Penantian

93 4 0
                                    

Raya berdiri di depan cermin sambil melihat perutnya yang sudah sangat besar itu. Ini sudah memasuki bulan-bulan untuk Raya melahirkan. Tentu saja ada rasa takut dan cemas yang bersarang di dalam hati Raya. Dia selalu takut jika nanti anaknya lahir tanpa ibu.

Tapi, Mawar selalu memberi dukungan agar Raya tidak terlalu cemas dan memikirkan hal-hal yang buruk. Mawar dan suaminya sudah tinggal di rumah ini sejak satu minggu terakhir. Itu semua mereka lakukan karena belakangan ini Andre sangat sibuk di kantor. Ada banyak proyek di luar kota yang harus langsung dia selesaikan.

Dan hari ini Andre akan pulang setelah lima hari pergi ke Kalimantan. Rasanya dia benar-benar merindukan istrinya dan juga calon anak mereka.

“Assalamualaikum!” teriak Andre saat baru sampai masuk ke dalam rumah.

“Raya di mana Ma?” belum sempat Mawar menjawab salam Andre. Laki-laki itu langsung menanyakan keberadaan istrinya.

“Raya ada di kolam,” jawab Tio.

Andre langsung berlari menuju halaman belakang tempat di mana kolam berenang berada. Raya duduk di gazebo sambil menatap kosong ke arah kolam renang itu. Andre langsung memeluk Raya dari belakang. Menghadiahi istrinya itu kecupan-kecupan mesra.

“Kenapa kamu tidak masuk saja, cuacanya sedang mendung dan sepertinya sebentar lagi hujan,” ucap Andre sambil melepaskan pelukannya. Raya menyandarkan kepalanya ke dada bidang Andre. Memejamkan matanya menikmati usapan lembut dari Andre.

“Jika nanti dokter membuat pilihan. Kau harus lebih mementingkan anak kita.” Andre mengernyit tidak paham dengan ucapan Raya.

“Apa, maksudmu?”

“Aku takut jika nanti saat aku melahirkan dokter memberikan pilihan antara harus menyelamatkan ibunya atau anaknya.”

“Raya!”

“Kamu harus memilih anak kita,” ucap Raya tanpa mendengarkan teguran Andre.

“Raya. Itu semua tidak akan terjadi lagi pula selama ini dokter bilang kandunganmu baik-baik saja. Kesehatanmu juga tidak bermasalah jadi semuanya pasti baik-baik saja,” lirih Andre dengan mata yang memerah menahan tangisnya.

“Aku takut,” isak Raya. Andre langsung memeluk Raya mengusap punggung istrinya itu. Memberikan ketenangan agar kekhawatirannya sedikit berkurang.

“Semuanya pasti baik-baik saja percayalah.”

**

“Andre kakiku sangat sakit.” Andre tersenyum dan langsung mendekat ke arah Raya yang sedang duduk di atas sofa yang ada di kamar mereka.

“Sebaiknya kamu menggunakan lift saja. Jangan pakai tangga,” ucap Andre sambil memijat kaki Raya yang sedikit membengkak.

“Apa susahnya sih tinggal naik lift. Aku itu gak mau kalo kamu jadi sakit kayak gini. Lain kali kalo kamu butuh sesuatu panggil pembantu atau mama saja. Lebih baik jika kamu di kamar saja.” Andre terus-terusan mengoceh sampai telinga Raya panas karna itu.

Tapi, mau bagaimana lagi Andre memang sangat khawatir kepada Raya. Dia ingin agar anak dan ibu selamat saat melakukan persalinan.

“Kamu ih! Baru pulang ngomel-ngomel mulu. Harusnya itu istrinya di sayang-sayang atau di manjain gitu!” kesal Raya.

“Ya, tapi kamu buat aku khawatir Yang.”

“Makanya kamu jangan pergi-pergi. Gimana nanti pas aku lahiran kamu di luar kota.” Raya terisak saat mengatakan itu.

“Hey, jangan nangis dong janji deh mulai hari ini aku gak bakalan ke luar kota.” Namun, Raya tetap saja menangis.

“Sayang udah dong jangan nangis. Serius nanti aku gak bakalan ke luar kota lagi.” Raya mendongak dan langsung memeluk Andre.

Jodoh Tak Terduga [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang