Sebuah Tawaran

0 0 0
                                    

Angkot melaju dengan takzim. Mengantar penumpang dengan prahara masing masing. Kulihat tarif baru yang ditempel dipintunya membuat kami harus menyediakan lebih banyak ongkos transport kesekolah. Baru kemarin harga BBM naik. Otomatis tarif terbaru juga ikut melambung.  Membuat atmosfer gerah didalam angkot turut ikut  berhembus. Tiba didepan pagar besi bercat hitam yang beberapa bagiannya sudah berkarat. Asap angkot tadi mengepul membuatku menutup mulut dengan tangan. Cahya, menggunakan ujung hijabnya.
Tidak diangkot, ketika turun pun rasa panas masih sangat menyengat. Kulangkahkan kaki untuk segera menghindari panas yang sangat mencekam di september ini. Tante Diah kebetulan sedang di teras. Menambal shall kesukaannya yang sudah mulai kusam.
“Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh. Tante ...” Ucap Cahya.
“Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh.” Jawab tante Diah mengalihkan perhatian dari Shallnya ke kami.  “Eh ada Neng Novi. Sini sini..”. Ajak tante Diah kepada Cahya dengan wajah yang cerah gembira.
“Diluar gerah banget, tante. Rasanya haus. Eh, Cahya kamu mau minum apa?”
“Gak usah repot repot Tria. Aku sedang puasa”
“Wah kamu rajin puasa sunnah senin kamis yah nak. Kuat banget. Persis kayak Novi dulu, dia sering ajak tante puasa senin kamis juga.” Tante Diah mengenang Novi lagi kala sedang bertemu dengan Cahya. Tapi hal itu yang membuatnya senang. Kehadiran Cahya membuatnya terlibat dalam upaya membuat dunia tante Diah lebih hidup dari sebelumnya.
Aku masuk dan mengambil minum dan kuhabiskan sendiri di dapur karena menghargai Cahya yang sedang berpuasa. Kutarik secarik kertas berwarna biru langit bermotif bunga dari sakuku dan membacanya.
Bentuknya unik kecil dan imut, bertuliskan

 Bentuknya unik kecil dan imut, bertuliskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kutepuk jidadku yang tidak ada nyamuknya. Aku kalap tidak tau apa yang harus kulakukan. Apa iya harus kupenuhi ajakan itu. Rasanya tidak mungkin. Buat apa coba. Laki laki ini memang sangat mengganggu. Merusak konsentrasiku dan menjadi pemicu insomniaku semalam. Malas sekali rasanya kalau harus terus memenuhi ajakannya lagi. tapi dengan iming imingnya yang cukup menarik membuatku dilema untuk datang atau tidak. Setidaknya aku akan tahu siapa yang mengirim kado itu.
Kembali kulangkahkan kaki keluar menemui Cahya dan tante Diah yang tengah asyik mengobrol. Melihat senyum yang mengembang di wajah tante Diah rasanya aku cukup puas dengan kehadiran Cahya disini. Dia adalah sosok yang mampu menutupi kesedihan tante Diah karena kehilangan kak Novi. Terima kasih banyak Cahya. Ungkapku dalam hati.
Disaat Cahya menceritakan kisah tentang ibunda Maryam yang melahirkan Nabi Isa di bawah pohon kurma, itu adalah cerita paling menarik buatku, juga tante Diah. Cahya menceritakannya dengan bahasa yang mudah kami mengerti. Memang, sebelumnya pernah aku baca saat kelas lima sekolah dasar tentang kisah itu. Tapi ketika Cahya yang menerangkan, rasanya kisah itu lebih hidup. Dia Calon ustadzah yang interaktif.
“Eh, Cahya’ kamu ada cita cita jadi guru gak sih?” Tanyaku menyela kisahnya.
“Emm.....Iya. Memang cita – citaku saat ini adalah untuk menjadi seorang guru. Mengambil peran untuk memberantas ketidaktahuan dan menciptata amal jariah.  Aku suka kalau orang lain menjadi tahu tentang hal-hal yang sebelumnya tidak dia ketahui.” Begitu jawabannya.
“Iya menurutku sih kamu ada bakat. Iyakan tante ?” kualihkan pandanganku ke Tante Diah tanda bahwa ia harus setuju dengan pendapatku.
“Iya menurut tante, kamu itu cocok jadi guru, murid murid pasti bakal senang kalau kamu yang jadi gurunya. Mana enak dipandang, pintar lagi”. Puji tante Diah diikuti rangkulan mesra kepadanya.
“Hihihi.. Tante bisa aja,  tapi  terima kasih pujiannya. Insya Allah aku akan bantu mencerdaskan kehidupan bangsa” Terang Cahya spontan.
“Itukan isi Undang undang dasar empat lima!!!”  aku menanggapi. Kami semua tertawa.
“Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh... ”
“Ehh Amel. Waalaikum salam, sini ayo gabung” Aku berdiri mempersilahkan Amel duduk ditempatku.
“Eh, Ada Cahya. Udah lama?” Tanya Amel heran melihat Cahya disini.
“Iya, tadi aku bareng Tria kesini. Sini Amel, gabung. Ada amel kan tambah seruu .. ! ” diikuti senyum yang mengurai lembut dari Cahya.
Oiya, Aku baru ingat, malam ini aku ada les komputer sama Amel. Pantesan Amel kesini. “Sepertinya aku harus balik dulu deh, kerumah. Aku kangen mamah.”
Setelah pamit sama mereka yang tengah asyik ngobrol diteras. Aku balik dengan tujuan mengambil buku kursus yang kusimpan di atas meja belajar kamarku. Setelah kuambil buku kursus dan ganti pakaian, mamah tiba tiba datang memeluku. “Mamah rasanya kangen banget sama Tria” duh mamah. Tria kan Aman dirumah Tante Diah. Entah kenapa mamah jadi sehangat ini sama aku. Tapi sungguh. Itu yang selalu membuatku rindu untuk kerumah. Rindu pelukan mamah yang membuatku menjadi perempuan, meskipun kadang membangkang perintahnya yang tidak aku sukai. Aku tahu itu salah, tapi emosi masih kadang menguasai egoku. “Maafkan Tria yah mah,” kataku sambil menatapnya. Kucium kening mama lalu pamit. “Mah, aku ada kursus yah malam ini. Aku bareng Amel, jadi Sul atau Om Ardi tidak usah mengantarku”
“Iya, kamu hati hati yah, dan belajar yang rajin” wejangan dari mamah yang selalu menyemangatiku.
“Iya mah, kalau Ayah nelpon nitip salam yah dari Tria”
Aku les juga karena saran dari ayah. Katanya biar bisa dapat nilai maksimal pas Ujian Nasional. Dan aku akan berusaha memenuhi harapan ayah itu.
Sesampainya dirumah tante Diah kembali. Aku tak melihat Cahya. “Wah, Cahya kemana tante?” Tanyaku setelah melihat kursi yang ditumpangi Cahya tadi, sudah kosong.
“Dia sudah balik. Katanya kalau sore dia ngajar ngaji di TPA. Baik sekali anak itu ” Ucap tante Diah bangga, seolah berharap  Cahya itu  adalah anaknya.
Pukul lima sore aku berangkat les. Berada di jok belakang motor Amel, berkendara melalui jalan poros melewati sekolahku menuju ke pusat keramaian ibukota kabupaten tempatku tinggal. Rasanya ingin kuungkapkan perihal Hilman yang mengajakku bertemu sebentar malam. Berat rasanya, tapi Amel adalah salah satu sahabat kepercayaanku.
“Mel... Aku mau bilang sesuatu nih” Ungkapku ragu ragu.
“Ya bilang aja lagi. Dari tadi kan kamu udah cerita panjang” celoteh amel.
“Gini. Tadi kan aku dikasi kertas sama Hilman. Terus isinya berupa ajakan ketemu gitu di Shyvana. Jam Tujuh. Gimana nih” Shyvana resto cukup terkenal dan berdekatan dengan tempat lesku malam ini.
“Yaelah Tria. Datang saja itu kan dekat sama tempat les kita malam ini. Mumpung makan gratis kan?” Amel menyetujui.
“Tapi buat apa coba mel. Bukankah sikap judesku padanya itu belum cukup membuatnya berhenti berharap?”
“Yee. Jangan zuudzon gitu dong Tria. Niat baik seseorang kan tidak boleh ditolak”  Amel berusaha meyakinkanku.
“Niat baik apanya coba, kamu mulai ngarang deh”
“Yaa. Dia kan mau nraktir kamu makan disaat kamu lapar. Kan ganjaran pahala untuk orang memberi makan ke orang yang lapar itu kan tinggi. Kamu ngerti kan maksudku ? ”
Perdebatan ini berlangsung sampai jam les selesai. Tapi intinya Amel sangat mendukungku untuk memenuhi ajakan dari Hilman.
Akhirnya setelah aku luluh dibuat Amel yang mungkin sedang kelaparan juga. Ia berhasil menyeretku ke shyvana cafe untuk menemui Hilman. Setelah motor diparkir, Amel berjalan lebih dulu. Nampak dari area parkir Hilman yang memakai Jaket biru navy berada di sudut ruangan bersama seorang perempuan yang tidak kukenal karena posisi duduknya membelakangi pintu masuk.
Amel menyeringai seru. “Nah.. yang disanakan Hilman! Yuk samperin!”
“Amel. Tunggu dulu. Dia bersama seseorang. Itu siapa coba?” Usahaku mencegat Amel yang mulai rese’ karena lapar.
“Yaelah Tria. Zuudzon lagi. kali aja itu kakaknya, Ayo! ”
Aku lagi lagi berhasil diseret Amel masuk. Kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Terasa kaku memang, tapi Amel menyeretku seperti anak kecil. Dibalik usahaku bertingkah dewasa.
Kaget bukan main setelah Amel menyapa Hilman dan perempuan yang menemaninya ikut berbalik.
“Anis......?”
Langkah Amel berhenti. Diikuti oleh langkahku yang ikut kuhentikan. Mau apa dia?. Kataku dalam hati. Anis tersenyum manis kepada kami. Amel menatapku sambil mengangkat alis, mengerutkan kening. Mungkin dia juga bingung mau apa perempuan itu disini.
“Hey kalian. Sini duduk” Ajak Anis dengan suara yang berusaha ia lembutkan. Hilman berdiri dan mempersilahkan aku dan Amel duduk di depannya.
Amel menyikutku. Kuarahkan wajah datar kepada Hilman dan mulai duduk untuk memperbaiki suasana. Dengan perasaan yang susah kukendalikan. Ada perasaan emosi ketika melihat Anis didepanku. Rasanya ingin kuhajar dia seperti waktu bertengkar disekolah. Tak pernah kulupakan saat ia berusaha melepas hijab Cahya. Sangat kurang ajar. Untung saja Amel berhasil menenangkanku dengan mengingatkan ia telah mendapat hukuman yang setimpal.
“Nah.. Kebetulan semuanya sudah ngumpul. Kalian berdua mau pesan apa ?” Hilman menyodorkan menu makanan dan membuat mata Amel teralihkan dari menatap Anis ke menu makanan itu. “Amel jangan bikin malu deh” Bisikku ke telinga amel.
Kembali kusodorkan menu itu ke Hilman. “Emm.. Maaf yah. Sepertinya kami tidak lama disini” Kurasakan amel menginjak kakiku di bawah meja.
Anis mulai bercerita karena takut kehilangan kesempatan “Gini Tria. Aku mau minta maaf soal yang disekolah beberapa waktu lalu. Setelah kejadian itu aku kalut. Ayahku marah besar. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi meminta maaf padanya. Aku nyaris diusir gara gara ia tahu aku berantem disekolah” ungkap Anis terlihat memelas.
“Aku udah maafin! Udah kelar kan masalahnya. Mau apa lagi?” Aku berusaha ketus padanya. Aku belum bisa membedakan mana ungkapan yang tulus mana yang palsu. Apa iya,  dia bisa berubah dan menyadari kesalahannya secepat ini?.
“Iya. Terima kasih sudah dimaafkan. Tapi aku mau kalian itu bilang sama ayah aku. Kalau aku sudah dimaafkan. Ia tidak percaya lagi dengan apa yang kukatakan padanya”
“Apa untungnya buat kami. Itukan masalahmu sama ayah kamu, kami gak mau ikut campur” Jawabku padanya.
“Ya tolonglah Tria, kali ini saja. Aku janji deh, tidak bakal mengganggu Cahya lagi. Aku janji aku akan jadi baik dan bersahabat dengan Cahya, aku akan bilang ke ayahku kalau kegiatan Islami yang sering dilakukan Cahya dan teman temannya harus dapat dukungan spesial  dari sekolah” Anis berusaha berkompromi dengan kami.
“Tolong yah Tria. Tolong sampaikan ke Cahya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi harus menemuimu. Jadi aku minta bantuan Hilman”
Kulihat wajah penyesalan dan permintaan maaf yang tulus dari Anis. Tapi kutetap curiga. Jangan - jangan ini hanya air mata buaya. Berusaha menjebak dan bermain main denganku. Tidak semudah itu.
“Biar kupikir dulu deh” Setelah kututup percakapan yang membosankan itu, aku berdiri diikuti Amel yang ikut berdiri. Kami keluar dari shyvana resto, kemudian menuju ke warung bakso yang letaknya tidak jauh dari cafe yang baru saja kami datangi.
Hilman berusaha mencegahku untuk pergi, tapi aku benar benar tidak bisa ditahan kali ini.  Benar kata orang, rasa kesal dan lapar ketika bersamaan akan membuat tindakan diluar kendali. “Maaf yah, kami harus segera balik kerumah.”
“Ya ampun Tria, aku laper banget. Kenapa harus keluar sih?” Keluh amel padaku.
“Aku males banget kalau harus makan dan ada Anis didepanku, aku jadi teringat bangkai yang dibuangnya kedalam kelas”
“Yaudah deh, kita makan bakso aja cepetan” Amel mempercepat langkahnya.
Moodku tiba tiba kembali untuk makan. Secara refleks ku iyakan saja ajakan Amel, dan meninggalkan Hilman bersama Anis didalam Resto itu.
**
Keesokan harinya, saat aku dan amel sudah berada dikantin. Cahya mendatangiku, ia punya sesuatu yang diletakkan langsung di atas meja kantin. “Ini apa Cahya? aku kan tidak sedang berulang tahun.”
Ini hadiah buat kamu Tria. Kemarin pamanku dari umroh, dan ini ada beberapa barang yang sudah berlebihan kalau aku yang miliki semua, makanya aku bagi ke kamu. Isinya tidak banyak sih, tapi semoga bermanfaat.
“Wah terima kasih yah Cahya, kamu baik sekali”. Ungkapku penuh haru. Segera kubuka kado itu, ternyata isinya ada tasbih,  mukena serta beberapa bingkisan kurma dan coklat. “Insya Allah ini akan sangat bermanfaat Cahya” Kataku.
Beralih dari hadiah itu, aku menceritakan ke Cahya tentang kejadian yang semalam dengan Anis. “Ya’ tau gak, semalam aku bertemu Anis. Ia mengatakan sangat menyesal atas kejadian beberapa hari yang lalu dengan kita. Dia minta maaf dan ingin berubah menjadi baik sepertinya tidak lama lagi ia akan berusaha menemuimu” Anehnya, kenapa dia manfaatin Hilman untuk mengajakku bertemu yah? Kenapa bukan dia langsung saja yang menemuiku. Ah dasar pengecut. Dia juga bilang; katanya kita harus sampaikan ke Ayahnya bahwa kita sudah memaafkannya. Dia mengiming imingi, kegiatan islami yang sering kamu lakukan di sekolah ini akan mendapat perhatian spesial dari sekolah. Gimana tuh ya’?”
“Yah.. Alhamdulillah kalau Anis mengakui kesalahannya. Soal bilang ke ayahnya itu mah bisa diatur, yang pasti kita tidak tertarik sama iming iming dia tentang perlakuan khusus untuk kegiatan kita. Tanpa perhatian khusus dari kepala sekolah pun Allah sudah atur bagaimana yang terbaik. Tapi aku sangat tertarik jika Anis katanya ingin jadi baik. Kan kita bisa bantu dia? Bagaimana menurutmu ?” Tanya Cahya balik  padaku.
“Kalau aku pribadi sih, waspada kan tidak ada salahnya. Bukanya zuudzon, tapi kali saja dia punya siasat lain untuk mencelakai kamu. Ya kan?”
“Kita kan selalu dalam lindungan Allah, Tria” Ucap Cahya menenangkan.
“Kalau begitu ajak saja dia ikut kajian di organisasi rohismu. Tapi hati hati. Kalau dia bertingkah aneh, bilang saja padaku” ungkapku berusaha melindungi.
“Sipp.  kalau begitu, ayok kita temui dia”
“Loh..loh..loh..  kenapa kita yang harus temui dia? Harusnya dia dong yang usaha untuk bertemu sama kita.” Kataku.
“Hemm, neng Tria. Kalau ada temen yang punya niat baik, seharusnya kita sambut antusias, biar dia tambah semangat untuk berubah jadi lebih baik”
“Bukannya apa – apa. Tapi aku masih curiga Cahya”
“Ga baik zuudzon terus. Mending kita sama sama introspeksi diri. Kali saja bukan sepenuhnya dia yang bersalah. Tapi salah kita juga, yang selalu berfikiran negatif sama orang lain.
Petuah Cahya membuatku kembali lapar. Sesegera mungkin kusantap makanan yang ada dihadapanku. Kamu tidak makan ya’? Tanya Amel.
“Sedang tidak ingin makan.” Jawab Cahya.
“Cahya lagi puasa Mel..” kubantu dia menjawab pertanyaan Amel.
“Wah, hebat banget kamu yah Cahya’. Kalau aku mah yang puasa wajib saja masih setengah mati. Apalagi harus puasa sunnah dan dikelilingi oleh orang orang yang doyan makan semua. Hehe.”
“Hihihi, Amel..Amel..” Tawa yang mengurai ceria dari Cahya membuatnya terlihat manis dengan hijab putih lembut  yang dikenakannya.
Setelah melahap habis makanan. Kami bergegas menuju tempat bu Linda untuk membayar  makanan yang telah kami habiskan.
“Berapa bu’ semua?”
“Loh, semua  kan sudah dibayarkan sama neng Anis.” Kata bu Linda
“Kapan Anis ada disini bu?”
“Sudah dari tadi, sejak kalian masih di meja sana.” Kata bu Linda.
“Oiya, makasih ya bu’”
Kami saling tatap, tanpa bicara. Bingung kenapa Anis membayar makanan kami. Apa ini pertanda ia mengundang kami untuk mendatanginya dan mengucapkan terimakasih?
Waktu istirahat telah habis. Saatnya kembali kekelas, setelah tadi Cahya mengajak untuk menunaikan sholat dhuhur berjamaah. Sembari menunggu guru mata pelajaran selanjutnya, semua siswa berangsur kembali memenuhi tempat duduk mereka masing masing.
Tiba–tiba segerombolan wanita masuk tanpa memberi salam. Perlahan menghentikan kegaduhan dari candaan  teman teman sekelasku. Terlihat Anis sebagai ketua geng mulai bicara. Dibelakangnya berbaris teman-temannya yang memajang wajah angkuh untuk menakut nakuti  kami.
“Mau apa kalian masuk kekelas ini lagi? Mau melempar bangkai lagi?..  hah?” Ujar Rima ketus.
“Tidak tidak. Tolong jangan salah sangka dulu. Kami kesini mau meminta maaf yang sebesar besarnya atas kesalahan kami beberapa hari yang lalu. Kami sangat menyesal dan itu perbuatan terburuk kami. Sekali lagi kami mohon maaf.”
Tiba – tiba Lutfi tepuk tangan. “Heroik sekali kalian, berani mengakui kesalahan dan berani meminta maaf. Hebat. Hebat.” Desas Desus dari teman teman dikelasku yang heran dengan tingkah Anis mulai terdengar. Mereka bingung dengan sikap penyesalan dari seorang Anis dan genknya.
Setelah tepuk tangan dari lutfi, Anis kembali menatap Cahya. Juga Menatapku bergantian. “Terkhusus kepada Cahya dan Tria. Aku sangat menyesal, dan minta maaf kepada kalian.” Anis tertunduk. Diikuti rangkulan dari temannya untuk mengajaknya keluar.
Tak habis pikir. Kenapa gengster tergalak di sekolah ini, tiba tiba melakukan tindakan memohon maaf di hadapan seluruh penghuni kelas? Disisi lain, aku masih menganggap ini akal akalannya doang. Kali saja mereka sedang menyusun rencana besar untuk mengelabuiku. Sedang disisi lain, kembali kualihkan pikiran positifku dengan menganggap ini sebagai bagian dari beberapa cara dia menyesali kesalahannya. Kali ini aku berfikir Anis benar benar serius menyesali perbuatannya dan ingin berubah. .
***
Saat itu juga aku, Cahya dan Amel berjalan menuju ruang kepala sekolah. Letaknya tidak jauh dari kelasku. Kepala sekolah yang saat itu juga kebetulan sedang diruangannya mempersilahkan kami duduk. Kujelaskan apa yang diinginkan Anis, bahwa kami telah memaafkannya dan akan berteman dengannya. Entah kenapa, sikapku ke Anis tiba tiba baik. Aku hanya menyaksikan keikhlasan Cahya menyambut niat baik seseorang yang pernah menyakitinya.
Sesuai janji Anis ia akan mendukung dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan islami di sekolah ini. Pak kepala sekolah sangat menyambut baik niat Anis, anaknya. Sebenarnya dia memang ingin Anis bergaul dengan orang yang paham agama, agar kehidupan anaknya bisa lebih baik di dunia maupun akhirat.
Hari itu juga kami resmi berteman. Tapi belum sepenuhnya. Masih ada keraguan dan kecurigaan dalam hatiku. Tapi aku berusaha menerima Anis.

Menepis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang