Part 20: Pelajaran Berharga (POV Author)

1.7K 66 1
                                    


Sudah satu bulan lebih sejak Rena menikah, keluarga Wak Neni sudah lama tidak menghubungi. Begitupun dengan keluarga Julian sibuk dengan masa depan mereka.

Namun, hari ini Dimas menghubungi Julian, mengabarkan kalau Wak Neni sudah dua hari dirawat di rumah sakit karena stroke.

Julian dan istri pun gegas menjenguk Wak Neni untuk melihat kondisinya.

***

Di rumah Wak Neni, anak-anaknya tengah berkumpul memikirkan untuk membayar biaya rumah sakit juga cicilan pinjaman online, ternyata setelah menikah, Rena sudah lama tidak ada kabar uang amplop yang di dapatkan di pernikahannya kemarin, diambil semuanya.

Wak Neni begitu pusing mendapati semua kenyataan itu, A' Ramdan pun masih saja menganggur ternyata suami Rena bukanlah pengusaha sukses seperti yang dibangga-banggakan, melainkan hanya seorang yang memiliki toko kain di sebuah pasar.

"Satu-satunya cara cuma rumah ini," usul Teh Kinan dengan wajah putus asa.

"Aa' ikut saja!" timpal Firman terdengar lemas.

"Saya juga." Ramdan ikut bersuara dengan wajah menunduk.

Mereka semua tidak ada lagi solusi, semua uang hasil pinjaman 100 juta habis untuk biaya pernikahan Rena.

"Kita bisa menjual rumah ini dengan harga 500 ratus juta," ucap Kinan. "Bayar hutang, biaya rumah sakit dan sisanya bisa kita bagi bertiga. Bagaimana apa kalian setuju?" lanjutnya.

"Saya setuju," Ramdan menjawab.

"Tapi, setelah ini siapa yang akan merawat, Ibu?" tanya Firman.

"Karena Aa' yang paling tua tentunya Aa' lah," jawab Kinan.

"Ya gak mungkinlah, kamu kan tau sendiri Yuni harus ngurusin Aurel yang masih kecil," jawab Firman.

"Kalau begitu, Ramdan saja!"

"Kalau sama saya juga gak mungkin, rumah saja gak punya. Baiknya sama Teteh saja! Tetehkan anak perempuan satu-satunya!"

Kinan nampak mendesah pelan, wajahnya terlihat geram. "Kalian gimana sih, dimana-mana orang tua itu tanggung jawab anak laki-laki."

Ponsel Firman berdering, sebuah panggilan masuk dari Dimas mengabarkan kalau Uwak kritis. Mereka pun tidak jadi melanjutkan perdebatan dan gegas berangkat menuju rumah sakit.

Tiba di sana ternyata, sudah ada Rena yang tengah menangis tersedu karena merasa bersalah kepada sang Ibu.

Setelah mendapat penangan dokter dan dipersilahkan masuk, keadaan Wak Neni mulai membaik meski belum bisa bicara.

Julian dan Dela, berpamit keluar karena ingin melaksanakan salat Zuhur begitu pun Dimas. Jadi tinggallah anak-anak Wak Neni.

"Mumpung ada, Rena soal yang tadi gimana kalau nantinya, Ibu ikut Rena saja. Dia kan juga belum punya momongan," usul Ramdan.

Rena nampak kebingungan mendengar perkataan Ramdan. Kinan pun segera menjelaskan.

Kini mereka saling berdebat soal, Ibu mereka akan tinggal dengan siapa jika rumah sampai di jual.

Dengan mata terpejam, ternyata Wak Neni mendengarkan itu semua. Air matanya mulai menetes tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari anak-anaknya, ia tidak menyangka kalau anak-anaknya berencana menjual rumah tersebut, dan lebih tak menyangka lagi diantara anak-anaknya tidak ada yang mau merawatnya.

"Ibu, juga jadi begini karena memikirkan kamu!" ucap Kinan, hingga membuat Rena tertunduk dalam.

Wak Neni kembali kritis, karena merasa syok mendengar percakapan anak-anaknya.

Mereka pun panik dan memanggil dokter.

"Bagaimana, Dok keadaan Ibu saya?" tanya Rena begitu lelaki dengan seragam serba putih itu keluar.

"Ibu Neni hanya perlu istirahat, tolong jangan diajak bicara dulu, nampaknya tadi dia syok," jawab Dokter bernama Ari itu.

Semua anaknya hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan sang dokter.

***

Keesokan harinya, Dimas berencana pulang karena ada sesuatu yang ingin diambil sementara di rumah sakit Julian kembali menjenguk dengan membawa makanan.

"Bang, Dimas titip Ibu dulu ya!"

"Sip, kamu tenang saja Abang pasti akan jaga Uwak. Bagaimanapun Abang sudah anggap Uwak sebagai Ibu Abang sendiri, soal biaya rumah sakit kamu jangan pikirkan, sudah Abang urus semuanya!" jawab Julian panjang lebar sembari tersenyum.

"Dimas gak tau harus bilang apa," Kedua netranya nampak berkaca-kaca karena begitu terharu akan perhatian Abang sepupunya itu.

Julian hanya tersenyum dan menepuk pundaknya seolah memberi kekuatan dan mengatakan tidak apa-apa.

***

"Apa kalian mau jual rumah ini?" tanya Dimas begitu mendengar rencana kakak-kakaknya yang tengah berkumpul.

"Ya mau bagaimana lagi, kita gak ada solusi," jawab Kinan santai.

"Gak, pokoknya Dimas gak setuju. Kalian juga tidak berhak jual rumah ini karena rumah ini bukan milik kita, tapi milik Bang Julian. Bang Julianlah yang berhak atas rumah ini!" tegas Dimas ke kakak-kakaknya.

"Julian sudah punya rumah, lagian itung-itung buat balas jasalah," Kinan kembali bersuara.

"Iya, Dim hanya itu jalan satu-satunya!" timpal Ramdan.

"Gak pokoknya saya gak setuju!" tegas Dimas lalu beranjak ke kamar Wak Neni mencari surat rumahnya.

"Dim, mau apa kamu?" tanya Kinan berang.

Dimas tidak memperdulikan ucapan kakak-kakaknya dan terus mencari surat rumahnya. Begitu ketemu ia langsung membawanya pergi dan menyerahkannya ke Julian.

Tentu saja hal demikian membuat kakak-kakaknya marah, karena tidak bisa menjual rumahnya juga tidak bisa bagi hasil dari penjualnnya. namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Akhirnya keadaan Wak Neni mulai membaik, dan sudah diizinkan untuk pulang, meski masih harus kontrol sesekali.

"Jul, maafin Uwak ya, selama ini Uwak sudah jahat sama kamu!" Wak Neni terisak untuk pertama kalinya menyadari kesalahannya kepada Julian. "Del, Uwak juga minta maaf ya sama kamu!"

Julian dan Dela hanya tersenyum, tidak ada dendam di hati keduanya melainkan perasaan syukur karena Wak Neni akhirnya menyesali kesalahannya.

"Jul, dan Dela juga minta maaf ya kalau selama ini ada salah," ucap Julian sembari duduk mensejajari kursi roda yang tengah di duduki Wak Neni.

Pemandangan itu juga membuat anak-anaknya merasa tersentil hatinya dan meminta maaf pada Wak Neni juga Julian dan Dela.

Namun, Wak Neni masih nampak gelisah memikirkan cicilan hutangnya.

"Dimas tau apa yang membuat, Ibu khawatir," Dimas memperlihatkan layar ponselnya dan sebuah tanda bukti bahwa ia telah melunasi hutang-hutang, Ibunya. Ternyata selama ini, Dimas adalah seorang youtuber dengan membuat konten-konten islami khusus anak-anak muda.

"Maafin, Rena ya Bu. Gara-gara Rena Ibu harus menanggung ini semua." Rena terisak dengan membenamkan wajahnya dalam pangkuan sang Ibu.

Dengan wajah basah oleh air mata Wak Neni mengelus rambut putri bungsunya tersebut.

Anak-anaknya yang lain pun turut bersimpuh meminta maaf. Dan tidak lupa meminta maaf ke pada Julian dan Dela.

Seperti kata orang bijak, 'Tidak akan menjadi hina bagi mereka yang meminta maaf, dan juga tidak akan menjadi rendah bagi mereka yang memaafkan'

Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang tiada cela. Sebaik-baik manusia adalah dia yang menyesali perbuatannya dan memohon ampun atas segala dosanya.

Selesai

KELUARGA SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang