Faith #4

962 69 0
                                    

Tepat setengah jam setelah aku selesai menghadiri seminar di auditorium kampusku, aku memutuskan untuk mampir ke sebuah mall ternama di Jakarta. Tiga hari berlalu dari kejadian di restoran itu, sebenarnya pada waktu itu aku tidak berniat mengucapkan kata-kata perpisahan seperti itu. Tapi sejujurnya, aku agak tersulut dengan pernyataan yang dilontarkan Kevin. Maka dari itu, aku sempat memastikan ulang apakah ia benar-benar ingin dekat denganku atau hanya sekedar penasaran. Aku juga belum menyimpulkan tentang hal ini.

Lalu bagaimana tanggapan Kevin setelah aku mengucapkan pernyataan itu kepadanya?

Untuk menjawab hal ini, aku tidak tau isi hati dan pikiran Kevin. Melihat dari gelagatnya, beberapa kali ia mencuri pandang ke bangku tempatku dan teman-temanku duduk, mencoba untuk berinteraksi denganku lewat gerakan isyarat dari kepalanya. Apakah aku meresponnya? Tentu tidak. Pertemuan kami di balkon lantai dua harus dirahasiakan dari banyak orang, termasuk teman-temanku sendiri.

Bahkan komentar Amel saat itu yang katanya aku menghabiskan waktu yang cukup lama hanya aku balas dengan senyuman simpul saja dan aku harap dia paham bahwa sesuatu itu tidak ingin aku bicarakan ke khalayak ramai.

"Totalnya 125.000," pikiranku terbuyar saat kasir sebuah toko pakaian mengucapkan harga dari topi berwarna putih yang aku beli. Setelah membayarnya dengan uang pas, aku segera melepaskan segel harganya dan memakainya. Merasa sudah cukup melakukan window shopping, aku mampir ke outlet minuman yang kebetulan ada promo sepuluh persen bagi pembelian rasa minuman yang telah tertera. Tanpa basa-basi, aku segera membeli minuman tersebut.

Sambil memandangi outlet minuman ini, aku mengaku kagum dengan pemilik minuman ini. Ya siapa lagi kalau bukan Kevin Sanjaya. Kalian semua pasti tahu lah seorang Kevin kalau tidak menjadi pebulu tangkis profesional, ia ingin menjadi seorang pebisnis handal. Walaupun dia sekarang dikenal banyak orang sebagai atlet kebanggaan negara, ia juga memiliki sampingan bisnis yaitu minuman ini yang memiliki beberapa cabang lainnya di kota-kota besar Indonesia.

Suara yang tidak asing terdengar di kedua telingaku saat aku fokus ke layar ponselku. Bersamaan dengan itu, suara-suara ramai lainnya menyusul di belakangku dan sekitarku membuatku harus mendongakkan kepala untuk mengecek keada—

Kedua mataku melebar saat melihat seorang Kevin yang berdiri di balik tempat kasir seraya tangannya menyodorkan minuman yang tadi sudah kupesan. Bukan hanya aku saja, Kevin yang baru saja menyadari ada aku di depannya juga terkejut. Tanpa perkataan apapun, kami sama-sama tenggelam di dalam tatapan yang kami buat. Jantungku kembali berdebar dengan cepat dan terus bertambah cepat diiringi dengan semerbak wangi parfum yang Kevin pakai menusuk indra penciumanku. Dari kami berdua pun tidak ada keinginan untuk melepaskan pandangan kami seolah-olah kedua netra kami ditakdirkan untuk bersama sementara waktu. Oh Tuhan, apa yang kau rencanakan untuk kami sebenarnya?

Tatapanku terlepas di saat kerumunan tersebut mulai bertambah banyak dan ada seseorang yang menyenggol bahuku tanpa sengaja. Dengan gugup, tangan kananku menerima minuman itu sembari menyodorkan sepeser uang yang tadi sudah disebutkan Kevin. Sambil menunggu uang kembalian, badanku benar-benar terhimpit dengan orang-orang yang tidak sabaran ingin dilayani pemesanannya oleh Kevin. Sungguh sebanyak ini penggemar Kevin. Setelah uang kembaliannya mencapai tangan kananku, aku menatap Kevin yang juga menatapku. Tanpa perkataan apapun, aku segera menjauh dari kerumunan itu dan memutuskan untuk bergegas pulang saja.

Menelisik tentang kehidupanku sejenak, jauh sekali keterlibatan kehidupanku dengan olahraga khususnya bulutangkis. Jadi, aku sedang berpikir pertemuanku dengan Kevin ini terjadi karena takdir. Bukan karena campuran tangan orang lain seperti yang kebetulan punya kenalan di Pelatnas, berteman dengan salah satu teman dekat Kevin, atau orang tuaku yang satu arisan dengan orang tua Kevin. Tidak, tidak ada hal seperti itu. Maka dari itulah, aku berpikir pertemuan kami yang terjadi tiga kali ini merupakan rencana yang sudah dipersiapkan Tuhan. Atau lebih tepatnya hanya cobaan saja? Opsi kedua lebih menarik.

"Jidat lo mau ciuman sama tiang?" perkataan itu keluar sesaat setelah jidatku dipegang oleh satu telapak tangan yang cukup lebar dan hangat. "ngelamunin apa sih lo sampe ga merhatiin jalan?"

Aku menoleh, mendapati Kevin yang sedang berdiri dengan tatapannya yang tertuju ke arahku lalu menoleh lagi ke depan, melihat ada sebuah tiang besi yang besar menghalangi jalanku. Sebentar—

Aku menoleh lagi, memastikan ada seorang Kevin berdiri di sampingku, menatapku, dan mengajakku bicara.

"Kevin?" ungkapku tak percaya seraya menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang melihat interaksi kami di bagian belakang mall.

Ia berdeham cukup kencang sebelum berkata, "harusnya tadi sesi jualan gue satu jam, tapi setelah ngeliat lo gue putusin buat seperempat jam aja cukup." jelasnya, seakan tahu apa yang ada di pikiranku.

"Kenapa aku?" tanyaku, mencoba memahami kalimat Kevin yang mengatakan alasan ia memotong sesi jualannya menjadi lima belas menit hanya karena melihatku.

Kevin mencebikkan bibirnya sambil mengusap rambutnya. "ya karena itu lo. Lo gatau aja abis kita ngobrol di restoran kemaren Jumat, gue jadi kepikiran terus sama lo." ia mengutarakan jawabannya itu dengan santai. "gue udah putus asa bisa ketemu lagi sama lo, kenalan sama lo, at least nama aja gue udah seneng kalo gue tau."

Aku tertawa mendengarnya, "seasik itu ya obrolan kita sampai lupa nanya siapa namaku?" ejekku kepadanya. "kesempatan ga dateng dua kali, Vin. Tapi aku juga heran, Tuhan baik banget ngasih kamu kesempatan dua kali."

Laki-laki itu tersenyum seraya berujar, "Tuhan emang baik, jadi jangan heran."

Senyumanku memudar perlahan mendengar perkataan itu. Pikiranku mengabur dan kedua netraku melayang ke langit-langit mall. Bukan, bukan tentang Tuhan yang menjadi beban pikiranku saat ini, tapi bagaimana Kevin melontarkan perkataan itu kepadaku sehingga enam kalimat itu terdengar begitu lembut dan suci di kedua indra pendengaranku. Aku yakin opsi keduaku tadi memang benar adanya.

"Pulang naik apa?" Pertanyaan Kevin membuatku harus menatapnya kembali.

"Ojek online," jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepalaku kecil.

"Gue anterin aja deh ya, mau?" tawarnya yang membuat jantungku berdetak cukup kencang lagi. "ga ngrepotin, sekalian gue mau langsung ke Cipayung."

"Hah? itu mah jauh dari kos-an aku." elakku, tidak ingin sama sekali menjadi beban seorang Kevin.

Kevin tergelak mendengar apa yang kukatakan sambil tangannya terulur memegang kedua bahuku. "justru itu, gue jadi bisa ngisi sisa waktu jualan gue yang tadi setidaknya tiga puluh menit sama lo."

Tanpa basa-basi, sosok laki-laki itu itu menarik pergelangan tanganku dan segera menuju ke tempat mobil yang ia parkir sebelumnya.

♡♡♡

Trespassing [Kevin Sanjaya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang