Part 16: Biar Bang Jul Memutuskan

678 43 0
                                    

"Ma, Pa kita mau kemana? Kenapa kita harus pergi dari rumah Al? Di sini kan enak, banyak makanan?" cerca Aida yang ditanggapi A' Ramdan dengan kekesalan.

Tak lama kemudian kulihat Bang Julian menyusul ke depan. Seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya pada sepupunya itu. Namun, nyatanya Bang Jul hanya terdiam.

"Puas kamu, Jul ngusir keluarga Aa' dari sini?" tanya A' Ramdan sinis. "Aa' gak nyangka kamu tega melakukan ini sama Aa'? Ingat, Jul perempuan di sebelah kamu ini tidak ada ikatan darah sama kamu." A' Ramdan berucap sembari melihat ke arahku.

"Bila kalian berpisah akan menjadi bekas. Tapi, sama Aa' tidak ada kata bekas saudara," tegas A' Ramdan lagi.

Astagfirullah!

Kenapa A' Ramdan sampai semurka itu gara-gara Bang Jul tidak bisa meminjamkannya uang. Kulihat Bang Jul hanya diam, nampaknya malas berdebat. Aku pun begitu. Biar saja kali ini A' Ramdan puas menumpahkan kekesalannya, tak ada gunanya berdebat dengan orang yang lagi tersulut emosi.

Dengan perasaan kesal karena tak ditanggapi, akhirnya A' Ramdan dan keluarganya pergi. Entah kemana paling juga ke rumah Wak Neni. Biarlah mereka pulang ke rumah orang tuanya.

Meski ada perasaan sesal karena tidak bisa membantu, namun tidak bisa dipungkiri ada juga perasaan kesal atas sikap A' Ramdan yang begitu. Sebagai saudara tak seharusnya A' Ramdan berlaku begitu terhadap Bang Jul yang sudah berbaik hati menampungnya tinggal di sini. Aku bisa saja menolak, namun aku menghormati dan menghargai Bang Jul sebagai suami. Dia pasti sedih jika tidak bisa membantu, namun entah mengapa kali ini ia bahkan menyuruh A' Ramdan dan keluarganya pergi dari sini lantaran tak bisa menerima keputusannya.

"Yang sabar ya, Bang!" ucapku saat melihat wajah lesu, Bang Jul. Aku tau semarah-marahnya dia tetap saja dia tidak bisa membenci A' Ramdan. "Kita doakan saja semoga mereka bisa berubah, Abang jangan merasa bersalah," sambungku mencoba membesarkan hatinya.

"Iya, Neng. Makasih ya! Abang minta maaf, atas nama A' Ramdan dan keluarganya," jawab Bang Jul.

"Tidak apa, Bang. Aku ngerti. Bagaimanapun mereka tetap saudara Abang, saudara Neng juga setidak sukanya kita tetap saja apa yang dibilang A' Ramdan tadi benar tidak ada namanya bekas saudara. Neng tau Abang melakukan ini bukan karena Abang benar-benar benci sama mereka."

"Abang tidak tau harus bilang apa, Abang bersyukur punya istri seperti, Neng. Maafin Abang ya, belum bisa jadi suami yang baik!" ujar Bang Jul dengan merasa bersalah.

"Justru, Neng yang minta maaf, Bang masih belum sempurna menjadi istri."

Bang Jul tersenyum. "Sebagai manusia yang tidak sempurna, Neng sudah menjadi istri Abang yang baik."

Aku hanya tersenyum, merasa tersanjung dengan ucapan Bang Julian. Namun, sebagai insan biasa yang penuh alpa tetap saja aku selalu merasa kurang baik dan masih tetap harus belajar dan belajar.

***

Sudah satu minggu lebih A' Ramdan dan keluarganya pergi dari sini tak ada kabar sama sekali. Namun, pagi ini aku tak sengaja membaca pesan di aplikasi hijau ponsel Bang Jul.

[Jul, Uwak minta tolong kirim Uwak uang Calonnya Rena mau datang ke sini. Uwak gak ada uang sama sekali, sejak Ramdan kamu usir pengeluaran Uwak jadi bertambah]

Aku menghela nafas, ada perasaan kesal juga kasian. Kesal kenapa A' Ramdan tidak mau berusaha cari kerja bukannya bantuin orang tua malah menjadi beban. Kasian karena dimasa tuanya Wak Neni harus banyak menanggung beban, tapi juga karena gengsinya.

"Ada apa, Neng?" tanya Bang Jul, sembari menyisir rambutnya yang masih basah.

Ingin kuhapus saja pesannya dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, rasanya aku begitu jahat aku tau mungkin mereka memang keterlaluan. Tapi, perasaan dan naluri sebagai manusia tetap saja aku merasa ada perasaan kasian. Ah, biar Bang Jul saja yang memutuskan.

Aku menunjukkan pesannya ke Bang Jul. Kulihat Bang Jul menghela nafas dan membuangnya masygul. Kemudian mengetik sesuatu di ponselnya entah apa.

Usai sarapan dan rapi dengan setelan kerjanya, Bang Jul pamit untuk pergi ke kantor. Seperti biasa menyambut tangannya dan menciumnya dengan takzim sudah menjadi kebiasaanku.

Hari ini aku akan pergi ke toko bunga bersama Al karena kebetulan Al sedang libur sekolah.

"Bang HP-nya tinggal," ucapku saat melihat ponsel Bang Jul tergeletak di atas nakas.

"Biar saja, Abang lagi tidak ingin bawa HP hari ini," jawab Bang Jul santai.

Aku yang masih dalam kebingungan hanya bisa mengangguk, mungkin Bang Jul sedang tidak ingin diganggu karena banyak beban pikiran pikirku.

"Nanti kalau kangen sama, Abang telpon ke nomor kantor aja ya!" godanya.

Reflek aku langsung mencubit pinggangnya yang ditanggapi Bang Jul dengan erangan kesakitan. Lalu, tertawa.

Bang Jul pun berangkat ke kantor, aku pun bersiap-siap untuk pergi ke toko bunga bersama Al.

Saat akan mengambil tas aku melirik ke arah nakas, melihat ponsel Bang Jul.

"Apa kubawa saja ya?" tanyaku pada diri sendiri sembari mengambil ponselnya. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa ponselnya Bang Jul.

***

Di toko bunga aku tengah duduk di kursi kerjaku sembari menunggu pembeli yang datang. Sementara Al sibuk bermain dengan robot-robotannya.

Iseng aku membuka ponsel Bang Jul. Kulihat ada pesan SMS Banking masuk, karena telah berhasil transfer dengan senilai satu juta setengah.

Di Wa ada pesan Wak Neni sebagai ucapan terima kasih.

[Jul, uangnya udah masuk ke rekening Uwak. Makasih ya! Sebenarnya kurang tapi gak apa-apa] dengan emot tersenyum lebar. Aku hanya mendesah, setelah membaca pesan tersebut yang telah dulu dibaca Bang Jul. Tidak ada balasan dari Bang Jul.

Tidak lama kemudian pesan masuk dari Rena.

[A' hari ini Rena mau foto prewedding, bisa tolong kirimi Rena uang gak? Gak banyak cuma dua juta aja]

Lagi-lagi aku hanya mendesah, membaca pesan dari keluarga Wak Neni yang tak ada bahasan selain meminta uang.

[Ini Teteh, Bang Julnya lagi kerja] kubalas pesan Rena. Tidak lama ada pesan balasan.

[Lho kok HP-nya Bang Jul, sama Teteh sih?]

[Iya, Bang Jul sengaja ninggalin HP-nya]

[Hem ... Pasti karena Teteh yang minta, karena gak percaya sama Bang Jul iya, 'kan? Ngaku aja Teh] balasnya.

Aku hanya mengelus dada membaca pesan balasan dari Rena.

[Terserah mau percaya atau gak, tapi begitulah kebenarannya] dengan perasaan kesal kubalas pesannya.

[Ya udah deh, biar nanti Rena datang langsung aja ke kantor Bang Jul]

Aku tidak berniat untuk membalasnya, dan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Karena kebetulan ada pembeli yang datang. Aku pun gegas menyambut dan melayani pembeli tersebut dengan ramah.

Saat lagi melayani pembeli notif dari ponsel Bang Jul kembali bergetar. Namun, tak kuhiraukan karena tetap fokus melayani pembeli.

Usai melayani pembeli, aku kembali membuka pesan dari ponsel Bang Jul karena nampaknya penting sampai terdengar bunyi beberapa kali.

Ternyata pesan dari tel*omsel, namun satu pesan yang membuatku memicingkan mata, pesan dari Yuni.

[Bang, makasih ya hadiah bonekanya. Aurel sangat senang. Coba dulu Abang gak pergi mungkin kita tetap bersama] emoticon sedih.

Seketika jantungku berdegup, sementara berbagai pertanyaan berkelabat di kepala.

KELUARGA SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang