*22.
Indonesia
Dengan setengah hati Dhiana memasuki halaman rumah nan teduh dan asri. Terhitung hampir enam bulan Dhiana tidak menapakkan kaki di halaman berumput hijau itu, paving blocknya yang terhubung ke pintu utama dan garasi masih sama. Dihiasi aglonema yang berjajar rapi di tepi paving block.
"Ini rumah siapa, Nin?"
Masih saja Giri memanggil Dhiana dengan Nindy. Dhiana tersenyum, mempererat genggamannya pada tangan Giri. Di dalam sana mas Arga, mbak Rany, ayah bunda mertuanya tengah menanti. Mereka yang menjadi penengah dan jembatan damai bagi mereka berdua. Setelah mendapat pesan dari mbak Rany bahwa semuanya baik- baik saja, baru Dhiana berani mengajak Giri masuk.
"Rumah orang tuaku, Gi. Yang berarti juga rumah mertuamu. Rumah orang tua kita." jawab Dhiana dengan senyum. Giri hanya oh panjang. Nyata tatap matanya asing saat berusaha mengenali sekelilingnya. Pot gantung di teras dengan jajaran anggrek, kursi rotan di teras.
Deg!
Deg!
Deg!
Dada Dhiana tetap berdegub kencang meski mbak Rany mengatakan semuanya baik-baik saja. Masih terbayang dengan jelas ketika ia diusir oleh sang ayah dari rumah ini karena meninggalkan Adrian dan memilih Giri. Batalnya pernikahan yang akan diselenggarakan, undangan yang sudah di cetak. Dhiana sadar sesadar-sadarnya bahwa apa yang telah ia lakukan dianggap aib. Tapi Dhiana tidak bisa mempertaruhkan hidupnya untuk seseorang yang tidak ia cintai. Seseorang yang lebih mencintai dirinya sendiri, egonya sendiri, seperti Adrian.
Meski harga dari pilihannya seperti ini. Tapi ia rela, ia iklas, asal ia tidak menipu dirinya sendiri. Hanya demi kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Ia harus self love. Meski dengan resiko seperti ini.
"Dhianaaa!"
Sebuah dekapan dari sang bunda langsung menyambutnya. Dengan tangis yang tumpah ruah.
Sementara Giri hanya menyaksikan pemandangan itu dengan tatap mematungnya. Mencoba mengais sisa-sisa ingatan yang berkelindan.
Siapa wanita itu? Ibunya Nindy? Bukankah orang tua Nindy sudah meninggal? Andai masih hidup sekali pun orang tua Nindy itu Tionghoa. Ini wajahnya? Jawa?
Ingatan Giri yang carut marut membuatnya di kepung bingung. Berbagai kota kata di otaknya menggaung. Tapi genggaman tangan Arga yang menyambutnya membuatnya tenang.
"Ayo masuk, Gi."
Ajak Arga dengan senyum. Dokter Lee mengatakan yang terpenting adalah kenyamanan Giri. Jadi ia harus bisa membuat Giri tenang dalam situasi apapun dan bagaimanapun.
Arga tahu, gestur tubuh pak Wijaya belum sepenuhnya menerima Giri dan Dhiana. Meski Arga, ayah, bunda, Rany berusaha membuat beliau mengerti. Mungkin ego orang tua yang selalu merasa benar, mungkin egonya yang merasa seperti di lempar kotoran ke wajahnya saat Dhiana membatalkan pertunangan dengan Adrian dan lebih memilih Giri, mungkin ego orang tua yang selalu merasa lebih tahu apa dan mana yang terbaik untuk anaknya, hingga membuat pak Wijaya berlaku seperti itu.
"Saya bisa mema'afkan Dhiana jika Adrian dan keluarganya juga memafkan mereka."
Itu ucapan pak Wijaya. Yah! Hanya menunggu Adrian dan keluarganya maka beban moril ini akan tersingkir untuk selamanya.
"Sini, Nak. Ayo!"
Ibu Nilam membimbing sebelah kiri tangan Giri, Arga di tangan kanannya. Mereka berdua duduk mengapit Giri. Meski nyata tatap mata Giri penuh tanya. Ini di mana? Rumah siapa? Mengapa berkumpul di sini? Dan wajah-wajah asing itu. Entah berapa pasang mata yang menatapnya dengan tatapan yang tak dapat ia definisikan. Wajah-wajah baru. Hal-hal baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
🅺🅸🅻🅻🅴🅳 🅳🆁🅴🅰🅼 ( 🆃🅷🅴 🅴🅽🅳 )
Romantizm(CERITA INI PENUH DENGAN KONTROVERSI, MENGURAS EMOSI, YANG MENYUKAI KEHIDUPAN HARMONI DAN DAMAI MOHON BIJAK MENYIKAPI) # 1 Tarbiyah (18 Agustus 2021) # 1 hikma (15 Sep. 2021) # 1 demensia (22 Agustus 2021) # 3 edukasi dari 43...