Puisi Kedua

0 0 0
                                    

Sekolah kembali beriak. Transfer ilmu akan terus berlanjut, setiap hari, selama berabad abad.  Setelah kasus beberapa hari yang lalu, hari ini kelasku kembali dihebohkan dengan boneka yang berdiri tegap diatas mejaku. Entah dari siapa lagi itu. Berani beraninya!.
Kali ini dibalik boneka ada sepucuk surat yang bertuliskan “for the brave woman-Triani”. Siapakah gerangan orang itu. Apa dia tidak tahu kalau cewek pemberani tidak suka boneka? Aneh. Boneka itu adalah pemeran cewek tangguh dalam salah satu anime yang banyak digandrungi para siswa disekolahku.
Hari ini aku datang lebih awal. Ingin segera kusembunyikan. Tapi karena Amel, Sultan dan teman kelasku yang sederetan dengan mejaku dikelas sudah datang lebih awal. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Terserah saja mereka mau bilang apa, tapi awas kalau ada yang mengejek berlebihan, akan kusikat kalian. 
Beruntung hari ini aku datang lebih cepat. Itu karena ibu menyuruhku membawa makanan kerumah tante Diah pagi pagi sekali. Setelah itu aku langsung berangkat dari rumah tante Diah kesekolah. Aku bisa memastikan tidak semua teman kelas melihat boneka itu. Ejekan sultan dan Amel hanya berakhir sepuluh menit soal boneka itu. Setelah itu mereka semua sibuk mempersiapkan diri untuk ujian produktif di jam pelajaran pertama.
Konsentrasiku saat ujian terganggu, mau apa sih orang ini? Setelah ujian tahap pertama selesai, kami diberi waktu sepuluh menit untuk mempersiapkan diri untuk ujian selanjutnya. Kucoba menepi, mengambil kembali boneka yang tadi kumasukkan ke dalam tasku. Kucabut amplop persegi berwarna ungu itu. Isinya sederetan kata kata yang menurutku itu adalah puisi.
Kamu
Tak ubahnya seekor semut, imut tak berjenggut.
Kamu,
Seperti setangkai kurma, manis tak memuakkan.
Kamu,
Seolah bunga mawar ditaman surga, harum meski tak mekar.
Kamu,
Seseorang yang hadir di mimpi indah dalam setiap tidurku.
Kamu,
Yang selalu menarik hatiku tanpa tali.
Jemari tak bisa menggenggam, meski peluh dikening sedang mengiyakan.
Peluk tak  bisa menyatu, meski angin berhembus mesra membersamai.
Tawa tak bisa serentak, meski sergapan dingin merekah hebat.
Kamu yang memiliki seluruhku,  dan aku hanya mengharap satu.
Kuharapkan kehadiranmu di bawah pohon belakang perpustakaan.
Terima kasih atas kehadirannya.
Tertanda : Your  secret Admirer.
Busettt. Ini puisi yang berisi ajakan. Jika dilirik sekilas sepertinya orang ini menyukaiku. Aku tak begitu paham dengan kata kata, tapi dari isinya secara umum. Dia adalah penggemarku. 
“Huaaaahh......” ngapain kamu disini?” Amel datang mengagetkanku.
“Duh Amel, kamu hampir membuat jantungku copot”
“Ciee.. dibuat galau sama boneka yang tadi yah? Dari siapa sih?” Amel mencoba menggodaku.
Karena ia adalah salah satu sahabat terbaikku, kuberikan padanya amplop ungu itu, lengkap dengan isinya. Setelah dia membuka dan menarik secarik kertas di dalamnya, ia membaca dengan suara pelan.  Dan menyimpulkan
“Ihh,, Tria.... kamu ada yang ajakin ketemuan.. datang saja sana“
Meskipun saran itu tidak begitu kupedulikan, tapi jujur ajakan itu sangat mengganggu pikiranku saat ini.
“Aku mau belajar dulu deh mel, sebentar baru kupikirkan lagi” Kuambil surat itu dan kembali kumasukkan kedalam ranselku. Bersiap mengikuti ujian tahap selanjutnya.
***
Bel panjang pertanda harus pulang berbunyi.
Jam pelajaran terakhir telah usai. Aku masih dikursi ditemani Amel. Semua siswa bergegas membereskan peralatan sekolah mereka. Sultan, Rima, Lutfi dan Nana bertanya penasaran.
“Kenapa, kalian belum pulang?” Seru sultan membuka pembicaraan
Kami tidak jawab dengan jujur. “Ada urusan sedikit, heheh.  Kalian duluan saja” Kututup dengan senyum manis. Juga  Amel.
“Assalamu Alaikum..Daah..” Ucap Rima dan Nana meski sedikit curiga.
Sepertinya dengan jawabanku yang singkat, Sultan masih curiga. Tapi tak lama kemudian, ia turut mengikuti jejak Rima dan Nana. Sultan tidak mengusut tuntas karena ia selalu percaya, aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Mungkin juga karena dia pikir karena bisa karate aku bisa menjaga diriku sendiri. Tapi, kali ini masalah yang kuhadapi sepertinya bukan masalah fisik. Ada masalah perasaan yang tak tertangguhkan yang tak bisa kujelaskan pada mereka saat ini.
“Maaf yah teman teman” Gumamku dalam hati.
Lutfi juga turut melambaikan tangan, tandanya dia juga hendak pulang duluan.
Mereka adalah sahabat sahabat terbaikku dikelas. Meskipun Nana, Rima dan Lutfi sibuk di OSIS mereka selalu menyempatkan diri untuk bergabung dengan kami. Tak jarang mereka juga mampir ke rumah tante Diah saat kuajak. Ataupun sedang ada tugas  kelompok.
Tak sabar, ingin segera kurespon surat tadi sembari berharap untuk menyelesaikan masalah yang mengganggu ideologiku saat ini. Menemukan pelaku atas kiriman dua puisi dan kiriman puisi. Sepertinya ia sudah tahu banyak tentangku. Entah penguntit itu, dari mana asalnya. Sementara waktu berkutik asik, sementara itu pula dia berusil. Tidak ada pilihan lain selain membersamai waktu yang ia ciptakan sesukanya. Oke, aku akan ikut alur yang dia buat. 

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang