PART 2. SEPERTI DANDELION

208 31 13
                                    

*2.

Giri terseyum, memandang penuh ketakjuban Dhiana yang sibuk melayani pembeli. Seperti yang sudah-sudah.Ia setia di sini. Meski hanya untuk menikmati salad buah sambil membaca buku.

Menunggu di layani Dhiana.Sambil sekedar ngobrol ringan tentang buku yang mereka baca. Atau tentang penulis faforit mereka.

Kecintaan mereka pada hal yang sama membuat mereka sering bersua. Menghadiri buku yang di bedah.Atau sekedar mengikuti seminar kepenulisan. Meski Giri bukan penulis profesional. Tapi ia mencintai dunia itu meski hanya untuk sekedar hobby, menuang sgala rasa dan asa, lewat puisi.

Sedekat apapun hubungan emosional mereka toh tetap masih ada batas. Apa lagi Giri juga memanggil Dhiana 'Kak'karena terpaut usia. Dan yang paling menjadi batas adalah; Dhiana sudah bertunangan dengan Adrian. Sebentar lagi menikah.

"Assalamu'alakum, Pak dokter."

Sapa Dhiana dengan senyum, begitu mendapati Giri yang menanti. Panggilan 'sayang'Dhiana.

"Wa'alaikunmsalam, Kak Dhi.."

Jawab Giri dengan tawa. Lagi, mereka bertemu mata. Hanya sepersekian detik. Dan selalu Dhiana yang menghindar. Giri tak pernah tahu alasan Dhiana menghidari tatap matanya. Karena bukan mahram? Atau karena hal lain?

"Udah pesan,  Gi? Mau pesan apa lagi?"

Tawar Dhiana ramah. Menarik kursi dan duduk di hadapan Giri. Hanya di batasi meja. Menatap namtag Giri yang masih terkalung di lehernya. Namtag terbuat dari kulit berwarna coklat itu sering jadi perbincangan teman-temannya.

"Giri itu dokter, Dhi? Kok gak seperti dokter?"

Weny pernah tidak percaya. Dhiana cuma tertawa. Kalau tidak seperti dokter trus seperti apa?

"Seperti anak kuliyahan."

Tanggap Aurel dengan tawa. Dua sahabat Dhiana itu sama-sama ngakak. Dhiana cuma tertawa.Giri memang berbeda.

Dengan tinggi hampir 180 dan wajah gantengnya yang acuh. Penampilannya yang tidak rapi. Kemeja hitam yang lengan panjangnya di lipat hingga ke siku. Dengan celana cargo dan sepatu kets.

Berawal dari pertemuan di sebuah bedah buku mereka mulai dekat. Perkenalan singkat yang berlanjut intens lewat medsos.

Hingga dalam seminggu Giri bisa tiga kali mendatangi 'Kafe Wedhia', singkatan dari tiga pemiliknya, Weny, Dhiana, Aurel. Salah satu kafe khusus menu sehat.

"Udah, Kak. Ini aja. Bisa kita pergi sekarang?"

Tanya Giri dengan senyum, sekedar mengingatkan bahwa mereka akan pergi ke toko buku bersama.

"Okey, aku pamit teman-teman dulu."

Jawab Dhiana dengan senyum. Giri tersenyum lebar, ada damai yang menyebar. Ia selalu menikmati tiap penggal kebersamaan dengan Dhiana.

"Yakin bisa balik sebelum Adrian menjemput?"

Weny bertanya ragu saat Dhiana mengambil tas selempangnya. Dhiana menjawab sambil mengecek hand phonenya.

"Aku pamit, Wen.."

Jawabnya kalem. Tahu apa yang di khawatirkan sahabatnya.

"Nitip Dhiana, Gii..ati-ati ada yang marah!"

Teriak Weny saat melihat Giri dan Dhiana melangkah bersama keluar dari kafe. Giri cuma tertawa dengan lambaian tangan.

"Yakin mereka tidak ada apa-apa?"

Bisik Aurel saat melihat Giri membukakan pintu untuk Dhiana. Tatap mata Giri itu tidak bisa bohong. Nyata penuh ketakjuban untuk Dhiana.

"Gak mungkin Dhiana mau mempertaruhkan nama baik dan  harga dirinya untuk seorang Giri."

  🅺🅸🅻🅻🅴🅳 🅳🆁🅴🅰🅼 ( 🆃🅷🅴 🅴🅽🅳 )  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang