Jujur

0 0 0
                                    

Tak ada kebohongan yang setia. Seperti bangkai yang akan tercium bau busuknya. Tak ada rasa yang kekal, karena akan ditepis oleh waktu dan kehilangan. Setelah bicara dengan Lutfi, segera kulangkahkan kakiku ke arah kantin. Hilman masih ada disana. Walau langkah ini terasa berat, aku harus menyampaikannya.
Suara bising dari teriakan dan candaan siswa lain yang ada di teras kelas membuat langkahku semakin cepat. Setibanya dibelakang Hilman, tanpa harus dipanggil dia telah menoleh kepadaku. Memasang wajah yang mungkin itu adalah senyuman termanisnya, membuat detak jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari sebelumnya.
“Terima kasih yah kadonya.” Kutatap kado yang ada  dalam genggamanku. “Hmm aku boleh gak minta sesuatu sama kamu?” Tawarku mengajak berkompromi.
“Silahkan saja, aku akan memberi apa yang engkau minta permainsuriku”. Jawab Hilman diikuti gerakan membungkukkan badan dan ayunan tangan kanan kebelakang punggung dan tangan kiri kedepan dada.
Bwekk.. Rasanya ingin muntah disebut permainsuri olehnya. “Kamu tolong berhenti mengirim kado lagi untukku. Aku sedikit risih, apalagi kalau kamu menitipkan keteman temanku” Ucapku dengan wajah datar.
“Kamu juga tidak usah berusaha mengajakku pacaran. Percuma saja, aku tidak akan pernah mau. Kurasa kamu sudah tahu itu.” Ujarku menambahkan sekaligus menjawab pertanyaannya di perpustakaan beberapa waktu lalu.
Tanpa kuberi dia kesempatan untuk bicara. Aku terus berceloteh menyatakan prinsipku untuk tidak berpacaran.
“Tria’..... Tria’...” Tiba – tiba saja Anis datang membawa berita buruk.
“Caa.. Caa..Cahya.. Hari ini ia masuk rumah sakit. Kata Alif dia sakit parah. Kita kesana sekarang deh..” Ajak Anis dengan wajah yang begitu khawatir.
Memang benar, sudah dua hari Cahya tidak masuk sekolah. Ini sudah hari ketiga. “Sebenarnya Cahya sakit apa sih Nis?. Aku pikir cuma sakit demam biasa. Ini sampai masuk rumah sakit.”
“Aku juga kurang tahu Tria’. Tapi info dari Alif teman kelasku. Sebelum ini Cahya memang sudah pernah sakit parah juga katanya. Dan mungkin penyakitnya yang dulu itu yang kambuh lagi.”
Dulu  kami memang tidak sedekat yang sekarang, makanya segala hal tentang Cahya banyak yang baru kuketahui akhir akhir ini.
Setelah penolakan tadi. Aku berharap Hilman bisa paham, bahwa aku tidak akan berpacaran dengannya. Aku tahu perasaannya padaku. Semoga dengan apa yang kuucapkan tadi, bisa sedikit membantu untuk membuatnya berhenti mengirimiku kado.
Setelah Anis mengabari tiba – tiba. Aku, Anis dan beberapa teman yang lainnnya segera menuju ke tempat Cahya dirawat. Kami sangat khawatir. Tak peduli masih ada jam pelajaran setelah itu. Cahya yang kami kenal sebagai pribadi penyejuk hati kini terbaring lemah melawan penyakitnya.
Sesampainya dirumah  sakit. Berdasarkan info dari kakaknya yang saat ini sedang duduk berdoa, menunggunya di depan pintu ruangan Cahya dirawat. Ia difonis terkena penyakit kanker. Dan sudah stadium akhir.
“Astagfirullah hal adzim. Cahya...”
“Kenapa dia tidak pernah cerita ke kita Nis”. Tanyaku pada Anis memeluknya yang sudah meneteskan air mata. Sembari menyaksikan kumparan kesedihan diseluruh wajah mereka yang berada didepan ruangan ini.
“Mungkin saja dia tidak mau membebani kita Tria, Cahya tidak suka merepotkan orang lain.” Ucap Anis, sambil terisak. Juga membuatku tidak mampu membendung air mata.
***
Aku lupa. Hari ini Ayahku pulang. Mamah pasti telah menungguku dirumah. Aku lupa mengabarinya bahwa aku harus kerumah sakit dulu menjenguk Cahya. Untung saja Anis bawa handphone. Segera kutekan nomor telephone mamah.
“Assalamu’alaikum Halo mah.” Ucapku sambil menahan air mata, meski suaraku sedikit parau.
“Sepertinya kali ini aku tidak ikut ke bandara deh mah. Aku dirumah sakit. Cahya dalam masa kritis. Kami harus disini menungguinya. Memberinya semangat”
“Iya, gapapa biar mamah saja yang  kebandara  sama adikmu. Mamah bakal bilang ke Ayahmu, kalau kamu menunggu dirumah”
“Iyah makasih ma, sampaikan permohonan maafku sama ayah, aku tidak bisa menjemputnya kali ini. Doakan Cahya juga mah. Dia sakit parah.” Kali ini aku menangis sesegukan. Mamah jadi ikut sedih.
“Iya sayang, kamu gak usah ikut. Yang penting Cahya cepat sembuh dulu. Mamah akan doakan yang terbaik untuk kesembuhannya.” Ucap mama menenangkan.
Baru kali ini aku tidak turut menjemput ayah di bandara. Biasanya meskipun sedang demam, aku selalu merengek ke mamah untuk ikut. Tapi kali ini, rasaku untuk membersamai Cahya melewati masa masa kritisnya lebih besar dari menjemput ayah di Bandara.
Benar kata Cahya “Tidak semua orang itu baik, tapi kebaikan bisa datang dari siapapun orangnya” Kata kata itu selalu terngiang dipikiranku saat ini. Diikuti bayangan akan kak Novi. Aku tidak mau itu juga terjadi pada Cahya. “Kamu harus kuat Cahya’.” Ucapku dalamhati “Ya Rabb.. Tolong sembuhkanlah sahabat hamba.”
Tak lama kemudian dokter keluar, memanggil salah satu anggota keluarga untuk masuk ke ruangan. Pertanda apa ini ya Allah. Aku tidak berharap ini adalah saat saat terakhirnya.
Abi Cahya masuk. Tak lama setelah itu Abi Cahya keluar kembali dengan wajah yang telah dihujani air mata. Dia memanggil namaku dan Anis. “Cahya ingin bertemu dengan kalian”
Aku dan Anis  masuk ke ruangan, melihat Cahya terbaring lemah dengan kerudung hitam yang tetap  membalut kepalanya. Situasi ini membuatku tak kuasa menahan tangis, pun Anis.
Seonggok kata yang berusaha ia ucapkan dengan susah payah, membuat kami berusaha memahami dari ungkapan wajahnya yang begitu sayup dan pucat “Kalian jangan berhenti untuk berbuat kebaikan yah” kudengar samar samar.
Aku menggenggam tangan Cahya sekuat kuatnya. “Cahya, kamu pasti bisa melewatinya, jangan lemah. Kamu pasti bisa. Diikuti anggukan Anis yang terus terusan meneteskan air mata.”
Kurasakan tubuhnya semakin lemah. Kupanggil abinya untuk membersamai. Naas, napas Cahya tersengal, dengan susah payah ia berusaha mengucapkan sesuatu. Abi Cahya dengan rambut yang sudah memutih terlihat pasrah melihat putrinya yang sudah mendekati sakaratul maut. Ia membisikan kalimat Lailaha Illallah di telinga Cahya yang tetap dibalut kerudung. Suara alat pendeteksi membunyikan nada datar dengan gambar garis lurus hijau di layar monitornya.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun...
Cahya telah pergi selama – lamanya. Secepat itu. Aku masih belum bisa percaya. Anis, meraung berlari keluar membuat bingung teman teman yang lain, juga kakak Cahya. Ajal memang tak bisa diprediksi.
Seketika itu suasana menjadi berkabung. Tampak kesedihan diraut wajah orang orang yang menunggu diluar pintu. Tidak mudah kuterima. Kenapa harus Cahya ? kenapa secepat ini.? Kenapa orang orang baik ini yang engkau ambil ya Allah... Rintihku pada takdir.
Sore itu juga Jenazah Cahya langsung dikebumikan. Pemakamannya dilakukan di pemakaman islam yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Tante Diah juga hadir pada acara pemakaman tersebut, terlihat pilu yang kembali menyiksa di matanya. Mungkin ini sama halnya dengan kehilangan kak Novi untuk yang kedua kalinya. Kesedihan itu tampak jelas dimata tante Diah. Aku tak cukup kuat lagi  melarang tante Diah menangis.  Apalagi diatas makam Cahya.
Air mata orang orang yang sayang sama Cahya membanjiri pemakaman hari  itu. tanah yang masih basah mengajakku kembali mengingat semua kenangan mulai saat mencurigai Cahya, masuk  ruang BK, bertamu kerumahnya dan melihatnya batuk menahan sakit dan tidak mau jujur. Aku tidak cukup peka. Teringat kenangan saat dia kuajak bertamu kerumah tante Diah, mendengar kajian kajiannya dan meresapi semua pengetahuan darinya. Semua itu menghujani pikiranku saat ini. Membuat hati semakin pilu. Selamat jalan Cahya. Semoga amal jariah dari ilmu yang selalu engkau tularkan akan menjadi penerang di alam kamu yang sekarang.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang