Part 7: Dawn

1K 117 3
                                    


Singto sedikit sempoyongan setelah darahnya diambil sebanyak 2 kantong besar. Meskipun ia rela melakukannya demi menyelamatkan anak Krist. Singto masih beristirahat di ruang transfusi, hingga seorang suster mengetuk pintu dan masuk.

"Permisi dokter Singto, infus transfusi sudah dipasang."

"Terima kasih, sus. Saya akan mengecek kondisinya."

Meski kepalanya masih terasa berat, ia tetap melangkahkan kaki menuju ruang anak itu dirawat. Ia melihat Krist yang duduk di samping tempat tidur anaknya, menggenggam tangan anak kecil yang terbaring lemah itu dan tidak meninggalkannya sedetik pun.

Kapan Krist punya anak? Usia anaknya sudah 5 tahun, berarti 6 tahun yang lalu? Ketika Krist menghilang?

Banyak pertanyaan di benak Singto yang ingin ia tanyakan tapi tidak bisa. Ia memeriksa kondisi anak itu yang sejauh ini berangsur membaik, demamnya berhasil turun. Tak lama kemudian anak itu membuka matanya, masih dengan pucat dan lemas. Baru kali ini Singto melihat iris mata anak itu yang berwarna hitam legam, berbeda dengan iris mata Krist yang berwarna kecoklatan.

"Papa...", panggil anak itu dengan suara pelan.

"Iya papa disini.", ucap Krist sembari mengelus lembut pipi anaknya.

"Papaa...." Anak itu merintih, pasti karena merasakan tubuhnya yang terasa sangat tidak enak. Krist tidak tega melihat anaknya kesakitan, namun ia juga bersyukur anaknya kembali sadar.

Krist mendongak untuk melihat ke arah Singto.
"Terima kasih.", ucapnya pada Singto.

Singto tersenyum sembari mengangguk, "sama-sama."

Dering handphone Krist memecah kecanggungan di antara mereka.

"Halo pak.", jawab Krist.

"Tapi pak, anak saya sedang berada di rumah sakit. Tolong saya pak, izinkan saya. Tapi pak...pak!"

Singto tidak sengaja mendengar pembicaraan Krist di telepon itu dan melihat ekspresi Krist yang terlihat gundah, "ada apa?", tanyanya spontan.
Krist menatap padanya, "maaf jika aku mencampuri urusanmu."

"Boss ku menelepon. Seharusnya hari ini aku ada siaran pagi. Jika ingin izin aku harus mencari reporter pengganti tapi tidak ada satu pun yang bisa. Aku tidak mungkin meninggalkan Aroon, tapi boss ku mengancam akan memecatku."

"Shift ku sebentar lagi selesai. Aku bisa menunggu anakmu disini sampai kamu kembali."

"Tapi... Aku tidak mungkin merepotkan dokter."

"Aku Singto, temanmu, iya kan? Aku bukan orang lain."

Entah ada sesuatu yang menyakitkan bagi Krist ketika Singto mengatakan kalimat itu.

"Aku akan segera kembali." Krist bersiap untuk pergi menuju kantornya untuk melakukan siaran langsung berita pagi yang menjadi pekerjaannya sebagai seorang reporter.

"Papa pergi kerja dulu sebentar ya. Kamu sama teman papa dulu.", ucap Krist sembari mengecup lembut dahi anaknya sebelum pergi meninggalkan ruangan.

"Hai.", sapa Singto pada anak laki-laki yang masih terbangun itu.

"Hai om.", jawab anak itu.

"Siapa namamu?", tanya Singto sembari duduk di samping tempat tidur anak itu.

"Aroon."

"Siapa yang memberimu nama itu?"

"Papa. Papa bilang aku lahir saat matahari terbit, jadi papa memberiku nama Aroon yang artinya fajar."

"Wah nama yang bagus."

"Om dokter ya?"

Singto melihat ke arah jas putih yang masih ia kenakan, "Oh. Iya.", ucap Singto sembari tersenyum.

A Tale of First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang