Sebuah Definisi Cinta

0 0 0
                                    

Padatnya molekul molekul debu bergerak padat dari tanah lapang yang sering dijadikan lapangan bola oleh siswa disekolahku. Terlihat manusia manusia pias yang bergerak memeluk buku buku pelajaran yang bagi sebagian siswa itu adalah penjara. Penjara yang tidak bisa membuat mereka bebas. Bebas melakukan kegiatan bermain tanpa memikirkan PR  PR dan Tugas tugas. Saat jam pelajaran usai. Lonceng berbunyi nyaring. Semua siswa sibuk, mengemas peralatan belajar membungkusnya kedalam tas, menggendongnya pulang kerumah, kekamar, lalu kembali mengulang ulang pelajaran.
“Tria’ kamu mau langsung pulang?” Tanya Nana
“Iya nih, sepertinya langsung. Sedang tidak ada jadwal latihan karate hari ini.” Jawabku.
“Hmm.. iya. Jangan latihan terus. Sekali kali perawatan biar gak kusam.  hihihi” Canda Nana sambil mencolek pinggangku.
“Kuanggap ini sebagai ledekan loh Nan” Tawa kami serempak.
“Kalian ada rapat lagi?” Tambahku.
“Iya nih. Bakal bikin kegiatan lagi. sibuk buangeeet...” kali ini Rima yang menjawab.
“Semangat kawan kawanku. Kalau bukan berkat kalian, sekolah kita gak akan seru. kan gak bakal ada kegiatan lain selain hanya belajar, belajar dan belajar...” Ucapku bangga pada mereka sebagai pengurus OSIS.
Rima dan Nana tidak langsung pulang. Mereka ada rapat OSIS. Kebetulan rapat itu membahas tentang rencana pawai yang akan dilakukan sekolah untuk menggalakkan “go green.” Panas yang mencekik dunia saat ini salah satunya karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak menebang pohon sembarangan. Selain itu, kesadaran untuk menanam pohon juga tidak mereka indahkan. Miris sekali.
Aku berjalan keluar kelas bersama Nana dan Rima. Setelah melewati pintu kelas yang berwarna abu abu. Eentah dapat kabar dari mana, tiba tiba mereka menghujaniku dengan pertanyaan tak terduga.
“Tria, katanya Hilman naksir sama kamu yah? betul ndak?” Tanya Nana.
“Ih apa – apaan sih?, mana ada cowok yang berani sama Tria ?” Bantahku pada mereka.
“Yee... Terus kemarin yang ngirim puisi sama boneka ke kelas itu siapa ?,tidak mungkin kan barang nyasar. Sudah dua kali malah.” Rima menimpali, dan membuatku gelagapan.
“Ya tidak taulah... bisa saja memang barang nyasar” Ungkapku tak mau jujur.
“Kamu hati hati loh sama Hilman, banyak cewek yang naksir sama dia juga. Nanti kamu dibuat patah hati ” tiba tiba Nana menceramahiku.
“Gak usah diceramahin Na’, Orang Tria gak jatuh cinta juga.” Rima mengalihkan pandangan padaku. “Yah kan Tria ?”
Mungkin Rima sedang berusaha memancingku untuk jujur. Tapi, tidak kujawab. Ingin sekali rasanya bilang ke mereka kalau kemarin Hilman menyatakan cintanya di perpustakaan. Tapi, sepertinya, belum sekarang deh.
“Jatuh cinta itu apa sih Rim” Tanyaku polos.
“Yaelah Tria, pura pura gak tau lagi. Ini contoh yah, lihat tuh mereka si Yudi Sama si Dini, mesra sekali bukan?” Tunjuk Rima ke arah taman di bawah pohon ketapang depan kelas. Si Dini yang ditangan kirinya masih menggenggam buku pelajaran, berusaha terlihat nyaman duduk berdampingan dengan Yudi. Pun Yudi, mengeluarkan jurus gombalan mematikan dibumbuhi cerita cerita romantis lengkap dengan bunga melati yang ia cabut dari taman yang ada disampingnya.
“Hemm....” Sembari kukerutkan kening dan bibir yang kubengkokkan kebawah. Tanda belum terlalu mengerti “Apa cinta hanya  seperti itu?” Jawabku pura pura peduli dengan definisi cinta dari Rima.
“Apa cinta semurahan itu? Cowok cuma bawa bunga, terus yang cewek harus terlihat bahagia menerima bunga itu ?” Tambahku sedikit judes.
“Ya.... tidak semurahan itu juga kali. Ada perasaan indah yang mengikutinya. Kamu pernah kan dapat bunga dari Hilman. Nah.... gimana tuh rasanya. Pasti senengnya bukan main kan?” Rima berusaha mengalihkan masalah tentang bunga padaku.
“Kalau aku pasti seneng!” Nana menimpali.
“Kalau aku ya biasa aja kali. Aku tidak merasa spesial karena dikirimi bunga itu. lagian aku juga tidak begitu suka sama bunga. Tidak semua orang suka bunga. Mending dia ngasih bola Volly ketimbang bunga, kan lebih keren. Hahaa.. ” Kami semua tertawa.
Tiba tiba saja, Cahya datang memeluk buku buku pelajaran didadanya. “Assalamu alaikum ukhti.”
Kami serentak menjawab “Waalaikum salam. Eh Cahya. Mau pulang juga  kan? Yuk bareng.”
“Iya nih. Hmm.. tapi kalau boleh, rencana mau mampir sih di rumah tante Diah. Rasanya kangen belum pernah ketemu lagi”
“Iya boleh, kalau gitu kamu bareng aku aja kesana. Kebetulan aku pulangnya langsung kesana juga kok” Ujarku mengajak.
“Kita nggak diajak Tria”? Kata Nana.
“Yaa... Kalau berani ninggalin rapat OSIS. Ayok” Ucapku sedikit meledek, karena tahu mereka tidak akan ikut.
“Wah.. kalau amanah yang satu itu tidak boleh ditinggalin. Hihihi” Ungkap Nana menyerah.
“Kalau begitu kami duluan yah Tria, Cahya” Kata Rima mengalihkan langkah ke ruangan OSIS.
“Cahya, tadi aku bertanya ke Rima, tentang apa itu cinta? Kalau kamu bisa jawab gak?”
“Ehh...Tunggu dulu ini maksudnya apaan, tanya tanya tentang cinta?” Ucap Cahya sedikit keberatan ketika kutanya tentang cinta.
“Ya gapapa...buat referensi aja. Emang gak boleh?”
“Yaa.. Bukan ga boleh juga sih. Tapi, yaa.. Aneh saja kalau seorang Tria yang dikenal sangar, suka berkelahi, suka berkeringat, bertanya tentang cinta. Coba kalau amel yang bertanya, kan tidak begitu mengherankan. hihihi” Ledek Cahya.
“Ya jangan gitu dong. Setiap manusia kan pasti punya cinta. Bukan begitu?”
“Hmmm. Iya deh iya.. jadi harus kujawab sekarang nih?.”
“Iyalah. Masa harus nunggu besok, ihh.. Cahya lama lama kamu jadi ngegemesin juga deh.”
“Baiklah, akan kujawab tapi ini definisi cinta versiku yah.” Sembari berjalan menyusuri  kelas demi kelas.
“Cinta itu...  Adalah Ali (Sahabat sekaligus keluarga Rasulullah), ketika dia berbaring tidur menggantikan Rasulullah Saw di kasur Nabi, padahal dia tahu bahwa sekelompok orang telah berkumpul untuk membunuh Rasulullah Saw. Dia juga tahu bahwa dia mungkin saja tewas di kasur yang sama!!.
Cinta itu... Adalah saat Rabi’ah bin Ka’b (Pelayan setia Nabi Muhammad yang miskin) saat Rasulullah Saw bertanya kepadanya “Wahai Rabi’ah, katakanlah permintaanmu, nanti kupenuhi!” Rabi’ah pun menjawab: “Aku meminta agar aku bisa mendampingimu di surga....” Masya Allah.
Cinta itu... Adalah Tsauban (Pelayan nabi) ketika Rasulullah Saw bertanya kepadanya: “Apa yang membuat warna (wajahmu)  berubah?” Lalu Tsauban menjawab : “Aku tidak sakit dan terluka, hanya saja jika aku tidak melihatmu aku menjadi sangat merindu kesepian sampai aku bertemu denganmu wahai Rasulullah.
Cinta itu... Adalah ketika ketika Aisyah (istri Nabi) tertidur dibelakang pintu menunggu kepulangan Rasulullah. Sedangkan diluar pintu, Rasulullah juga tertidur karena tidak ingin membangunkan Aisyah.”
Langkah kami terhenti. Aku tidak berkata apa apa. Hanya tatapan takjub yang kulekatkan ke wajah teduh Cahya. Sembari berusaha mencerna definisi cinta yang dilontarkannya barusan.
Beberapa kisah dari para pendahulu yang disebutkan Cahya itu sudah pernah kubaca sebelumnya. Juga beberapa kali disampaikan guru agamaku. Jadi tak perlu waktu lama, segera kucerna dan kupahami apa yang dinyatakan Cahya.
“Masya Allah... Aku sangat terharu mendengarnya. Definisi tentang cinta darimu beda ya’. Kamu mengidolakan seseorang yang sama sekali belum pernah kamu temui.”
“Iya Tria. Aku mengidolakan Rasulullah, karena sering membaca kisah tentangnya. Lagian, abiku juga sering bercerita tentangnya padaku.”
“Kenapa kamu tidak menggambarkan cinta dari apa yang terlihat aja. Misalnya sana si Dini dan Yudi,” Kembali kutunjuk kearah mereka.
“Astagfirullah hal adzim. Dalam agama kita, jika ada laki laki yang berdua duaan dengan perempuan yang bukan mahromnya, yang ketiga bersama mereka adalah syetan. Pacaran adalah perangkap syetan, Tria”
“Rasa suka itu wajar. Kita sebagai manusia biasa, pasti memilikinya. Itu fitrah dari sang pemilik hati yang sesungguhnya. Tapi menurutku, kalau suka sama seseorang, ya suka aja. Ga’ usah deh sampai ngusahaain hal hal sampe harus berdua duaan ditempat sepi. Itu sama saja membuka gerbang syetan untuk terus terusan menyesatkan kita sampai berbuat hal hal yang terlarang. Eh.. kok sampe ceramah kayak gini sih. Jadi kapan nih kerumah tante Diah. Lagian ga baik ngegibah orang lain. Kita kudu introspeksi diri aja.” Jelas Cahya.
“Hihihi, gapapa kali ceramah dikit – dikit, biar pengetahuanku bertambah juga kan?” Jawabku.
Setelah berpisah dengan Rima dan Nana tadi, bukannya lebih cepat sampai kegerbang. Kita malah menepi di salah satu koridor kelas. Eh, ini tepat didepan ruang kelas Hilman. Kulangkahkan kaki lebih cepat, diikuti Cahya yang kelihatan bingung. “Kok buru buru amat Tria”
“Nanti kita ketinggalan angkot” Jawabku sekenanya.
“Owh Iya... Buruan Gih.“ Cahya mengikuti langkah cepatku ini. Padahal tujuanku untuk menghindari Hilman. Aku tidak mau berurusan dengannya. Entah perasaan apa ini, tapi pikiranku selalu diganggu olehnya. Meskipun aku sudah berusaha sibuk, dia masih saja muncul di sela sela rehat pikiranku.
Terdengar suara langkah kaki yang berlari dari belakang. Kucoba menenangkan diri semoga itu bukan Hilman. Tapi salah, Orang itu benar adalah Hilman. Dia berusaha memberiku secarik kertas yang tidak kuketahui modus apa lagi yang dia lakukan. Enggan rasanya kubuka dihadapan Cahya, untuk menghargai pemberian Hilman kertas itu aku masukkan ke dalam saku bajuku.
“Kok disimpen sih, dibaca dong” kata Hilman
Cahya masih bingung memperhatikan kami berdua. Mungkin dalam pikiriannya kami punya hubungan khusus dan sepertinya dia akan segera memberi nasihat lagi padaku. Semoga aku siap menerimanya.
“Kertas ini sudah ditanganku, jadi otomatis ini sudah berpindah kepemilikan. Terserah dong mau bacanya kapan!” Ungkapku dengan mata yang berusaha kutajamkan padanya.
“Yaudah deh, kalau kamu belum mau baca. Tapi jangan lupa dibaca ya sebelum besok!” Kata Hilman penuh harap.
Setelah itu, segera kugandeng tangan Cahya untuk meninggalkan tempat ini. Oiya lupa. Ingin kutanyakan juga perihal kado yang kuterima dirumah. Setelah kuberbalik kembali mencarinya. Dia sudah pergi. Cepat sekali.
Untung, Cahya tidak begitu ingin tahu urusan tadi. Dia tidak membahasnya sama sekali. Dia Hanya terus menasehatiku, dan aku begitu tertampar oleh setiap nasehatnya.
“Hilman juga, tidak mengikuti perkembangan jaman. Kenapa harus pakai surat sih, kenapa tidak melalui telephone saja. Huh Sok romantis !.” Gumamku didalam angkot yang gerah ini.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang