Part 11: Who Are You?

1K 107 1
                                    


Hari itu Singto tidak ada jadwal praktik di klinik dan ia juga sedang tidak ada agenda lainnya. Sehingga ia dapat seharian menjaga Aroon di rumah sakit ketika Krist harus bekerja.

Anak laki-laki itu terlihat sangat bersemangat, seperti sudah sembuh total. Dari sejak sakit pun anak itu masih memiliki semangat, sehingga Krist sempat mengira anaknya tidak sakit parah karena tidak terlihat sakit. Namun, tiba-tiba saja anaknya demam tinggi hingga kejang. Beruntungnya Krist tidak tidur saat itu, sehingga ia dapat membawa anaknya ke rumah sakit tepat waktu. Ia sangat bersyukur memiliki anak seperti Aroon yang penurut, tidak banyak mengeluh, dan tidak manja. Entahlah anak itu seperti mengetahui keadaan Krist.

"Hari ini om Singto gak kerja?", tanya Aroon ketika Singto menyiapkan meja untuk meletakkan sarapan Aroon.

"Hari ini khusus main sama Aroon. Oh iya, mulai sekarang jangan panggil om lagi ya."

"Terus Aroon panggil apa?"

"Panggil ayah."

"Jadi beneran om Singto ayah Aroon?"

Singto mengangguk. "Aroon udah tahu?"

"Iya papa kemarin bilang. Yeyeye!! Ayahh!!" Aroon langsung memeluk Singto yang saat itu tengah berdiri di samping tempat tidurnya.

Singto pun balas mendekap anak itu. Aneh sekali mereka baru beberapa hari kenal, tapi rasanya Singto sudah sangat dekat dengannya. Apalagi setelah tau Aroon adalah anaknya. Semakin dilihat, Aroon memang sekilas memiliki fitur wajahnya walaupun anak itu lebih mirip dengan Krist yang memiliki mata bulat, namun iris matanya sama persis dengan Singto.

"Aroon makan dulu ya."

"Iya ayah." Aroon yang penurut selalu memakan tiap suapan yang diberikan oleh Singto. Memang ia adalah anak manis yang diidam-idamkan oleh semua orang tua. Apabila Aroon bukan anak kandungnya sekalipun, Singto pasti akan tetap sayang pada anak itu.

Keduanya menghabiskan waktu merakit lego yang baru saja dibeli lagi oleh Singto. Tidak tahu mengapa, rasanya Singto ingin memanjakan anak tunggalnya itu dan membelikan apapun yang ia mau.

Singto berjanji pada dirinya untuk meluangkan waktu dengan Aroon ditengah kesibukannya, demi menebus waktunya dengan Aroon yang telah terbuang. Meskipun ia sendiri tidak yakin bagaimana menjadi ayah yang baik, karena sosok ayah dalam ingatannya tidak bisa disebut ayah. Ia tidak ingin Aroon merasakan apa yang dirasakannya.

Seorang dokter spesialis yang merawat Aroon dan juga seorang suster menghampiri kamar Aroon.

"Selamat siang professor.", sapa Singto pada dokter spesialis anak yang pernah menjadi konsulen nya ketika ia co-ass dulu.

"Selamat siang, dokter Singto.", jawabnya.

"Saya mau menyampaikan tentang kondisi Aroon. Dimana wali pasien?"

"Sedang bekerja."

"Kalau begitu nanti saya kembali lagi saja."

"Sampaikan ke saya saja, prof. Saya juga bisa disebut wali pasien."

Professornya itu terlihat bingung.

"Aroon anak saya, prof. Saya baru tahu beberapa hari yang lalu dari hasil test DNA. Saya ada buktinya."

"Oh." Professornya nampak terkejut, karena ia tahu Singto belum menikah. "Baguslah kamu tahu sekarang daripada nanti anakmu sudah dewasa. Jadi saya sampaikan langsung saja ya. Dari hasil tes darah tadi pagi, kondisi Aroon sudah baik. Kadar trombositnya sudah normal dan virus dengue nya juga sudah tidak terdeteksi. Jadi Aroon sudah boleh pulang nanti sore atau besok pagi."

A Tale of First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang