Berbalut persahabatan

1 0 0
                                    

Atas dasar pemberontakan yang dilakukan Anis, itu membuatku bersikukuh untuk melindungi Cahya. Disamping karena ia adalah seorang perempuan sepertiku, ia juga adalah teman kelasku. Membuatku merasa harus melindunginya. Bersahabat dengannya mungkin akan lebih baik, karena aku tidak suka melihat penindasan. kuikuti prinsip ayahku.
Tingkah Anis sangat kurang ajar kepada Cahya. Ia tidak menunjukkan sikap sebagai seorang pelajar. Ia anarkis sebagai anak seorang kepala sekolah. Memalukan sekali !.
Atas dasar pertengkaran dengan Anis. Siang itu juga aku akan masuk ruang BK, bersama Cahya Anis dan teman temannya. Sudah pasti. Keributan itu mengundang siswa lain untuk menonton, juga mengundang Ibu Mardiana untuk melerai kami. Kukatakan padanya kalau Anis yang duluan menyerang kami (aku dan Cahya) tapi itu tidak sertamerta membuatnya percaya.
Kami masih berada didepan ruang kelas. Tatapan ibu Mardiana yang begitu tajam dan mengerucut ke arah kami membuatku hanya bisa menatap ke satu arah. Lantai putih yang ada di depanku, mungkin hal yang sama dilakukan oleh Cahya, Anis dan teman temannya. Kami tidak bisa berkutik kalau sudah ibu Mardiana yang menangani. Ia berjalan pelan, bolak balik dihadapan kami, seolah mencari celah siapa yang jadi biang kerok dari pertengkaran ini.
“Ikut ibu  ke ruang BK sekarang juga !!!” Teriak bu Mardiana.
Kami berjalan dengan langkah berat, seolah akan menanggung beban hukuman yang sangat menyulitkan. Suasana sekolah jadi tak seasik kemarin, kalau sudah masuk ke ruang BK suasananya langsung berubah, semakin runyam dan gelap bagai awan hitam gelap yang membawa berkubik kubik air hujan. Kami kembali berjejer di depan meja ibu Mardiana. Ia duduk belakang meja sambil kembali menatap kami satu persatu, hingga ia mulai berbicara;
“Siapa yang memulai pertengkaran ini ?”Kata bu mardiana sembari memperhatikan kami satu persatu. Beliau adalah lulusan jurusan psikologi, dia pasti telah membaca kami dari raut wajah yang kami miliki saat ini.
“Anis langsung bicara sambil menunjukku “Si tomboi itu bu yang duluan menyerangku”
“Enak saja, dia bu yang duluan, lagian kamu yang duluan menyerang Cahya” ucapku membela diri.
Kedua teman Anis juga menimpali, “Si tomboi itu bu yang duluan menyerang kami ketika jalan didepan kelas”. Halah, kebohongan macam apa ini.
“Bukan bu, dia yang duluan masuk kekelasku dan  membrontak, wajar dong kalau kami membela diri” ucapku membela diri.
“Sudah sudah.. ibu ingin kalian bicara satu persatu. Dimulai dari kamu Anis” ajak ibu  Mardiana berkompromi.
“Begini bu. Cahya yang memulai kejadian ini bu. Dia mengganggu hubunganku dengan Fajar, ia adalah wanita penggoda dan perusak hubungan kami”  Dengan lantang dan tanpa malu Anis mengutarakan demikian.
Sekarang ibu Mardiana menatap ke arah Cahya meminta penjelasan darinya
“Cahya apakah betul yang dikatakan Anis?”
Dengan tertunduk Cahya menjawab
“Tidak bu’. Saya tidak menggoda Fajar. Demi Allah bu’ itu tidak benar” Bela Cahya
Penjelasan Cahya sepertinya cukup membuat ibu Mardiana percaya karena melihat sepak terjang Cahya yang aktif di kegiatan islami disekolah ini. Selain itu bu Mardiana tetap profesional memperlakukan siapa saja yang masuk di ruang BK, tanpa melihat dari sisi keluarga atau bukan.
Sejak masuk ruang BK dengan wajah yang tegang dan mata melotot dari bu Mardiana, tidak membiarkan kami berkutik.  Bahkan untuk bicara pun terasa ada energi darinya untuk menahan kami. Dua orang yang saling bersiteru gara-gara seorang lelaki rasanya membuatku malas berurusan dengan hal yang seperti ini. Tapi, jika saja Anis dan kawan kawannya tidak melempar bangkai ke dalam kelas, aku tidak akan mencampuri. Dan, jika saja mereka tidak mengganggu wanita berhijab itu mungkin tak akan kuladeni mereka. Masalah bangkai dengan mudah diselesaikan Ibu Mardiana. Menjatuhkan hukuman kepada Anis dan kawan kawannya adalah keputusan yang benar. Hal itu membuat terdakwa memiliki dendam baru kepadaku dan Cahya. Tapi itu tidak membuatku takut. Akan kuladeni mereka.
Setelah keluar dari ruang BK, aku dan Cahya kembali kekelas sedang Anis dan kawan kawannya lanjut menerima hukuman pertama dari Ibu Mardiana dengan mengantarkan mereka ke daerah kumuh pembuangan sampah disudut sekolah untuk mencari sampah yang mengeluarkan bau menyengat. Mereka telah menerima ganjaran dari perbuatan mereka.
Walaupun terlihat wajah sangat tidak terima dari Anis dan kawan kawannya. Hukuman memang berlaku menyeluruh. Tidak membeda bedakan, setiap siswa yang bersalah harus dihukum, tak peduli itu kerabat guru, maupun anak seorang kepala sekolah. Semua sama dimata  hukum. Andai itu juga berlaku untuk  para koruptor di negeri ini, pasti akan ada efek jera kepada mereka yang hendak memulai masalah.
Saat berjalan dengan Cahya kekelas, aku merasakan aura kak Novi disana, tante Diah yang dengan setia selalu menceritakan hal menarik bahkan hal sedih pun dari anaknya itu membuatku membayangkan bahwa sikap kak Novi tidak beda jauh dari Cahya. Pernah disuatu malam, tante Diah menceritakan kejadian yang hampir mirip dengan yang dialami Cahya hari ini. Bedanya kak Novi sekolah di tempat yang berbeda. Ia bersekolah ditempat yang menurut kami hanya orang orang cerdas yang bisa bersekolah disana. Tapi status cerdas itu seolah terhapus dengan sikap orang orang yang menyakiti kak Novi seperti Anis dan genk nya. Tante Diah bercerita bahwa ketika kak Novi SMA, ada beberapa gadis disekolahnya yang iri dengannya, baik dengan prestasinya yang gemilang dan juga wajah cantiknya yang menarik perhatian banyak lelaki disekolahnya.
“Tak jarang, teman sekolah Novi yang laki laki datang kerumah membawa sesuatu untuk Novi. Kue-kue, makanan berat, boneka, bunga, macem macem deh pokoknya. Sepertinya mereka jatuh cinta kepada Novi” Jelas tante Diah mengenang.
“Tante sangat menghargai usaha mereka, dengan membuatkan minum dan menemani mereka ngobrol di ruang tamu. Tak sekalipun tante membiarkan mereka berdua-duaan, Novi pun tak suka jika harus bicara berdua dengan lelaki. Makanya tante selalu hadir sebagai orang ketiga diantara mereka”. Ungkap tante dengan wajah pahlawan sebagai ibu yang melindungi anaknya.
Tante tidak melarang Novi pacaran. Tapi, Novi sangat tidak menginginkan hal itu. Katanya tidak sesuai dengan tuntunan agama. Hanya perangkap syetan.”
Setidaknya dengan perlindungan seperti itu, kak Novi merasa bangga dengan ibunya. Seorang ibu yang dengan tegas membersamai anaknya dalam pergaulan masa muda yang kadang salah mengambil keputusan adalah ibu yang hebat.
“Dari beberapa lelaki yang datang, pernah suatu ketika ada teman novi yang perempuan ikut datang juga kerumah, tapi dia datangnya belakangan. Ia datang dan langsung marah marah. Kan gak sopan, datang kerumah orang langsung marah marah. Tante balik marahin dia, ehh dianya malah nangis dan langsung pulang. Setelah perempuan itu pulang, kemudian dikejar oleh teman lelakinya yang dirumah tadi. Ternyata perempuan itu adalah pacarnya. Novi sangat takut dianggap sebagai perempuan pengganggu hubungan orang.
Tante bilangin nih ke dia. Selama kamu gak salah, kamu jangan takut. Itu salah laki lakinya kenapa dia masih datang kerumah sedang dia sudah punya pacar. Tapi saat  di sekolah, Novi selalu diganggu sama perempuan itu, pernah Novi hampir dilepas kerudungnya ketika sedang beradu argumen dengan perempuan yang marah marah itu. Sayang sekali yah, masih muda sudah sering marah marah. Apalagi hanya persoalan asmara.  Bukannya berprestasi, malah pacaran” ucap tante Diah sembari menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum setelah mendengar penutup dari cerita yang dikenang tante Diah.
“Nah, setelah kak Novi diperlakukan seperti itu?, apa yang tante lakukan?” tanyaku penasaran.
“Tante datangin sekolah Novi. Tante marah marah sama anak itu, sama gurunya juga kenapa tidak bisa mendidik siswanya untuk tidak mengganggu anak orang. Jadilah anak itu dihukum. Hahaha” terang tante Diah, seolah telah meraih kemenangan.
“Novi tuh yak, kalau ada masalah atau sesuatu, gak pernah disembunyiin dari tante, itu yang membuat tante terasa sangat dekat dengannya. Dia seorang muslimah yang shalihah. Tak pernah tuh dia tinggalkan sholatnya. Sayang Allah sudah memanggilnya lebih dulu”.
Setelah mengingat kejadian yang pernah diceritakan tante Diah, aku merasa Cahya tidak jauh beda keshalihannya dengan kak Novi. Alangkah beruntungnya kak Novi yang punya ibu super, kayak tante Diah. Untuk Cahya, yang setahuku ibunya sudah meninggal, siapa yang akan menolongnya? Arwah ibunya tidak mungkin datang marah marah kepada Anis disekolah seperti tante Diah yang nekat.
Di sela perjalananku ke kelas, Cahya yang terlihat pias berjalan menyesali kejadian yang barusan menimpa kami.
“Kamu yang sabar yah, orang seperti itu tidak akan lama menyakiti kamu. Kalau mereka berani sekali lagi, kamu bilang aja padaku” Setidaknya ungkapanku itu bisa membuat Cahya lebih tenang. Kulihat dengan anggukan yang ia berikan kepadaku. Matanya sembab karena telah menangis. Tapi, itu berusaha ia hilangkan setelah hendak memasuki kelas.
Sepulang sekolah ia mangajaku kerumahnya. Letaknya tak begitu jauh dari lorongku. Aku mengiyakan saja, kebetulan sore ini aku sedang tidak ada kegiatan. Kerumah tante Diah juga bisa setelah ini.
Setiba di rumah Cahya ia menyambutku dengan sangat baik. Mungkin ia mengajakku kesini sebagai ucapan terima kasihnya karena telah membelanya sampai berantem tadi disekolah.
“Kamu tunggu sebentar yah disini. Aku ambilin minum dulu” Ucap Cahya menawari.
“Ah.. tidak usah repot repot ya’. “
“Wah, udah jauh jauh kesini masa ga minum. Nanti aku ditegur Abiku karena tidak mengikuti sunnah Nabi  (Melayani tamu dengan baik)”
“Ehh, kamu mau minum apa ?”
“Hmm.. Apa aja deh yang ada.”
Selang beberapa menit, Cahya keluar membawa nampan yang berisi minuman dan kue sederhana.
“Maaf yah, agak lama” Ucap Cahya diikuti dengan batuk yang berusaha ia tahan.
“Kamu sakit ya’? Kulihat wajahmu  pucat” Tanyaku memastikan.
“Ah, tidak. Mungkin hanya karena kepanasan aja tadi. Eh lupa.. silahkan diminum, dan dimakan kuenya. Maaf itu alakadarnya yah” Ucap Cahya merendah.
“Wah.. Ini  juga sudah sangat istimewa”
Kulihat pernak pernik rumahnya dipenuhi dengan kaligrafi islami. Saat kuperhatikan, Cahya langsung menimpali “Itu ukiran Abiku, ia seorang penjual kaligrafi, dan ukiran ukiran lainnya dipasar” ungkap Cahya bangga dengan ayahnya.
“Ayahmu hebat yah. Kamu juga baik.” Ucapku seadanya.
“Alhamdulillah, kamu juga bisa jadi baik, dan ayah kamu juga pasti hebat. Kalau menurutmu aku baik. Itu terlalu  memuji. Tapi jika iya, bisa saja kebaikan kebaikan kecil yang kulakukan itu semua berkat ajaran dari ibuku ketika dia masih hidup, ia tak ingin keluarga kami tersesat hidup di dunia. Dunia ini kan fana dan hanya sementara. Bukan begitu Tria ?”
“ Emmm i.i..iya” jawabku pas pasan.
Aku memang tak begitu banyak paham tentang agama. Tapi tidak katro katro amat. Saat sedang pulang kampung, ayah sering mengajakku mengunjungi panti asuhan yang isinya adalah  anak anak dengan kerudung kerudung yang besar. Begitu cara ayahku menumbuhkan jiwa kemanusiaan dan peduli sosialku. Ia juga sering membiarkanku berbaur dengan mereka. Belajar mengaji dan mendengarkan tausiyah tausiyah dari pengurus panti asuhan tersebut. Kadang sampai seharian.
Orang tua Cahya mendidiknya dengan cara islam, pantas saja Cahya memakai kerudung yang menutupi apa yang seharusnya ia tutupi. Ia juga sangat hangat dan sangat memuliakan tamu.
Tak lama berbincang tentang pengetahuan keislaman. Ada dua orang lelaki yang beranjak dari balik bilik rumahnya. Tinggi mereka kira kira beda sejengkal. Yang satu jenggotnya terlihat lebih panjang, yang satu masih agak pendek.
“Mereka berdua adalah kakakku”. Mereka sering belajar bersama kalau sudah sore begini, menghafal al-qur’an, ataupun mengkaji hadist - hadist”. Ungkap Cahya, seolah bisa membaca pikirannku yang baru saja mau menanyakan siapa mereka.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh” Mereka menatapku sejenak lalu menundukkan pandangan setelah mengucapkan salam itu padaku.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh” aku malah menatap mereka yang sama sekali tidak melirik apalagi melihat wajahku yang sudah kupasang semanis mungkin..
Mereka sopan dan menghargaiku dengan mengucap salam. Pantas saja Cahya sangat sopan kepada semua orang, kakak kakaknya pun demikian, mereka sangat menghargai tamu. Setelah menyapaku dengan salam mereka berlalu keluar rumah.
Karena sore sudah semakin menua, aku pamit karena orang orang dirumahku juga telah menunggu. Meskipun bebas seperti ini, mama selalu percaya kalau aku bisa jaga diri, tapi sebagai orang tua,  dia tetap memiliki rasa cemas.  Cahya mengantarku pulang menggunakan sepeda motor milik kakakknya.
Sepertinya aku telah menemukan sahabat baru yang dulunya kubenci. Cahya. Sesekali akan kuajak ia kerumah tante Diah. Mengenalkannya kepada tante “Ini nih teman Triani yang kayak kak Novi” Semoga  itu bisa memberi sedikit penghiburan ke tante Diah.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang