Sosok Misterius

0 0 0
                                    

Penampilan lusuh, setelah seharian bertarung melawan untuk memenangkan setiap bab yang diajarkan oleh guru guru hebat. Berharap ada keajaiban yang menjadikan nyata, setiap gambar dan ukiran spidol yang melekat dipapan tulis whiteboard setiap kelas. Huruf huruf terbang, rumus rumus melayang menjadi senjata kami untuk melawan kebodohan.
Setelah sahabat sahabatku kupastikan pulang. Bersama Amel kami menuju tempat yang dijanjikan. Di belakang perpustakaan. Berjalan menyusuri koridor koridor sekolah yang mulai tampak sepi dari aktivitas siswa, guru dan segala rutinitasnya.  Sekolahku sudah kayak rumah sakit angker kalau jam segini.
Udara sore mulai bersahabat, dan terik yang berangsur menghilang membuat perasaanku sedikit membaik. Tapi tidak pada perutku. Aku lapar tapi amel terus mendukungku untuk memenuhi undangan dari orang yang tidak pernah kutahu siapa. Lagian, aku juga ingin memastikan siapa yang menggangguku selama ini.
Setelah berhasil melewati lika liku sekolah dengan ruang yang sudah kosong, akhirnya kami tiba didepan bangunan yang bertuliskan “Perpustakaan”. Pintunya sudah tertutup, tak tampak kehidupan disana. Biasanya, memang pintunya selalu tertutup untuk menjaga fungsi kerja AC didalamnya, tapi kali ini dilengkapi gembok berukuran kepalan jari saat hendak meninju. Itu menandakan pak Heri sudah benar benar pulang hari itu.
Aku berdiri disamping perpustakaan untuk memastikan apakah betul ada orang dibelakang sana. Tiba – tiba saja ada suara hentakan kaki yang berlari menuju arah kami. Amel menggenggam tangaku erat, takut dengan hentakan kaki itu.
Kebetulan disamping perpustakaan ada laboraturium IPA, bangunannya agak kedepan, menutupi bangunan disampingnya, jadi  jikalau ada yang berjalan dari bangunan yang ada disampingnya, orang itu tidak kelihatan. Dan sepertinya suara tadi berasal dari sana.
“Woyy.. siapa disana...” Teriakku memastikan, tapi tak ada yang menjawab dan tak ada yang peduli. Amel terus menggenggamku, berharap aku akan melindunginya.
“Tenang mel, paling itu siswa lain yang ikut program eskul.“ Terangku kepada Amel, dan berusaha berpikiran positif.
Tak lama setelah ucapanku tadi, Ada sosok yang berlari antara bangunan perpustakaan dan laboratorium IPA. Cepat sekali. Hingga kami tidak punya kesempatan untuk bisa memastikan itu siapa. Sekilas, saat kuberbalik ia memakai sweather lengkap dengan tudungnya.

Suasana tegang. Amel gelisah.
“Kita pulang saja yuk Tria’. Aku takut nih!!”
Santai saja lagi mel, inikan sekolah kita. Tidak mungkin ada yang berani mengganggu. Kalau mereka berani, biar aku yang maju. Ungkapku berusaha membuat Amel percaya. Mana mungkin ada yang berani mempermainkan kita. Dia akan terima akibatnya.
Saat berdiri menghadap lorong tadi. Diantara bangunan perpustakaan dan laboratorium IPA, kembali kami dikagetkan dengan suara drum jatuh dari samping perpustakaan bagian kiri. Suasana kembali tegang. Udara terasa berhenti. Aku tak tahan. Ada apa sebenarnya.
“Heii pengecut.. mau kalian apa Haaa...? jangan sok jadi pahlawan yah. Jangan sok jadi jagoan dengan cara kalian itu. Maju sini. Aku tidak takut.”.
Suasana hening, hanya hembusan angin yang menerpa pohon yang ada didepan perpustakaan. “Mau mereka apa sih.” Gumamku.
“Kamu tunggu disini yah Mel, biar aku cek dulu disana.”
“Tidak. Aku ikut kamu” Seru Amel ketakutan.
“Baiklah. Ayo”
Kami berjalan diteras depan perpustakaan.  Dari arah belakang, terdengar lagi suara tempat sampah yang dilempar. Jatuh, terhempas. Menimbulkan suara dentuman.
“Arrrrgh,.. Kurang ajar sekali mereka.”  Kami sepertinya dimata matai. Aku berjalan dengan langkah pasti, ke arah kiri perpustakaan, setelah kupastikan drum yang jatuh itu adalah bak air yang sengaja disimpan disana untuk menampung air kala hujan. Pak Heri bisa marah kalau mengetahui hal ini.
Setelah berada disisi kiri perpustakaan, taktikku kali ini adalah berlari menuju arah belakang perpustakaan. Setidaknya dari sini bisa mengecoh orang orang yang sedari tadi mengawasi kami.
Seragam yang kukenakan sudah mulai kusut, dan basah diseringai keringat, kerudung kami berantakan. Tapi kami berhasil menginjak lantai belakang perpustakaan. Setibanya disana, terlihat seorang yang berdiri membelakangi kami. Sembari membawa bunga mawar yang digenggam erat dengan posisi tangan dilipat kebelakang. Bunga mawar itu tepat mengarah ke kami.
Itu dia pelakunya. Segera kulabrak. Kini posisiku semakin dekat dengannya “Woyy, maksud kamu apa, menakut nakuti kami Ha...?”
Dia masih tak bicara. Mempertahankan posisinya.Tak berbalik.
“Kurang ajar sekali kalian ini, berani beraninya sama perempuan..” Seru Amel.
Rasanya ingin segera kuhajar orang ini. Tapi ia mencoba membuat suasana tenang dengan bunga mawar ditangannya dan sebuah parcel berisi coklat yang ia letakkan disampingnya. “Aneh, orang ini mau apa sih.?”
Kupaksa ia berbalik dengan menarik lengan bajunya. Akhirnya ia berbalik. Tapi kali ini menundukkan pandangan. Tidak punya nyali menatapku yang sudah penuh dengan emosi ini.
“Aku tahu kamu kaget, tapi aku tahu kau adalah perempuan pemberani satu satunya disekolah ini. Terimalah bunga dan parcel ini” Seru orang itu.
Aku tahu perasaanku mengatakan bahwa aku pernah mendengar suara itu. Meskipun suaranya agak samar karena seluruh wajahnya ditutupi topeng, tapi aku yakin aku pernah mendengarnya. Kupaksa ingatanku untuk mengingatnya. Tapi tidak berhasil. Siapa gerangan lelaki pengecut ini. 
Ia julurkan bunga itu padaku. Aku acuhkan, buat apa? Aku tidak begitu suka dengan bunga”
Aku yang baru kali ini berada di posisi yang tidak bisa membaca situasi perasaanku yang campur aduk seperti ini. Bingung mau melakukan apa, antara marah, kaget, ingin menghajar, dan sedikit haru. Tidak bisa kuterima bunga itu. Apa – apaan.
Orang ini baru saja mengagetkanku dengan ulahnya yang menurutku sangat tidak menarik. Dan seketika ini aku harus luluh hanya oleh bunga dan parcel yang ia berikan?. Tidak. Itu bukan Tria’. Aku biasanya tampak garang dengan lelaki, tidak akan mudah dikibuli hanya dengan bunga mawar. Lagian dirumahku banyak, karena ibu selalu menanamnya di halaman rumah.
Amel tiba tiba saja melangkah maju dan mengambilnya. Dan seketika itu, sosok misterius tadi pergi. Berlari dengan kecepatan penuh. Mungkin jika ia punya jurus menghilang, akan ia gunakan disini.
“Amell.... Ihhh. kenapa diambil??” Keluhku pada Amel yang nekat mengambil bunga itu.
“Yah, tidak apa apa kan? Toh ini pemberian, makanya harus dihargai dong” Seru amel bijak, seolah melupakan hal menakutkan yang dialaminya tadi. Kali ini ia sudah pulih kembali. Pulih dengan tingkahnya yang pasti akan menggodaku.
“Ye dapat, bunga... dapat parcel.. Amel bisa makan coklat sepuasnya nih.. “ Ungkap Amel menggoda.
“Ambil saja tuh, kalau suka..” ungkapku memberi harapan.
“Seriuss?” Wajah Amel sumringah dengan ucapanku barusan.
“Iya serius. Ambil saja kalau kamu suka semuanya.. “
“Asikk.... Makasih yah Tria.. Kamu memang sahabatku yang paling baik....” Amel mencoba memelukku dengan pelukannya yang agak lebay.
Aku dan amel langsung pulang. Pertemuan macam apa ini? Aneh sekali. Biasanya dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan dalam tv, jika ada seorang lelaki yang menyukai perempuan. Akan disediakan tempat yang nyaman dan romantis demi pujaannya. Tapi ini apa? Aneh sekali. Apa karena aku dianggapnya bukan orang yang bisa dijadikan lahan untuk menanam rayuan dan suasana romantis itu? Ya sudahlah.. Kondisi tubuhku sudah tidak bersahabat lagi dengan apa yang barusan kami alami. Kami harus segera sampai rumah, membersihkan hati, pikiran dan perasaan.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang