PART 16. DILEMA

109 29 20
                                    

*16.

Dhiana tersenyum saat Giri mendekapnya erat dari belakang.Terlihat jelas dari bayangan cermin.

"Mau kemana istriku?Cantik banget."

Ucap Giri sambil sun lembut pipi istrinya.Harumnya bedak menyeruak hidungnya.

Dhiana tersenyum.Menatap tangan Giri yang masih melingkari perutnya.Bagaimana ia akan mengatakan bahwa untuk pertama kalinya ia akan keluar rumah tanpa Giri?Ia akan menemui Mei.Bila memungkinkan ia juga akan konsultasi.

"Aku akan pergi sebentar,Gi..tadi aku udah pamit kan?"

Dhiana mencoba mengingatkan lembut dengan senyum.Ia pamit Giri belanja.Walau ia yakin ingatan jangka pendek Giri tak lagi berfungsi dengan baik.Lobus frontal yang bertanggung jawab untuk memory jangka pendek itu sudah mengalami kegagalan fungsi.

"Maafkan aku ya,Dhi..aku selalu melupakan hal-hal kecil."

Ucap Giri,menyadari kelemahannya.Dhiana berbalik,menggeleng-geleng dengan senyum.Menjamah wajah Giri dengan kedua tangannya.

"Semuanya akan baik-baik saja,percayalah,Gii.."

Giri tersenyum,menarik laci nakas mengambil dompetnya.Menyerahkan kartu ATMnya.Andai Dhiana peka ia akan melihat selembar foto terlipat yang hampir ikut tertarik keluar.Foto Nindy.

"Aku punya uang kontan,Gii.."

Dhiana beralasan.Ia tahu Giri tak berpenghasilan.Dan hasil dari perkebunan semua Dhiana yang simpan.

"Aku suamimu kan?"

Giri berucap lirih sambil menatap Dhiana dalam-dalam.Dhiana tersenyum.Mengangguk.Mereka saling tatap penuh cinta.Untuk kemudian saling dekap mesra.

"Izinkan aku tunaikan kewajibanku,Dhi."

Bisik Giri lembut,Dhiana mengangguk.Merasakan Giri makin memperat dekapan.Lirih ia bisikkan bahwa ia sangat bersyukur menjadi istri Giri.Ia akan selalu membuat Giri merasa berarti dan punya arti.Agar Giri nyaman dan tidak stress.

"Aku yang beruntung memilikimu."

Bisik Giri,sambil mempererat dekapan.Meski ia dalam kondisi sakit.Dan Giri sering melupakannya tapi perempuan ini selalu di sisinya.Memcintainya tanpa batas.Dengan cinta luar biasa dan tanpa pamrih.

🎈
🎈

Dhiana berlari-lari kecil memasuki apotek Merdeka seiring dengan gerimis yang melebat.Ia akan tebus resep obat Giri dulu sebelum bertemu Mei.

Dhiana mendorong pintu kaca hampir bersamaan dengan seseorang.Akhirnya sosok pria itu membukakan pintu dan membiarkan Dhiana masuk lebih dulu.

Dhiana tersenyum dengan ucapan terimakasih.Deg!Dadanya seperti berhenti berdetak saat menyadari siapa sosok itu.Memakai jaket bomber warna hitam.Dengan jeans belel.
Bermasker hitam.Tapi sorot mata dan sosoknya adalah milik...

"Hai,Dhii..Assalamu'alaikum."

Geletar sosok yang tak lain adakah Adrian itu.Kejutan besar saat ia bertemu Dhiana secara tidak sengaja.

Meski tetap saja ada yang bergolak dalam benak.Dhiana tetap cantik dan anggun dengan gamis coklat susu dan hijab hitam.Meski memakai masker Adrian tetap tahu itu adalah sosok Dhiana.Ia sangat hafal.

"Wa'alaikumsalam,Mas.Cari obat?"

Jawab Dhiana setelah berhasil menguasai diri.Meski itu pertanyaan bego.Berada di apotek apa lagi yang di cari kalau bukan obat?

"Iya."

Jawab Adrian singkat.Meski bibirnya tertarik untuk tersenyum di balik maskernya.

Dhiana kembali memanggilnya "mas".Berarti tidak lagi ada amarah.Biasanya Dhiana memanggil namanya saja bila lagi emosi atau menggodanya.

  🅺🅸🅻🅻🅴🅳 🅳🆁🅴🅰🅼 ( 🆃🅷🅴 🅴🅽🅳 )  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang