Part 10: Pesan WhatsApp

634 45 0
                                    


Ragu aku melangkah mendekat ke arah mereka.

"Bang," tegurku, demi mengurai rasa tak enak. Ah kenapa meski tidak enak Julian kan suamiku.

"Eh, Neng. Sini, Neng dengerin Yuni cerita lucu," ujar Bang Julian.

Aku hanya tersenyum, tidak lama kemudian A' Firman keluar sembari memegang segelas air. Kulihat A' Firman juga tidak terlalu suka banyak bicara sama seperti, Dimas.

"Oh iya, Bang ini no Wa Yuni coba Wa-in, biar Abang Yuni gabungin ke grup keluarga."

"Oh iya, sekalian juga istri Abang gabungin juga ke grup keluarga, ya!"

"Ok, Bang!" jawab Yuni. "Udah, Bang," ucap Yuni kemudian sembari menunjukkan layar ponselnya. Bang Jul pun terlihat mengangguk.

Hari sudah menjelang sore, sudah hampir seharian kami di sini, waktunya untuk pulang. Wak Rahmi pun bersiap hendak pulang, ia sengaja ke sini karena ada urusan.

"Uwak gak mau mampir ke rumah, Jul aja dulu? Besok baru pulang. Nanti Jul antar ke terminal" tanya Bang Jul, sembari menawarkan diri untuk mengantar Wak Rahmi.

"Iya, Wak jarang-jarang Uwak kesini," sambungku.

Wak Rahmi sejenak nampak berpikir. "Ya sudah kalau kalian maksa," ujarnya sembari tersenyum.

Kami pun lantas tersenyum. Setelah berpamitan dengan keluarga besar Wak Neni kami pun segera masuk ke mobil.

"Kenapa kamu juga ikutan masuk, Ramdan?" tanya Wak Rahmi.

A' Ramdan nampak terdiam, sepertinya mereka segan dengan Wak Rahmi.

"Sudah, Jul kamu tidak perlu memikirkan mereka. Mereka bukan tanggung jawab kamu. Apa lagi tinggal di rumahmu cuma buat malas-malasan, numpang makan dan tidur," tukas Wak Rahmi. Padahal aku tidak menceritakan apapun dengan Wak Rahmi perihal sifat mereka. Apa Wak Rahmi punya indera keenam?

Tentu saja hal demikian membuat, A' Ramdan dan Teh Santi langsung menatapku, nampaknya mereka curiga aku yang bercerita.

Wak Neni pun langsung bermuka masam mendengar ucapan tajam dari, Wak Rahmi. Tetapi, ia pun tak mampu berkutik karena apa yang dikatakan Wak Rahmi memang benar, mereka bukan tanggung jawab Bang Jul.

"Tapi, Wak kita tinggal di rumah Jul hanya sementara, sampai A' Ramdan dapat pekerjaan." Takut-takut Teh Santi berucap, wajahnya langsung kembali menunduk.

"Bagaimana mau dapat kerjaan? Lha wong Ramdan itu cuma malas-malasan. Neni, harusnya kamu beri tau anakmu jangan menjadi beban Julian."

"Lha wong saya juga Ndak tau, Mbakyu kalau Ramdan tinggal di rumahnya Jul, mereka tidak pernah cerita," jawab Wak Neni membela diri.

"Sudah ... Sudah, Wak jangan diteruskan malu kalau sampai terdengar tetangga," tegur Bang Julian.

Terlihat Wak Rahmi hanya menghela nafas.

"Selama belum dapat pekerjaan, Jul gak keberatan kalau A' Ramdan tinggal di rumah, Jul," ucap Bang Julian.

Aku sampai greget ngelihat sikap lembek suamiku itu, tapi aku juga tidak mungkin menghalangi ataupun membantah keputusannya, apalagi saat ini bukan waktu yang tepat.

"Tu, kan Jul aja gak keberatan!" ucap Wak Neni merasa menang.

"Terserah kamu saja, Jul. Dari dulu kamu tidak berubah selalu ingin berbuat baik." Akhirnya Wak Rahmi mengalah dan masuk ke mobil, begitu pun aku. Sementara A' Ramdan dan Teh Santi pun kembali ikut ke rumah, entah sampai kapan mereka akan seperti itu.

***

"Jadi, Uwak punya usaha kuliner dan akan buka cabang di sini?" tanyaku sembari meletakkan teh panas ke atas meja ruang tamu.

Pagi ini tumben Teh Santi mau ikut membantu ke dapur, membuat sarapan mungkin takut ditegur Wak Rahmi.

"Alhamdulillah, doakan saja semuanya lancar," jawab Wak Rahmi.

"Aamiin, semoga saja, Wak. Berarti Uwak akan sering ke sini dong?"

"Paling dua atau tiga bulan sekali."

"Kalau lagi ke sini jangan lupa mampir, Wak pintu rumah ini selalu terbuka untuk, Wak!" ucapku.

Wak Rahmi pun tersenyum. Wak Rahmi terlihat lebih muda dari usianya. Almarhum suami Wak Rahmi pensiunan telkom, anak-anaknya pun telah sukses, dan melarangnya untuk bekerja. Namun, tak lantas membuat Wak Rahmi mau hidup hanya dengan berpangku tangan. Katanya bosan kalau hanya diam di rumah.

"Iya, Wak," timpal Bang Jul.

"Kalau lihat kamu, Uwak jadi ingat Lasmi, dia persis seperti kamu, baik dan gak tegaan dan cenderung suka mengalah. Dia begitu baik karena sifat baiknya itulah orang-orang dengan mudah memanfaatkannya.

"Kalau dia masih hidup, tentunya dia pasti bahagia melihat anak, istrimu. Tapi, sayang penyakit kanker darah yang dideritanya menjadi jalan kematiannya," kenang Wak Rahmi, lalu menyeka sudut matanya.

"Allah lebih sayang sama, Ibumu," lanjut Wak Rahmi lagi, lalu tersenyum. Bang Jul pun hanya tersenyum mendengar cerita Wak Rahmi, tidak banyak ingatannya tentang Ibunya. Karena kata Bang Jul Ibunya meninggal saat ia baru duduk di kelas dua SD.

"Ya sudah sarapan aja dulu, nanti keburu dingin nasi gorengnya," ucapku mengalihkan topik pembicaraan.

Akhirnya kami pun sarapan bersama, kali ini A' Ramdan tidak banyak komentar seperti biasanya. Dari tadi dia hanya diam mendengarkan. Usai makan, Bang Jul pun mengantar Wak Rahmi ke terminal sesuai janjinya kemarin sore.

***

"Ya makanya, Aa' kerja. Kalau kayak gini terus, Neng bakalan ninggalin Aa'!" Aku tak sengaja mendengar perdebatan Teh Santi dan A' Ramdan di kamar.

"Mau kerja apa, Neng? Neng kan tau sendiri cari kerja itu susah."

"Ya kerja apa aja, Bang. Abang sih banyak pilih-pilih. Pokoknya kalau Aa' masih belum kerja-kerja, lebih baik, Neng pulang kerumah orang tua, Neng!" ancam Teh Santi.

"Jangan atuh, Neng!"

Terdengar hentakkan kaki lalu berjalan menuju pintu, aku pun gegas pergi, takut dibilang sengaja menguping dan malah menimbulkan fitnah.

Aku kembali menyibukkan diri di dapur.

"Del, mau masak apa? Teteh bantu ya?" tawar Teh Santi.

Aku sedikit terkejut mendengar suara Teh Santi yang datang tiba-tiba.

"Eh, iya. Boleh Teh," jawabku. Aku senang jika Teh Santi sudah berubah.

Teh Santi pun membantu mengiris bawang, dari tadi ia terlihat murung dan sedih.

"Teh," tegurku.

"Eh, iya ada apa Del?" Tergeragap Teh Santi menjawab.

"Teteh kenapa, dari tadi Dela perhatiin banyak diam?" tanyaku pura-pura tidak tau permasalahannya.

"Em, gak apa-apa, Del. Teteh gak apa-apa," kilahnya.

"Beneran?" tanyaku memastikan. Teh Santi pun mengangguk.

"Ya udah, Dela ke depan dulu ya Teh mau beli garam kemarin lupa." Lagi-lagi Teh Santi hanya mengangguk.

Di teras depan kulihat A' Ramdan duduk termenung sepertinya, A' Ramdan tengah memikirkan ucapan Teh Santi tadi. Ah entahlah.

***

Seperti biasa setelah pulang kerja, Bang Jul langsung masuk ke kamar mandi, usai melepaskan pakaian kerja dan meletakkan di atas tempat tidur begitu saja. Aku pun segera memungutnya dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor.

Saat tengah merapikan tempat tidur, terdengar ponsel Bang Jul bergetar, sebuah pesan di aplikasi warna hijau masuk karena penasaran aku pun membukanya.

"Lagi ngapain, Bang? Udah pulang kerjanya? Kapan ya kita ketemu lagi?" 

KELUARGA SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang