puisi siapa ini ?

0 0 0
                                    

Fajar menyingsing, kelopak bunga mekar menari melambaikan tangan padaku. Angin berhembus membersamai langkahku berjalan dari gerbang yang bersiul mengucapkan selamat datang. Lanjut kutelusuri lantai yang meninggalkan jejak sepatu dari kaki kaki yang hendak berburu ilmu.
Setibanya dikelas dengan tergesa Amel langsung menemuiku, dia yang bertugas hari ini untuk membersihkan kelas, makanya dia datang lebih awal. Dengan mimik lugu yang berusaha menahan tawa ia memberitahuku suatu hal, untung saja ia bisa diajak kerjasama tanpa akad lebih dahulu. Ia menutupi mejaku dengan buku tugasnya, sehingga teman teman yang datang sebelum aku tidak melihat puisi itu. Entah ada angin apa, apakah angin timur atau angin barat. Tiba tiba saja ada  seorang yang tak kuketahui siapa pengirimnya. Menempelkan puisi di atas meja coklat kelasku.
Sesaat setelah amel memberitahuku, tiba tiba saja Sultan mengambil buku tugas yang diletakkan Amel untuk menutupi puisi itu diatas mejaku. Aku yang masih berdiri didekat pintu kelas langsung panik dan berlari secepat mungkin ke arah meja coklat itu. Saat ini posisiku pas dipintu. Sekejap saja aku langsung tiba dimeja urutan ketiga dari depan dan sisi kedua dari sebelah kiri kelas. Sekejap langkah yang kupacu dengan sedikit paksa tidak kalah cepat dengan aksi sultan tentang puisi itu. Ia keburu melihatnya, membuatku begitu kelabakan.
Entah kenapa, aku tidak ingin orang lain membacanya sebelum kulihat terlebih dahulu. Amel juga beralasan, biar aku lihat dulu, makanya dia langsung menutupinya. Aku sangat aneh saat itu, mungkin bagi orang lain hal ini adalah hal yang biasa saja. Tapi bagiku ini sedikit canggung. Meskipun aku cukup populer dalam bidang olahraga disekolah, didalam benakku kiriman puisi adalah pertanda hal hal yang romantis.
Berakar tebing,
Bertangkai kristal,
Kucoba menapaki hingga lapuk rentetan bebatuan tak bertepi dihati ini.
Telah kupahat batu dihatiku
Demi menemui kristal yang tenggelam,
Tenggelam dalam kerasnya batu yang sengaja engkau balut.

Sampai jadi gunung,
Kutanggalkan pepohonan ramai melambai
Menyambut langkahmu yang indah tak bertujuan.
Akan kusambut dengan senang hati
Bintik binti embun yang jatuh dari dedaunan.
Meletakan dalam benih yang akan kutumbuhkan
Bersama keindahan yang bergelimang kasih sayang.

Akulah seseorang yang akan selalu membersamai
Hingga langkahmu selambat siput
Hingga kamar kita menjadi tanah.
Hingga cerita usai berujung tamat.

Tertanda
Pengagum mu..

Sultan yang polos, membacanya dengan lantang dengan nada yang mengejek. Membuatku semakin jengkel tapi tidak bisa berbuat apa apa. Saat itu perasaanku terkecoh, sedikit lemah dari biasanya. Dan tak mungkin kutinju si Sultan itu karena dia duduk disebelahku dan dia juga adalah sahabatku. Sahabat yang suka meledek, yang tahu kekuranganku tapi tetap menyukaiku sebagai teman. “Aneh!. Sejak kapan ada anak gadis yang terkesan sadis ini disukai oleh seseorang. Pria seperti apa yang berani mengirimiku puisi yang menghampiri romantis itu.” Gumamku dalam hati.
Bersamaan dengan didengunkannya puisi itu, tiba – tiba saja Cahya masuk, ia mendengarkan dengan seksama. Kulihat ia tersenyum simpul sambil menutup mulutnya dengan ujung hijab yang dia kenakan. Segera kukerucutkan pandangan padanya untuk meminta penjelasan. Sepertinya ia yang terakhir pulang kemarin.
“Hei Cahya, kamu yang menempel puisi itu dimejaku, kan? Ayo jawab.” Teriaku dengan suara garang bagai ingin menerkam.
Cahya dengan kerudung besarnya terlihat ketakutan dan lebih memilih tunduk. Sesaat, ia membela diri  dengan mengatakan bukan dia yang menempelnya. Amel segera menarikku dan berbisik “Memang Cahya yang terakhir pulang kemarin, tapi tidak mungkin dia pelakunya Tria”
“Bisa saja kan dia disuruh sama orang lain. lihat saja dia lemah begitu. Pasti mudah diperintah oleh orang lain” celotehku kepada Amel.
“Iya, iya. Tapi aku yakin bukan Cahya deh  pelakunya” Bela Amel.
Setelah kucermati perkataan amel barusan, aku kembali percaya karena Amel juga bilang dia pulang bersama Cahya kemarin. Hmmm..  Kalau bukan Cahya terus siapa lagi? Apakah iya, ada siswa dari kelas lain yang menyelinap masuk kelas ini? Padahal kan terkunci.
Curigaku hanya pada jendela berukuran persegi yang ada disisi kanan kelas. Jendelanya memang tidak tertutup setelah kupastikan, memang ada bekas injakan sepatu di jendela itu.
“Pasti pelakunya menyelinap lewat sini” gumamku dalam hati.
Sultan tetap saja membacakan puisi itu, tapi aku sangat tidak tertarik mendengarkannya. Aku hanya tertarik menemukan pelaku tertempelnya puisi yang tidak jelas ini di mejaku.
Saat aku melintas disamping Cahya, masih kulihat mimik ketakutan dari wajahnya. Pelakunya pasti punya orang yang diajak kerjasama dikelas ini. Bisa saja kan orang itu yang memberi tahu bahwa mejaku berada di posisi itu. Atau puisi itu kesasar kali ah? Harusnya ditempel di Meja Fifi yang ada di sebelah kiriku, dia kan gadis cantik dan pesolek dikelas ini. Pasti banyak yang naksir sama dia. Ahh..Entahlah.
Dengan bukti puisi itu, bersama sultan dan Amel kami menuju ruang BK. Memberinya ke Pak Asbi. Disana juga ada bu Mardiana. Spontan pak Asbi membaca sambil mengeraskan suaranya, hingga bu Mardiana yang dikenal serius, terlihat sampai berusaha menahan tarikan senyuman di wajahnya.
“Aku tidak terima dengan puisi itu pak, jujur saja aku merasa itu puisi yang tidak sopan disampaikan kepadaku”. Kuterangkan ke pak Asbi dengan nafas yang sekuat tenaga aku kontrol.
“Tenang dulu Tria’. Bisa saja itu adalah puisi yang kesasar, siapatau pelakunya salah nempel kertas kan?”  Pak Asbi berusaha menenangkan.
Kertas puisi itu tiba tiba saja tertiup angin dari kipas angin bermerk tornado yang ada disamping bu Mardiana. Sekarang kertas itu tergeletak di lantai antara meja pak Asbi dan Bu Mardiana. Segera Sultan mengambilnya. Karena posisinya terbalik, disana terlihat tulisan for TNR, dimana itu adalah singkatan dari namaku, Triani Nur Rahma.
Dugaan pak Asbi salah. Sekarang ia merasa gagal. Bu Mardiana menimpali di balik diamnya. “Coba kalian cek siapa yang terakhir keluar dari kelas kalian, bisa saja ia tidak merapatkan semua kunci jendela dan pintu”.
Segera kujelaskan, apa yang kutemukan dijendela sudut kelasku tadi. Tapi tidak kuberitahu mereka bahwa aku telah mencaci maki Cahya, si Hijab Syar’i. Aku tahu ia adalah kemanakan dari Bu Mardiana. Menjelaskannya sama saja dengan bunuh diri.
Pak Asbi dan Bu Mardiana, saat ini menuju kelasku. Kebetulan pagi itu, guru PKN sedang berhalangan masuk karena sedang menghadiri rapat di Dinas pendidikan daerah. Mungkin saja membahas tentang rencana kurikulum baru yang katanya ribet itu.
Setibanya dikelas mereka memeriksa jendela yang kutunjukan. Disana memang ada bekas sepatu, tapi bekas sepatu siapa itu? tidak mungkin memeriksa alas sepatu semua siswa yang ada disekolah ini, lebih dari seribu orang yang harus diperiksa. Jumlah yang mustahil untuk dicek satu per satu.
Setelah sedikit basa basi dikelasku. Bu Mardiana mengajaku kembali  ke ruangannya.
“Apa kamu merasa ada orang yang menyukaimu Triani?” tanya bu Mardiana.
Pertanyaan itu membuatku sontak lemas, aku tidak tahu apakah ada orang yang menyukaiku atau tidak, tapi setahuku tidak ada. Semua lelaki mungkin takut kepadaku. Tubuhku yang sedikit berisi, rasanya sangat tidak mungkin ada lelaki yang menyukaiku. Lebih tepatnya apalagi jatuh cinta kepadaku.
“Lelaki mana yang berani dengan tinjuku bu’?” jawabku culas.
“Tapi ibu rasa, benar ada lelaki yang menyukaimu, karena sifatmu itu. Mungkin saja lelaki itu saat ini telah mengenalmu, atau selama ini memperhatikanmu dari jauh. Rasa suka itu tidak bersyarat Tria, ia datang tanpa diundang, hadir begitu saja di dalam hati setiap manusia”. Nasehat itu membuatku semakin penasaran, siapa gerangan pengirim puisi itu.
“Terimakasih sarannya bu”.
Ibu Mardiana memang kadang memanggilku dengan tiga nama, Tri’, Tria, atau Triani. Dari ketiga nama itu ada yang membuatku merasa menjadi perempuan yang mungkin saja bisa merasakan cinta.
“Apakah benar ada orang yang menyukaiku secara diam diam?”. Tanyaku dalam hati.
Ibu Mardiana menghentikan investigasi ini, karena menganggap bahwa kejadian itu resmi bukan karena teror yang membahayakan nyawa seseorang. Tapi lebih kepada rasa suka yang diungkapkan dengan cara anak muda agar terlihat romantis menarik lawan jenisnya. Dengan senyum simpul ibu Mardiana menyuruhku kembali keruangan membawa puisi yang telah dibacanya berulang ulang.
Mungkin bagi ibu, itu adalah teror biasa, tapi bagiku itu adalah teror yang mengancam jiwaku dan masa depanku. “Teror macam apa ini, bikin pusing saja”. Jikalau memang benar ini cinta, seorang amatiran sepertiku cukup jera memikirkannya. Aku tidak akan mudah tertipu daya oleh perasaan yang akan merampas ideologiku seperti ini.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang