Mengenang Kehilangan

0 0 0
                                    

Terik matahari yang sangat menyengat akhir akhir ini membuatku harus mengurangi jadwal latihan. Hujan baru saja resmi memulai aksinya. Tapi selingan panas dihari hari berikutnya yang tinggi, sangat menghawatirkan. Hal ini memberi karomah kepada penjual es kelapa karena kebanjiran pengunjung.
Kuajak Cahya ke rumah tante Diah dengan harapan mengembalikan kebahagiaan tante Diah yang kehilangan kak Novi. Setidaknya bisa sedikit menghibur tante Diah yang di kesehariannya lebih sering melamun. Setelah kuceritakan kepada Cahya tentang kesedihan yang dialami tanteku, ia segera menyetujui untuk ikut. 
Bertepatan dengan itu, ditengah perjalanan menuju rumah tante Diah aku bertemu kawan kawanku yang lain. “Mau kemana kalian?” Tanyaku penasaran.
“Kami mau kerumah tante Diah, hari ini dia masak banyak katanya” Teriak Ikbal yang berjalan dibagian belakang.
“Owalah.. Ternyata mau menghabiskan makanan tanteku rupanya kalian” Ejekku kepada mereka.
“Tenang aja Tria, Bakal kami bagi bagi juga kok sama kamu.. hehe.” Seru Ikbal lagi.
Cahya merasa risih dengan kedatangan mereka. Segera kujelaskan bahwa mereka adalah teman temanku. Sering kerumah tante diah juga untuk menghiburnya. 
“Eh, cewek yang bersama kamu itu siapa? Kenalin dong” Celoteh Andi penasaran.
Evan menyikut Andi dan menimpali  “Kenalin dong ke kita kita. Ehh, Maksudnya ke aku saja”
“Uuh.. Enak aja, mau menang sendiri nih si Evan”Teriak Andi.
“Tapi awas, Jangan macam macam.” Cegahku pada Evan.
Tidak jauh dari rumah tante Diah, langkah kami berhenti sejenak. Saling berkenalan. Cahya menjabat  tangan Fira, dan gadis yang lainnya. Tapi hanya mengangkat tangan sebagai salam hormat perkenalan kepada Andi, Evan dan Ikbal.

“Masya Allah.. teman kamu shalihah sekali yah Tria’, sampai sampai tangan kami yang penuh debu ini tak mau disalami” Kata Evan yang entah protes atau menyesal karena tangannya tak disentuh.
“Masih ada wudhu, sayang kalau harus dibatalkan. Maaf ya teman teman” Jelas Cahya kepada mereka.
Aku tahu, bukan hanya menjaga wudhu saja yang lakukan. Tapi, mengingat penjelasan Cahya sebelumnya kepadaku bahwa ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh seseorang yang bukan mahromnya (HR. Thobroni) Walahu alam. Semoga mereka bisa mengerti.
Setelah percakapan singkat itu, tak terasa kami sudah berada di depan pagar bercat hitam setinggi kami. Cuaca masih sangat menyengat rasanya. Entah perubahan iklim macam apa ini. Suhu panas semakin meningkat setelah hujan tiba tiba di bulan September kemarin. Saat beriringan memasuki pagar. Kami dikagetkan ketika melihat seorang ibu paruh baya berbaring lemas dibawah jemuran alumunium di samping rumah tante Diah.
Sontak kami berhamburan berlari menuju ibu itu. Ternyata itu tante Diah, dia mengalami dehidrasi yang membuat dirinya jatuh pingsang. Kami membopong tante Diah masuk kerumah, membaringkannya pada lantai teras samping. Segera kulakukan pertolongan pertama. Kulonggaran kancing pakaian dan kerudung yang dikenakannya, untuk membantu sirkulasi udara kembali lancar. Kebetulan saat itu Cahya membawa minyak kayu putih, segera kuangin anginkan didekat hidung tante Diah. Akhirnya tante Diah sadar. Keahlian ini aku peroleh saat mengikuti kegiatan PMR disekolah. Alhamdulilah, kuberi minum yang tadi dibawa oleh bi’  Wina.
Dengan wajah yang masih lemas, tante Diah menatap kami satu per satu. Seolah dia ingin mengucapkan terima kasih. Dari gerakan kepalanya menatap kami satu persatu yang memang sedang mengelilinginya. Tatapan itu berhenti di satu titik. Cahya!.
“Novi...! itu kamu nak..?” Suara serak, lemas tante Diah bicara sembari mengangkat tangannya yang menandakan ia ingin dirangkul oleh anak perempuan yang dianggapnya Novi itu.
Cahya menatapku heran. Aku pernah cerita padanya sebelum ini, itulah alasan Cahya kemari. Ia sudah paham akan kesedihan dan kehilangan yang membelenggu tante Diah. Dari caranya berpakaian, dan wajah yang teduh sangat mirip dengan kak Novi, membuat tante diah yang baru siuman dari pingsang yang baru saja ia alami berhalusinasi. Aku ngasih kode ke Cahya, dengan anggukan leher yang menandakan terima saja ajakan pelukan dari tanteku.
Akhirnya Cahya menurut. Dia larut dalam pelukan rindu tante Diah ke Novi. Setelah memeluknya dengan erat dan penuh dengan kerinduan, sepertinya tante Diah sudah mulai sadar. Cahya sudah dilepaskan sedikit demi sedikit dari pelukannya yang begitu erat. Cahya merasa lega.
“Tante kok bisa baring diluar” aku nanya, setelah memastikan kondisinya berangsur pulih.
“Tadi, tante habis nyiram tanaman tante diluar, terus lanjut jemur pakaian, matahari tidak bersahabat siang ini. Sepertinya tante dehidrasi” jelas tante masih dengan wajah pucat menyeringai.
“Yaudah tante istirahat saja dulu” Saranku ke tante Diah.
“Tapi tante mau ditemani sama Novi istirahatnya” pinta tante Diah.
“Iya akan Novi temenin kok tante” Cahya yang sepertinya bisa membaca situasi langsung mengiyakan. Mungkin karena ia kasihan juga ke tante Diah yang nampak kelelahan.
“Tria, tante sudah masak tadi, ambilin gih, didapur buat temen temen kamu”
“Iya tante, pokoknya tante istirahat saja dulu yah, biar temen temen, aku yang ngurus.”
Setelah tante Diah kubopong kekamarnya untuk istirahat. Cahya menemaninya dan kembali berpura pura sebagai kak Novi. Meskipun sepertinya tante Diah telah sepenuhnya sadar.
Cahya menemani tante Diah bercerita dikamar. Entah apa yang akan dibicarakannya. Tapi menurutku, tante Diah telah menemukan seseorang yang menggantikan kak Novi untuk saat ini. Aku tinggalkan mereka beranjak menuju dapur, membantu Fira, Umi dan bi’ Wina yang sedang menyiapkan makanan didapur.
Bi’ Wina yang menyendok makanan memindahkan ke atas piring dan mangkuk. Setelah makanan siap, Aku Fira dan Umi membawanya keruang tamu. Disana ada teman temanku yang sudah terbiasa dengan suasana rumah tante Diah, karena sering kuajak kesini menikmati waktu bersama. Kami makan beralaskan tikar dilantai, itu sudah biasa. Malahan kami biasanya makan di halaman rumah. Tapi karena cuaca matahari yang begitu terik membuat kami malas makan dihalaman. Nanti setelah makan, disaat sore mulai bersahabat, barulah kami keluar untuk bermain bola volly.
Setelah tante Diah tidur. Cahya keluar kamar dan memanggilku. Sepertinya dia cukup terkesan, mungkin tante Diah sudah menceritakan semua kisah padanya.
“Aku terharu sama kak Novi Tria’. Tante Diah menceritakan banyak tentangnya, dan aku juga sedih melihat tante Diah yang kehilangan kak Novi yang baik hati itu” Ungkap Cahya dengan mata berkaca kaca.
“Iya, makanya kamu harus sering sering main kesini. Tante Diah pasti senang.”
“Iya, Insya Allah aku akan sering main kesini lagi, tapi ini sudah sore, aku balik dulu yah.”
“Kamu ga’ mau ikut main?”
“Ehm.. ga usah dulu deh. Anak anak di TPA sudah menungguku.”
Setahuku, Cahya juga adalah seorang guru mengaji di TPA. Anak anak yang dia bina adalah anak – anak yang dititipkan para orang tua untuk berguru padanya tentang baca tulis alquran.
“Oiya, kamu ada jadwal mengajar yah. Jangan lupa sering sering kesini.”
“Insya Allah”
“Siap bu Ustadzah” Ledekku padanya.
“kamu ini...” Balasnya diikuti senyum yang mengurai tulus.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang