Tante Diah

2 0 0
                                    

Kami sekeluarga silaturahim ke rumah tante Diah. Malam ini akan diadakan tausiyah dirumahnya, mengenang wafatnya kak Novi. Sepulang sekolah aku langsung siap siap. Tidak ada olahraga sore ini, kukabari fira via SMS (Short Massage service) kalau aku hendak kerumah tanteku, jadi aku tidak ikut latihan volly sore ini.
Di rumah tante Diah, sudah ada beberapa keluarga yang datang mempersiapkan makanan untuk diberikan kepada warga yang hadir tausiyah sebentar malam. Akupun turut membantu, membuat kotak kue untuk nantinya dimasukan kue hasil buatan para tanteku yang cekatan dalam hal membuat kue kue yang enak.
Kasus puisi tak bertuan itu juga cukup membuatku pusing hari ini. Kualihkan perhatianku dengan menyibukkan diri disini. Aku memang tomboi, tapi tidak tomboi-tomboi amat, aku lebih suka melakukan hal yang produktif dibanding hanya mempercantik dan merias diri di depan cermin. Setidaknya itu yang membuatku tidak kelihatan feminim seperti beberapa cewek pesolek di sekolahku. Malas sekali rasanya kalau harus berpapasan dengan mereka yang membawa aksesoris make up yang serba Wowww.. ke sekolah.
Tante Diah, kulihat dia sedang duduk termenung di pojok sofa rumahnya. Ia tidak menangis tapi tergambar jelas raut kesedihan yang mendalam dari pancaran wajahnya. Rasanya turut prihatin melihat tante Diah seperti ini. Ditinggalkan anak semata wayangnya yang berprestasi nan cantik pula. Kucoba mendekati tante Diah, basa basi menanyakan kabarnya, walaupun saat itu kulihat sendiri keadaannya seperti apa. Itu hanya usahaku untuk mendekatinya dan berusaha menghiburnya.
“Ehh, nak Triani. Sini nak samping tante” aku mendekat. Duduk!.
“Jangan jauh jauh. Sini..” Tante Diah menyuruhku mendekat. Tiba tiba saja dia memelukku erat. Begitu erat, sampai rasanya nafasku susah kukendalikan.
“Rasanya aku memeluk Novi disini, aku memeluk neng manis yang jago karate itu..” ungkap tante Diah lirih, dia kembali menangis. Aku hanya mengangguk. Tidak bisa bicara apa apa.
“Triani,, kamu mau kan jadi anak tante?” Tante dia  melepas pelukannya. Dia menatapku lamat lamat.
Tiba tiba tante Diah menanyakan hal itu padaku. Karena kuanggap itu hanya pertanyaan biasa dan untuk membuat hatinya tenang, maka kuiyakan saja dengan anggukan dan senyum ketika kutatap matanya yang sembab.
“Tante sudah tidak punya anak lagi Tria, anak ibu yang manis itu telah tiada. Ucap tante Diah piluh.
“Iya, sabar tante, tante diuji seperti ini karena Allah sayang sama tante.  Kak Novi akan menyambut tante di pintu syurga kelak”  Usahaku menenangkan.
“Allah tidak sayang sama tante, makanya Allah biarin tante hidup sendirian. Sungguh malang nasib tante, nak” keluh tante dia kepada takdir.
“Ya Allah,, Jangan begitu tante. Prasangka baik saja sama Allah. Tria ada karena disuruh sama Allah buat menjaga tante disini.” Bujukku kepada tante Diah.
Tante diah memang tidak punya anak lagi sekarang, makanya aku merasa sangat kasihan. Umurnya yang sudah berkepala lima, mungkin sudah tidak memungkinkan lagi memiliki anak. Kak Novi meninggal saat mengikuti kegiatan kemanusiaan di Bandung. Suami tante Diah yang datang sekali dalam beberapa bulan pun membuat tante Diah merasa kesepian. Memang disini ada pembantu, tapi itu tak cukup untuk memberi hiburan ke tante Diah.
Sejak saat itu, sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diri ke rumah tante Diah. Menginap, karena aku diberi satu kamar disini. Kuajak fira dan kawan kawan lain dari kampungku untuk ikut meramaikan rumah tante Diah. Mereka teman teman yang baik dan cukup pengertian, turut antusias menyambut ajakanku. Lapangan kosong di samping rumah tante Diah yang lumayan luas, kami sulap menjadi lapangan Volly. Setiap sore hari kami habiskan waktu disini. Kami jadi tambah betah. Telah kami temukan base camp baru. Sambil aku bisa tetap menghibur tante Diah.
Tante diah yang berjiwa muda pun menyambut baik niat kami ketika lapangan disamping rumahnya kami sulap jadi lapangan Volly. Dia sangat senang, malah selalu menyediakan makanan dan kue kue buatannya untuk kami santap setelah berolahraga.
Dengan kehadiranku dirumah tante Diah, Semoga bisa memberi ketenangan padanya, meyakinkan bahwa dia masih punya anak. Meskipun taruhannya aku jadi jarang dirumah. Tapi semua itu akan kusiasati, karena sekarang aku sudah punya dua ibu. Mamah, dan tante Diah. Aku harus pandai pandai mengatur waktu, kapan harus dirumah dan kapan harus kerumah tante Diah.
Semoga, dengan seperti ini kesedihan tante Diah berangsur pulih. Bersama kuncup kuncup bunga yang mekar dari taman bunga miliknya. Kuharap senyumnya kembali merekah dan tetap semangat menjalani hidup.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang