( A/n. Cerita ini penuh dengan kontroversi, menguras emosi, jika tidak sesuai dengan mindset silakan undur diri. Tidak ada yang memaksa kalian untuk meneruskan membaca cerita ini.
Karena di sini tempatnya forgiveness, self improvement.
Hanya berusaha tidak munafik dan menutup mata dengan realita yang terjadi di sekitar kita.
Tentang sosok-sosok yang masih berproses hijrah. Dan belum bisa membatasi diri dengan lawan jenis.
Cerita ini hanya mengangkat sebagian kecil fenomena di sekitar lingkungan saya bertumbuh.
Jangan dijadikan patokan utama dan memukul rata terhadap mereka yang berproses hijrah.
Buang buruknya, ambil sisi plusnya.
Terima kasih yang masih bertahan meneruskan membaca. Bijaklah dalam membaca dan berkomentar.
Do not judge a person from what he is doing, because you also have to know the reason why he is did it.
(Jangan menghakimi seseorang dari apa yang dia lakukan, karena kamu juga harus tahu alasan mengapa dia melakukannya).
🎈
🎈*1.
🎈
Jika aljabar kehidupan digelar maka yang mengakar adalah perkalian laju asap di jalanan.
Di mana orang-orang berlomba lomba mencari naungan dan kemakmuran.
Sementara geometri kehidupan masih kabur. Di antara teorama phytagoras yang saling terhubung.
Giri berusaha menapaki jejaknya yang kian samar. Tergerus demensia yang perlahan namun pasti merenggut semua ingatan dan kenangannya.
Dari sini segala mimpi buruk itu dimulai.
🎈🎈🎈
"PHAAARR!!"
Lidah petir menyambar-nyambar, kilatan cahaya itu membentuk akar yang menerangi langit gulita.
Bentala telah lelap dalam rengkuhan hujan deras entah sejak jam berapa. Begitu tenang.
Seolah bertolak belakang dengan batin Giri yang bergemuruh. Riuh saat mencapai pintu. Basah kuyup dengan wajah pasi dan bibir membiru. Gemetar tangannya adalah bukti bahwa gigil merajai sekujur tubuhnya.
"Kenapa basah kuyup begitu? Lupa lagi gak bawa jas hujan?!"
Menggelegar sebuah suara, menyambutnya. Tatapan dingin dan datar dari sang Ayah.
Giri hanya nyengir. Malas meladeni. Bergegas masuk dan naik ke lantai dua. Tak dihiraukannya gerutuan sang ayah di sertai bantingan pintu.
"Sabar, Yah, kan dia emang gampang lupa."
Sang istri mengingatkan sambil mengelus-elus bahunya.
"Lupa juga tidak ngabari kalau pulang terlambat? Seenak perutnya aja seperti tidak punya keluarga." omel pak Ilham jengkel. Ibu Nilam istrinya hanya menghela napas. Giri itu memang berbeda dengan Arga dan Agung, putra-putra suaminya dari istri pertamanya.
Sejak kecil Giri itu pemberontak. Mungkin juga karena belum bisa menerima Nilam sebagai ibu tirinya. Mungkin juga karena belum bisa menerima perceraian ayah ibunya. Beda dengan Arga dan Agung yang bisa dengan legowo menerima.
Nilam tidak berharap banyak dari Giri. Hanya berusaha memaklumi. Dengan segala empati dan simpati sebagai ibu tiri. Yang kadang di anggap tidak lebih tulus dan murni dari ibu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
🅺🅸🅻🅻🅴🅳 🅳🆁🅴🅰🅼 ( 🆃🅷🅴 🅴🅽🅳 )
Romance(CERITA INI PENUH DENGAN KONTROVERSI, MENGURAS EMOSI, YANG MENYUKAI KEHIDUPAN HARMONI DAN DAMAI MOHON BIJAK MENYIKAPI) # 1 Tarbiyah (18 Agustus 2021) # 1 hikma (15 Sep. 2021) # 1 demensia (22 Agustus 2021) # 3 edukasi dari 43...