“Andai saja aku tahu kalau yang menggangguku selama ini adalah kamu, pasti aku akan sangat senang. Pendapat itu sesekali menyelingi pendapatku yang lain andai saja aku tahu selama ini kamu yang melakukan teror itu padaku, pasti akan aku lapor ke Ibu Mardiana.”
Ingin rasanya aku lapor dengan penuh bangga ke ibu Mardiana, bahwa aku telah menemukan pelaku dari puisi lebay yang ditempel di mejaku dulu. Tapi itu aku urungkan karena mengetahui motifnya karena ia menyukaiku. Itu sama saja mempermalukan diri sendiri.
Aku kembali kerumah, terhuyung huyung hingga merebahkan diri dikasur empuk kamarku. Kembali pikiranku dihantui oleh Hilman. Seorang remaja yang memiliki wajah yang cukup rupawan, populer disekolah, jago bermain bola volly dan prestasi lainnya yang membuatku merasa harus memikirkan kembali kata katanya di perpustakaan tadi. Niatku untuk melupakan kata kata itu lumpuh, setelah berhasil terngiang kembali suaranya.
“Ayah, beginikah rasanya disukai oleh seseorang.” Tiba tiba saja aku ingat ayah. Ia yang selama ini membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ia adalah laki laki yang mengajarkanku cara mengasihi orang lain. ia yang menunjukkan padaku rasa cinta melalui caranya menafkahi keluargaku. Hari ini ulang tahunku. Aku tepat tujuh belas tahun.
“Assalamu alaikum sayang.. Selamat ulang tahun. Semoga kamu bisa jadi dirimu sendiri sekarang. Makin kuat, tambah pintar, dan semakin sayang sama ayah” Suara itu terdengar sumringah setelah kutekan tombol hijau dari telephone genggam yang diberinya bulan lalu. Untung ia menelpon setelah aku sudah berada dikamar. Handphone itu hanya aku simpan dikamar kalau kesekolah. Malas membawanya. Lagian peraturan sekolah tidak memperbolehkan siswa membawa handphone.
“Waalaikum salam Ayahh...” Seruku dengan sedikit tangis haru. Terimakasih telah mengingatnya. Aku sayang ayah. Cepat pulang yah” Ujarku tak kalah sumringah. Ditengah letihnya memikirkan Hilman, ayah datang sebagai pengobatnya. Suara laki laki jagoanku itu selalu tepat waktu. Sangat mengerti perasaan anaknya yang sedang dilanda kekesalan pada seseorang.
“Kamu mau kado apa sayang?”
“Aku gak mau kado apa apa. Yang penting Ayah cepat pulang, itu saja sudah cukup”
“Iya sayang, ayah akan cepat pulang”
“Asik, jadi kapan dong yah,”
“Bulan depan. Insya Allah Ayah akan usahakan. Kamu jaga diri yah, kamu baik baik disana, jaga ibu dan adik. Tunggu ayah pulang lalu kamu tunjukin prestasi ke ayah” Bujuk ayahku.
“Siap bosss...” ayah selalu cekikikan ketika kupanggil bos. Mungkin dia ingat kalau aku panggil bos, pasti akan aku ikuti dengan gerakan mengangkat tangan kanan untuk hormat padanya.
“Sudah dulu yah Tria, ayah masih ada kegiatan. Assalamu alaikum”
“Iyah yah, Waalaikum salam” ungkapku mengakhiri pembicaraan.
Padahal masih rindu sama suara ayah. Juga ingin kuceritakan mengenai Hilman yang membuat runyam pikiranku hari ini. Sayang ayah masih sibuk.
“Ahh.. Lelaki terhebatku ini, selalu membuat rindu. Aku ingin ayah tahu, tadi sore ada lelaki yang mengganggu Tria. Sampai saat ini ia masih mengganggu tria. Mengganggu pikiran Tria. Mungkin hati Tria juga telah diganggu.”
Getar didadaku sangat aneh. Tidak biasanya seperti ini. Bahkan ketika harus mewakili sekolah untuk mengikuti lomba sekabupaten pun rasanya tak segetar ini hatiku. Aneh,, sungguh aneh. Aku lelah memikirkan Hilman. Malam ini aku putuskan kerumah tante Diah. Setelah memohon ijin sama mamah. Aku berangkat diantar Sul adikku. Dia sudah lihai memakai sepeda motor. Lagian jarak rumah yang tidak begitu jauh dari rumah tante Diah dan kondisi jalan yang tidak melewati jalan poros membuat mamah mengijinkan Sul mengantarku.
Setibaku dirumah tante Diah, Sul langsung pulang.
“Jangan kemana – mana kamu yah, langsung pulang saja kerumah” Pesanku sebagai kakak yang baik.
“Siap.. Assalamu alaikum kace (kakak cerewet) ku yang cantik”
“Huhh.. Gombal... Waalaikum salam”
Melewati pagar besi bercat hitam yang belum terkunci. Biasanya kang Junaedi menguncinya setelah sholat isya. Aku berjalan melewati taman, melirik ke lapangan volly samping rumah tante Diah. Kosong. Hanya ada suara jangkrik disana.
“Tok... tokk.. Assalamu alaikum tante... Ini Tria’.. “
Kembali kuketuk tapi tak kunjung ada yang menjawab. Mungkin mereka lagi diruang makan. Aku duduk diteras karena mengerti ini adalah jam makan tante Diah. Biasanya ia makan malam setelah magrib. Karena setelah sholat isya aktivitas sudah tidak banyak lagi. paling hanya menonton tv atau tidur.
Tak lama aku duduk, seorang laki laki dengan perut yang sedikit buncit membuka pintu.
“Siapa disana?”
“Ini Tria om, wahh.... om Hamid kapan tibanya?” tanyaku sedikit kaget karena kedatangan om hamid yang tidak kuketahui sebelumnya.
“Baru tadi sore, sini masuk. mau nginap kan?” Jawab om Hamid
“Iya om”. Aku masuk, sedang om Hamid kembali mengunci pintu kayu setinggi dua setengah meter itu.
Om Hamid adalah suami tante Diah, ia seorang kontraktor dan sering keluar kota meninggalkan tante Diah. Ia seperti ayah keduaku, karena tak jarang ia memberiku uang jajan ketika hendak kesekolah.
“Tante Diah adakan om ?”
“Iyah itu dia sedang didapur” jawab om Hamid.
Segera kuarahkan kemudi kakiku menuju dapur. Uhh,, Syukurlah sebenarnya tujuanku kesini untuk ketemu sama tante diah. Aku ingin curhat tentang Hilman. Aku lebih pilih tante Diah dibanding mamah karena tante Diah sering punya solusi tanpa memarahiku terlebih dahulu. Apalagi untuk urusan hati seperti ini.
“Assalamu alaikum.. Tria datang....”
“Waalaikum salam.. Heiii.. Anak tante yang manis. Sini.. sini ..”
“Tria mau bantu tante cuci piring”
“Ada angin apa nih mau bantu tante” Ucap tante Diah heran.
Kebetulan saat ini bibi Wina sedang sakit jadi tante Diah melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Tapi biasanya, walau bi’ wina sedang sehat pun, tante diah juga sering membantu mengerjakan urusan rumah. Ia tak suka hanya tinggal diam meski sudah memiliki pembantu.
Sembari mencuci piring aku langsung ke pokok pembicaraan. Tante diah orangnya begitu, kadang tak suka basa basi.
“Tante, ada yang suka sama Triani di sekolah” ucapku sambil membilas piring yang sudah dilumuri sabun oleh tante Diah.
“Kamu itu memang banyak yang suka kan ndo’. Kamu itu cantik, kuat, jago main volly, pinter pula ahh... Kamu ini“ Seru tante diah yang lebih banyak memujinya.
“Tapi yang satu ini suka nya beda tante. Dia ngirimin Tria puisi, coklat, bunga dll, pokoknya dia beda tante”
“Ahh.. Jangan muda tertipu sama laki laki. Mereka itu memang pandai merayu, hati hati kalau itu hanya tipuan mereka. Tapi cobalah anggap itu sebagai perjuangan dia mendapatkanmu. Sama seperti si Hamid tuh (tante Diah memanggil suaminya seolah temannya), dia dulu ngasih bunga ke tante, sayang bunganya plastik jadi tidak alami kan?” terang tante diah sambil mengenang masa lalunya bersama om Hamid.
“Kalau bunganya bunga asli gimana dong tante?”
“Kalau asli kan lebih alami. Jadi cintanya bukan dibuat buat, alami seperti bunga yang ditanam akan tumbuh karena kehendak tuhan, ya kan?”
Filosofi tante Diah begitu dalam. Ia mengartikan cinta dari bunga. Bunga yang diberikan Hilman adalah bunga yang asli. “Apakah cintanya benar benar alami?” Apakah cintanya bukan cinta plastik?” Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Kalau bunga plastik yang sering diberikannya. Kenapa cinta om Hamid pada tante Diah masih tumbuh subur sampai sekarang?” tanyaku penasaran.
“Dari bunga plastik itu pun tante belajar, kalau plastik lebih tahan lama. Coba kamu ingat deh waktu buat lapangan volly yang disamping rumah. Plastik yang kalian temui waktu menggali itu adalah bungkusan bungkusan waktu tante masih penganten baru. Masih utuh sampai sekarang. Bahkan bertahun tahun belum lapuk juga” Diakhir penjelasan tante Diah dia menambahkan senyum simpul.
“Hahaha.. Tawaku sedikit meledak. tante ada - ada aja deh”
Setidaknya filosofi itu memberiku sedikit pandangan bagaimana menyikapi Hilman besok. Aku akan menguji sebesar apa pengorbanannya.
Hah? Menguji? Apa aku juga suka sama dia?. Gak mungkin.
**
Tookk .. Tookk. Suara ketukan pintu terdengar diluar. Aku sendiri yang keluar memastikan siapa gerangan yang datang malam malam begini, kerumah tante Diah. Setelah memutar kunci, gagang pintu yang berwarna emas ini kuputar kebawah dan menariknya sedikit demi sedikit kedalam.
“Selamat ulang tahun Triaaa... Yeyyy... “ Terdengar suara teriakan yang serentak dari komplotan anak muda yang berada di depan pintu. Aku terharu atas tingkah mereka ini. Ikbal, Andi, Agung, Agus, Riski, Evan, Dija, Evi, Riska, Sinar dan Umi berjejer dibelakang Fira yang membawa seonggok kue tart tanpa lilin.
“Wahhh.. kalian ini, ngapain repot repot” Ujarku pada mereka setelah memastikan rasa kagetku sudah mulai berkurang. Sahabat sahabatku ini memang baik dan setia, aku merasa dijodohkan tuhan untuk bertemu dengan mereka. Orang orang yang setia dan selalu memberi kebahagiaan dari hal hal kecil yang mereka ciptakan.
“Tidak baik berdiri didepan pintu. Sini gih, masuk ” sambil mempersilahkan mereka masuk satu persatu, aku kembali menutup pintu.
“Tahu dari mana kalian kalau aku disini?” ujarku heran.
“Tadi kami kerumahmu, tapi mamahmu bilang kamu ke rumah tante Diah. Langsung deh kami susul kesini. Kami kira ada acara makan makan lagi. hahahah” Jawaban dari Evan itu membuat semuanya tertawa.
“Kamu ini nyari makanan terus, kapan nyari pacar?” Ledek Agung.
“Itu mah gak perlu dicari, aku kan ganteng. Pasti banyak cewek yang naksir”
“Uh pede sekali kamu ini van” Seru umi.
“Ga usah nyari pacar van, ntar dosa loh. Kamu kan udah ganteng. Langsung nikah aja nanti. Hihi” Seru Fira menimpali.
“Ngapain repot repot nyari makanan, ini kan ada kue. Ayok kita makan rame rame. Biar seru.” Tawarku pada mereka.
“Potong aja langsung.” Kata Riski.
“Eh.. Tapi tunggu aku ambil minumannya dulu yah.”
Segera kuambilkan minuman yang ada di kulkas tante Diah. Tante Diah dan om Hamid bergabung bersama kami setelah kuajak.
“Ini hari ulang tahun Tria om, tante.. Ayo gabung sama kami diluar.”
“Wah ulang tahun? mau hadiah apa kamu Tria” Tanya om Hamid yang selalu berusaha membuatku senang seolah dia adalah ayahku saat ini.
“Tidak usah repot repot om. Cukup doa saja biar tria lebih baik kedepannya, bisa sepintar kak Novi”
Tante Diah mengaminkan saat kami berjalan keruang tamu.
Ditengah percakapan ringan yang mengundang tawa kami semua. Tiba tiba Ada telepon dari mamah. Katanya ada seorang lelaki yang bertamu kerumah membawa hadiah berupa kado yang mamah tidak tahu apa isinya. Semoga bola volly atau barbel. Fira dan Umi yang mendengar percakapanku dengan mamah langsung mengejek “Ciyee yang dapat kiriman kado”
“Besok saja setelah dari sekolah aku kerumah yah, mah. Soalnya besok kesekolah, starnya dari sini” Meski aku penasaran siapa gerangan lelaki yang mengirim kado itu. tidak mungkin juga untuk balik kerumah malam ini. Mamah juga tidak tanyakan namanya. Tapi sekilas, mamah hanya bilang dia anak yang baik. Siapa lagi itu? Apakah dia Hilman lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Rasa
Teen FictionTriani seorang gadis tomboi yang sangat membenci cewek alim dikelasnya. Mendapat teror misterius dari seseorang yang tidak diketahuinya. Ia selalu penasaran dan mencari arti dari nama yang disematkan Ayah kepadanya. Kejadian kejadian setiap hari men...