Prolog

17.4K 688 7
                                    

Catherine

Malam itu, sangat tidak ingin kuingat kembali. Pembicaraan orang tuaku yang sangat menusuk dan meninggalkan rasa sakit tak terlupakan. Ayahku mengaku bahwa aku bukanlah anak kandungnya.

***

"Kita cerai saja kalau itu maumu." Ujar ayah berusaha tenang.

"Apa?" Ibu terlihat kaget dengan ucapan ayah itu.

"Aku sudah tidak tahan dengan segalanya." Ujar ayah sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Tung.."

"Oh iya. Anakmu itu, urus saja dia sendiri. Aku tidak mau dibebani dengan orang asing. Kamu tahukan, dia bukan anak kandungku?" Ujar ayah. Tatapannya mengkilat, seperti ingin menembus segala lapisan yang ada didepannya.

Ibu terlihat gemetar. Dia terisak hebat. Bagaimana bisa ayah mengatakan seperti itu? Aku mematung, nafasku tercekat. Kakiku membatu, tidak bisa membawa tubuhku menjauhi tempat itu. Aku tidak mau dengar. Semua itu bohong. Tidak. Ayah sayang padaku. Dia hanya bohong. Iya kan ayah? Perlahan cairan bening mulai mengalir keluar dari mataku. Semuanya hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi ayah. Ternyata selama ini, semua hanya sandiwara semata.

***

Selama 15 tahun aku hidup bersamanya. Menganggap ia sebagai seorang ayah yang sangat kusayangi. Tiba- tiba segalanya lenyap, tak meninggalkan jejak.

Ayahku minta cerai sama ibuku, atau bisa kubilang "ayah tiri" yang minta cerai sama ibuku. Aku sangat sedih sekaligus kecewa. Aku membutuhkan kasih seorang ayah. Bukankah semua anak berharap seperti itu juga? Mengapa ia tidak berpura pura menjadi ayah kandungku saja? Selama ini dia pandai berlakon sebagai ayah kandungku. Kenapa baru sekarang dihentikan sandiwaranya?

Aku menertawakan diriku sendiri. Apakah hanya aku disini yang tidak tahu apa-apa mengenai keluargaku? Aku seperti orang bodoh yang buta akan segalanya. Segalanya yang ada, seperti ditutupi oleh sepotong kain hitam yang membutakan.

Akhirnya, pengadilan memutuskan aku ikut dengan ibuku. Ketika palu sudah diketukkan, dengan bodohnya aku memanggil 'ayah' dan berharap ayah tiriku yang kusayangi akan menghadap ke arahku dan memelukku seolah- olah menenangkanku.

"Ayah!"

Dia memalingkan mukanya dariku dan menghiraukan panggilanku. Walaupun begitu, aku tetap memanggilnya. Aku berlari kearahnya dan berusaha menahan kepergiannya.

"Yah," ujarku sambil menitikkan air mata lagi. Air mata yang tidak dapat kubendung sedari tadi.

"Jangan pergi, yah." Ujarku sambil terisak. Aku menarik-narik ujung bajunya.

Banyak orang yang menahanku. Bahkan ibuku berusaha melepaskan tanganku dari ujung bajunya.

"Yah! Tolong jangan tinggalin aku!" ujarku histeris. Aku meronta-ronta dari cengkraman ibuku.

Hebatnya, ayah masih terdiam. Dia bahkan tidak memandang wajahku. Ketika tanganku lepas dari ujung bajunya, dia langsung berjalan pergi. Aku terpukul. Mirisnya, sekarang aku tahu suatu hal baru, ayahku ternyata tidak pernah menganggapku sebagai anak kandungnya. Tidak untuk sekalipun.

***

Teman teman disekolah kini mengejekku tidak mempunyai ayah. Sebenarnya bukan itu yang mengganggu pikiranku, tapi apakah hidupku bisa kembali seperti biasanya? Perasaanku saat ini tidak bisa terlukiskan.

Di satu sisi aku ingin sekali memarahi 'ayah' yang seenaknya meninggalkan keluarganya. Tapi disisi lain aku sangat ingin memaksa dan meminta ayah untuk kembali pulang dan kita bertiga bisa kembali bersama-sama nonton bioskop, main petak umpet, piknik di taman dekat rumah, makan es krim yang ada di pinggir jalan itu.

Vampires Of Sword's KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang