjadi daerah teritorialku!”
“Ini rumahku jika kau lupa!”
“Aku Istrimu jika Bapak lupa!”
“Tapi aku membeli ini dengan uangku!”
“Milik Suami juga milik Istri!”
“Kau memang istri yang durhaka!”
“Dan Bap---“
Andre langsung membungkam mulut Raya yang cerewet itu dengan bibirnya. Perlahan tapi pasti Andre mulai naik ke atas tubuh Raya. Andre selalu kehilangan kontrol saat berada di dekat Raya.
Raya yang terbawa suasana pun mengalungkan tangannya di leher Andre dan membalas lumatan-lumatan panas yang suaminya itu berikan. Raya melenguh kala tangan kekar Andre sudah masuk ke dalam piyamanya. Hampir saja tangan Andre mencapai sesuatu di atas sana suara ponsel milik Andre mengganggu aktivitas panas mereka berdua.
“Sialan!” umpat Andre dan turun dari atas tubuh Raya untuk mengambil ponselnya.
Tanpa melihat siapa yang menelpon Andre langsung mengangkatnya.
“Kenapa Hah!” teriak Andre.
“Di ... Dia sudah kembali.”
“Apa, maksudmu?”
“Nadia.”
Prang!
Ponsel yang di tangan Andre jatuh saat mendengar satu nama yang selama ini sangat dia rindukan lebih dari apapun. Tanpa membuang waktu Andre langsung menyambar kunci mobil yang ada di atas nakas. Setelah itu dia pergi meninggalkan Raya tanpa memberikan penjelasan apapun kepada istrinya yang tengah kebingungan.
“Kau, mau ke mana?” tanya Raya bingung.
“Bukan urusan!” ketus Andre dan langsung pergi.
“Dia, kenapa?”
**
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Tak Terduga [End]
Romance"Apa kau sudah selesai menilai ku!" sarkas bos baru itu. Sontak Raya langsung tersadar dari lamunan panjangnya. "Eh maaf Pak." "Apa kau sadar kau sudah terlambat selama satu jam lewat tiga menit empat puluh detik!" "Iyah Pak, maaf saya sadar saya be...