Petuah Lutfi

0 0 0
                                    

Setelah kejadian hari itu, Anis jadi sering menelponku. Atau hanya sekedar SMS-an. terkait agama dan hal lainnya. Aku lebih menyarankan dia chat ke Cahya kalau tentang agama, karena aku juga belum terlalu banyak paham.
“Aku masih sama denganmu Nis, Masih harus banyak belajar.” Chat ku ke Anis.
Anis tiba tiba bertanya padaku soal Hilman. “Tria, apa kamu suka sama Hilman?”
“Wah ada ada saja pertanyaan kamu ini Nis”
“Kamu tahu kan aku tetangga sama Hilman?”
“Wah, kalau itu aku baru tahu”
“Hilman itu sering bertanya padaku tentang kamu. Makanya kemarin aku minta tolong sama dia untuk mengajakmu bertemu di Shyvana resto. Maaf yah Tria, aku sampai melibatkan orang lain untuk menyelesaikan masalahku sendiri.”
“Aduh,, bahas yang lain saja deh Nis” Jawabku pura pura mengalihkan pokok pembicaraan. Eh, kamu mau ikut main volly tidak besok sore bareng aku sama teman teman. Di rumah tanteku. Kamu suka olahraga juga bukan?”
“Iya suka. Insya Allah yah ( ”
Aku sangat terharu dari proses hijrah Anis. Ia bisa menjadi lebih baik secepat ini karena rasa sayangnya ke ayahnya. Dan hanya akibat dari pertengkaran dengan Cahya beberapa waktu yang lalu menjadikan itu jalan dia menyesali perbuatannya selama ini. Doaku  semoga saja dia tetap istiqomah. Juga diriku.
Kecurigaanku akan niat buruk Anis, berangsur hilang setelah berbagai kegiatan kami lalui bersama. Disela kesempatan, kutanyakan kenapa dia sampai berani masuk kekelasku memohon maaf didepan umum.
Dia jawab, “Hilman yang menyarankan.”
“Heh? Hilman? Kamu sering konsultasi yah kedia? Apa kamu suka sama Hilman?”
“Bukan begitu Tria, tidak semua orang yang dianggap buruk itu, akan buruk selamanya. Hilman selalu punya ide yang tidak kupikirkan sebelumnya” Jawab Anis.
“Hmm... Gitu yah..”
“Kamu beruntung deh kalau nanti nikah sama dia. Orangnya baik loh” Ucap Anis mengagung agungkan Hilman.
“Ahh.. Ada  ada saja kamu Nis”
“Kalau kamu gak mau, nanti aku ambil loh” Membuatku berpikir kalau Anis menyukai Hilman. Padahal Anis bercanda.
“Jangan -  jangan kamu lebih suka sama dia. Kalau mau yah ambil aja. Belum ada yang miliki juga kok” Ujarku pada Anis.
“Yee.. emangnya barang apaan. Dia kan udah ada yang miliki?”
“Wahhh.. Siapa? Ucapku kaget.
“Tuhannya.” Kata Anis polos.

***
Malam ini aku tidak sedang kerumah tante Diah. Aku menghabiskan malam dikamarku menyaksikan bintang yang tersebar ramai ditemani bulan sabit yang indah dihamparan galaxy.
Aku belum merespon Hilman, Cahya yang terus mengajakku kedalam kebaikan seolah aku ingin mengatakan ke Hilman, bahwa kita belum saatnya menyatukan cinta. Tapi aku tidak tahu caranya. Bagaimana mungkin Tria yang lebih suka bola Volly dibanding puisi dan bunga bisa jatuh cinta?, Ah tidak. Ada-ada saja. Kiriman kiriman misterius dan kejutan kejutan misterius yang dia lakukan membuatku serasa ingin menghajarnya.
Semakin kuat keinginanku untuk menolak rasa yang hadir, semakin berkecamuk perasaan yang belum kupahami ini. Aku tidak sekuat dan sebaik Cahya. aku juga belum terlalu paham agama. Setahuku, laki laki dan perempuan tidak diperkenankan berdua duaan didalam agamaku. La taqrobuzinaa. Al Isra Ayat 32; Janganlah kamu mendekati zina. Mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai berbuat. Naudzubillah. Penggalan ayat tersebut baru baru ini aku ketahui dari Cahya. Ia senantiasa menjelaskan hal hal keagamaan kepadaku dengan sesekali menyebut nama surah dan ayat didalam alquran untuk semakin menguatkan penjelasannya.
Waktu terus berlalu, kedekatanku dengan Cahya semakin dipupuk seiring dengan seringnya Cahya mengajakku mengikuti kajian yang dia adakan bersama teman teman rohisnya. Begitupun dengan Anis. Dia semakin sering ikut kajian dan semakin memperbaiki penampilannya. Sekarang Anis benar benar telah berubah. Selain ikut kajian rohis, dia tidak jarang main ke rumah Cahya. Tidak puas dengan hanya mengikuti kajian, dia juga ingin mengenal lebih dalam tentang agamanya melalui Cahya.
Hal itu kuketahui karena setiap Anis hendak main kerumah Cahya, dia pasti mengabariku. Mungkin dengan tujuan mengajak juga. Tapi aku masih sering disibukkan dengan latihan Volly untuk mengikuti lomba tingkat provinsi. Setiap latihan, setiap gerah membuka kerudung yang kukenakan sudah tidak pernah lagi kulakukan.
Dari berbagai pemahaman yang diajarkan Cahya, semakin membuatku sadar, bahwa aurat begitu berharga untuk dijaga. Dan prestasi juga masih bisa diraih dengan menutup aurat. Berkiblat kepada olahragawan dari negara negara Islam diajang perlombaan internasional yang biasa kusaksikan di tv.  Mereka cukup santai dan leluasa dengan kerudung yang didesain dengan kostum olahraganya.
***
“Triani, Triani...” Dengan sedikit berlari lari kecil Lutfi datang dari arah kantin membawa sebuah kado yang entah isinya apa. Langkahku berhenti di salah satu sudut sekolah yang kulalui.
“Tumben kamu baik begini fi’ hehe. Mimpi apa semalam ?”
“Mimpi melamar kamu Tria. Hahah... Eh ini bukan dari saya.” Jawab Lutfi.
“Terus dari mana dong,, Yaa kirain dari kamu, aku udah terlanjur seneng tadi’”
“Dari secret admirermu. Tuh disana” (sambil nunjuk tiang didepan salah satu kelas dekat kantin).
“Owh dari Hilman? kenapa bukan dia yang ngasih langsung? Penakut sekali bukan? hihihi” Ucapku meledek.
“Entahlah Tria,, aku tidak tahu. Sebaiknya kamu tanyakan saja langsung. Tapi hemm.... Kalau menurutku dia sepertinya jaga jarak denganmu. Melihat dirimu yang sekarang sudah tidak beda jauh dengan Cahya yang jaga jarak dengan lawan jenis.”
“Hahh? Siapa bilang? Aku masih Triani yang dulu lagi fi’. Rasanya Tidak ada yang beda deh. Kamu aja tuh yang ngawur, buktinya kita masih bisa berteman seperti biasa kan?”  jelasku pada Lutfi yang sepertinya salah paham dengan caraku bersikap akhir akhir ini.
“Iya deh. Kalau itu masih aku akui. tapi dalam penglihatanku, kebanyakan cewek kayak Cahya itu kan memang jaga jarak dengan lawan jenis, apalagi kalau sampai pacaran. Hmm.. Tria’, sebaiknya kamu jujur deh sama perasaan kamu. Kamu juga suka kan sama si Hilman?.
“Aihss,,, apa apan sih kamu fi’ kok nanya - nanya gitu” Ucapku sambil mengalihkan pandangan. Aku tidak ingin Lutfi semakin membaca raut wajahku.
“Iya Tria,, nih aku lihat Hilman selalu cari cari perhatian darimu, mulai dari kado lah, puisi misteriuslah, kamu ga merasa kalau dia sedang cari perhatian sama kamu?”
Aku hanya diam mendengar penjelasan Lutfi, ia kembali melanjutkan.
“Dia benar benar suka  sama kamu Tria, apa belum cukup semua pemberiannya? Dan  kalau boleh ngasih pendapat  sih, dia kelihatannya tulus sama kamu” Ucap Lutfi sedikit serius.
Aku masih diam, mencoba mencari pembenaran dari apa yang dikatakan Lutfi barusan. “Asal kau tau fi’ Aku sangat terganggu dengan perasaan ini. Benar katamu, Hilman  memang menyukaiku. Bahkan dia telah menyatakan langsung didepanku.” Ucapku dalam hati.
“Tria’. Aku ini kan sahabat kamu. Kalau kamu juga suka sama Hilman, kenapa tidak bilang saja. Daripada dia terus terusan mengganggumu dengan hadiah hadiah yang dia kirim.  Kan kasihan kalau nantinya kamu tidak ngasih respon yang baik”.
Kali ini kutanggapi yang dikatakan Lutfi. “Kalau memang suka dia pasti tidak akan nyerah fi’. Lagian kalau hanya sekedar suka, itu mah lumrah. Aku juga suka sama guru bahasa Inggris yang mengajar dikelas, buktinya dalam pelajaran yang ia bawakan aku tidak pernah main main, dan begitu antusias. Menurutku itu sudah cukup. Rasa suka ini ga’ perlu aku nyatakan langsung kan ke pak guru, apalagi kalau aku harus bilang “pak, Tria suka sama bapak” Itu memalukan sekali bukan? Suka yah, suka aja. Ga’ usah lebay sampai harus pacaran.
“Hilman tidak main main Tria. Dia serius. Dia begitu menyukaimu” Tegas Lutfi.
“Kalau aku sebagai kamu Tria. Aku juga tidak akan semudah itu menerimanya, tapi aku tidak lihai dalam menyembunyikan perasaanku. Aku punya tuhan yang gampang saja membolak balikkan hati. Aku cukup mengadu padanya dan dia akan memberiku kejadian kejadian yang semakin menguatkan hatiku untuk menerima apa yang sedang bergejolak didalamnya.” Lanjut Lutfi dengan nada yang sedikit menceramahi.
“Kamu berbakat deh jadi motivator kayak Mario Teguh.” Ucapku asal, memecah pembicaraan Lutfi yang sedikit serius. Biasanya dia paling suka bercanda, kenapa kali ini tiba tiba saja seserius ini ceramahnya.
“Kalau boleh saran sih Tria’, kamu teguhkan saja hatimu, karena perasaan itu cuma kamu yang bisa memposisikannya kemana. Jangan lupa timbang - timbang juga dengan siapa kamu bergaul saat ini, apakah mereka akan menerima jika kamu menyukai seseorang yang juga menyukaimu? Apakah diagamamu itu diperbolehkan?  keluargamu, apakah mengizinkan orang lain lebih menyukaimu dibanding mereka? Aku hanya bisa nyaranin itu. Toh, kalau kamu merasa kesulitan dalam menyampaikan bagaimana perasaanmu kepada Hilman, aku selalu siap untuk membantumu menyampaikannya. Aku juga satu tim kok dengannya di tim basket sekolah kita.”
Tawaran Lutfi ini cukup menarik. Tapi masa iya seorang Tria harus meminta orang lain untuk menyampaikan apa yang dia rasakan sih.
“Aku yang akan  bicara langsung dengannya Fi’. Aku masih cukup kuat kalau harus bertarung dengannya. Hihihi.  Makasih banyak loh ya sarannya.”
“Sama sama Tria, ingat kalau punya keresahan hati jangan lupa curhat sama sang pemilik hati  kita yang sebenarnya.  Allah SWT”
“Siap deh pak Lutfi” Kuangkat tanganku bercanda dan hormat padanya.
Saran saran dari Lutfi kian memasuki relung relung pikiranku.  Mempengaruhi ideologiku untuk menyikapi Hilman yang sangat baik padaku sampai hari ini. Aku seakan mendapat energi untuk mensiasati waktu bertemu dengannya secepatnya. Kalau perlu hari ini juga.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang