Menyerah

0 0 0
                                    

Jam pelajaran telah usai. Sesuai perjanjian, seperti kemarin aku berjalan menyusuri lorong lorong kelas, melewati beberapa laboraturium untuk kembali berada dibelakang perpustakaan. Disana masih ada petugas perpustakaan, karena pintunya belum digembok. Kuabaikan saja. Karena tujuanku adalah kebelakang perpustakaan bukan masuk di dalamnya.
Menunggu orang itu ternyata membosankan juga. Tapi niatku tak boleh kendor. Kucoba melirik kedalam perpustakaan. Mataku teralihkan dengan sosok yang memakai sweather yang warna dan coraknya sama dengan yang digunakan oleh orang itu kemarin. Tak pikir banyak. Aku langsung menuju kedalam perpustakaan.
Disana hanya ada pak Heri petugas perpustakaan yang sibuk didepan monitor komputernya. Orang itu tak tampak dari pintu yang berhadapan langsung dengan meja pak Heri.
“Sore pak, kok belum pulang?” Tanyaku basa basi padanya
“Masih ada kerjaan, Triani. Lah kamu sendiri ngapain kesini, ini kan sudah jam pulang” Pak Heri mengembalikan pertanyaanku.
”Emmm.. Mau ngecek buku terbaru aja pak. Kali aja ada yang bisa dipinjam”.
Walaupun aku hobi olahraga. Tapi, perpustakaan merupakan salah satu tempat favoriteku disekolah. Aku suka menghabiskan jam kosong disini karena sering dipaksa sama Rima, Nana, dan Amel. Dari paksaan paksaan itu, selain olahraga aku jadi suka baca buku juga. Apalagi buku olahraga dan bela diri. Aku melihat dan belajar banyak tehnik tehnik baru disana. Kuselalu mencari buku buku terbaru dan yang berjejer rapi di rak buku paling depan.
Tapi sungguh, jawaban itu asal saja kulontarkan. Tujuanku yang sebenarnya adalah untuk menemui lelaki itu, bukan untuk membaca, apalagi meminjam buku.
“Silahkan saja Triani, bapak juga masih lama pulangnya” Seru pak Heri dengan tetap tidak memperhatikanku karena sibuk dengan pekerjaanya.
Mungkin orang itu telah mendengar percakapanku dengan pak Heri. Kucoba berjalan menyusuri bilik bilik rak buku yang telah didesain sedemikian rupa oleh pak Heri untuk memudahkan para siswa mencari buku yang diinginkan. Orang itu berada di sudut belakang perpustakaan. Itu berarti dia berada di bilik buku sastra.
Kuberjalan perlahan. Rencana ingin mengagetkannnya, tapi percuma saja. Kuberanikan diri untuk menyapanya lebih dulu. Bukannya tidak punya harga diri, tapi kurasa ini cukup dewasa tanpa harus memakai kekerasan.
“Khemm.... disini kau rupanya” orang itu tidak memperdulikanku. Aku berjalan sambil menatap orang yang masih menggunakan penutup kepala swithernya untuk menutupi wajahnya, tapi kali ini dia tidak memakai topeng lagi. sekarang aku berada diseberang meja tepat didepannya. Kupukul meja itu untuk mengagetkannya.
“Woyy.. Mau kamu apa hah. Menggangguku dengan terormu yang basi itu.”
Ia masih tertunduk, sambil menyodorkan buku kumpulan puisi ke hadapanku. Itu membuatku duduk dan otomatis amarahku sedikit berkurang. Benar kata guru agamaku tadi. Jika seseorang marah ketika sedang berdiri, maka dianjurkan duduk. Mungkin tehnik itu yang digunakan laki laki ini untuk mencoba mengendalikanku. Dan itu cukup berhasil. Disamping suasana perpustakaan yang adem dengan pendingin ruangan, dan tempat ini rasanya haram untuk membesarkan suara. Peringatan dilarang ribut terpampang dimana mana. Seolah itu yang membuatku berpikir untuk menghargai usaha pak Heri menempel peringatan peringatan itu.
Hening. Tanpa kata. Hanya ada buku buku, aku dan orang ini.
“Siapa sih dia. Bikin penasaran saja” Gumamku dalam hati.
“Mau kamu apa, menggangguku haa?, pasti kamu kan yang masuk kekelasku dulu lalu menempel puisi puisi itu di mejaku ” Tanyaku dengan nada yang sedikit berusaha aku lembutkan meskipun amarah yang sudah menyeruak dihati.
Orang ini mengangkat wajahnya. Dan. Atmosfer rasanya tiba tiba berhenti menyelimuti bumi. Kututup mulutku untuk mencoba menahan teriakan. Mataku melotot dan kakiku mulai bergetar gusar. 
“Hilman?... Jadi kamu yang selama ini menggangguku? aku tak habis pikir. Berani beraninya. Mau kamu apa. Hah?” Segenap pertanyaan yang cukup mewakili segudang pertanyaan serupa yang mulai berkeliaran di benakku.
Ternyata selama ini Hilman diam diam membuntutiku. Setelah kulabrak dia dikantin pasca kejadian yang membuat kacau seisi angkot sehingga membuat sekolah lain menganggap bahwa moral siswa disekolahku payah. Sejak saat itu, dia semakin penasaran dan menghalalkan beberapa cara.
Dia mencari tahu tentangku. Tentang kehidupanku, dan kebiasaan kebiasaanku. Dia menerorku dengan kiriman puisi yang entah idenya darimana.
Diantara rak rak buku. Pikiranku kacau. Rasa emosiku kepada orang ini harus kutahan karena berada didalam perpustakaan. Aku harus jaga etika. Sama halnya di masjid, perpustakaan seolah tempat untuk melembutkan suara dan menjaga tata krama.
“Kalau diluar ruangan. Sudah pasti aku amuki si Hilman ini, apalagi mengingat kejadian kemarin” Gumamku dalam hati.
Wajahku tak menampakkan wajah bersahabat, mengingat kejadian kemarin pikiranku masih diantara emosi dan rasa yang entahlah apa namanya itu. Tapi begitu aneh.
Aku ingin menghajarnya, tapi bunga dan parcel serta puisi puisi itu mengingatkanku untuk tidak berbuat sekasar itu. Aku pernah membaca salah satu buku yang ada di perpustakaan ini. Bunga memiliki keindahan yang membuat hati wanita luluh. Sepertinya itu yang aku rasakan. Bukannya luluh untuk tidak bisa melawan. Tapi, luluh untuk mencoba bertahan. Bertahan pada prinsip bahwa benar, aku adalah seorang wanita yang menyukai keindahan.
Hilman terus saja memperhatikan wajahku yang datar. Bibiru tidak bisa mengurai senyum kali ini. Walau, hatiku seolah memaksaku untuk melakukannya, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak menampakkannya.
“Perjanjiannya bukan disini, tapi diluar” ujarku judes kembali membuka percakapan. Ia dari tadi belum pernah bicara apapun. Walau terlihat sedikit murahan, tapi aku rasa hanya ini yang bisa aku lakukan.
“Jaraknya tidak terlalu jauh kan? Cuma beda dua meter kok” Akhirnya dia bicara juga. Tapi dengan jawaban yang cukup menjengkelkan.
Walaupun jarak tempatku duduk sekarang hanya berjarak dua meter dan dibatasi tembok dari tempatku bertemu kemarin, ini tetap saja diluar perjanjian. Aku kembali diam. Jengkel dengan jawabannya itu.
“Sama saja, dua meter adalah jarak yang membuatmu seperti pengecut yang tidak menepati janji” balasku dengan penuh dendam.
“Aku kan sudah disini dan bertemu kamu. Jadi, menurutku janji itu telah terpenuhi” jawabannya semakin menjengkelkan.
“Ah, sudahlahh. Kumohon jawab pertanyaanku tadi”
Memohon padanya? Ihh. Malas sekali rasanya. Tapi semoga itu bisa menyelesaikan masalah ini dan kami akan segera berpisah.
“Pertanyaan yang mana?” ujarnya berpura pura bodoh.
“Alasan kamu, menerorku selama ini?” Tegasku.
“Aku suka sama kamu. Aku ingin kamu jadi pacar aku” Ungkapnya percaya diri dengan mata yang masih melekat kearahku. Membuatku gugup dan menundukkan pandangan.
Kukumpulkan segenap tenaga untuk menghadapi situasi yang baru kali ini terjadi padaku. “Maksudnya ?”
“Aku mulai menyukaimu sejak pertama bertanding denganmu. Jujur,  aku mulai jatuh cinta padamu sejak pertandingan itu. belum pernah kutemu gadis seperkasa dirimu. Kamu adalah gadis impianku selama ini” ya ampun semudah itu dia ucapkan.
Orang yang pernah ugal ugalan dijalan ini semakin ngawur. Ucapannya semakin membuatku merasa muak. Aku abaikan saja omongannya. Dan keluar dari perpustakaan ini secepatnya. Berusaha melupakan apa yang dia nyatakan barusan. “Aku menyukaimu? Ah,, yang benar saja.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang