BAB 64 [Tidak Boleh Pacaran!]

279 47 44
                                    

Hallo everyone!

Maaf banget lama nggak up, huhu.
Soalnya mood nulis lagi nggak baik.

Ada kabar kurang baik juga, aku lupa password akun ini guys! Aku udah coba-coba ganti email-nya tapi nihil, ngga bisa. Aku nggak tau kenapa. Bukan cuma capek tapi sampe nangis.

Aku sayang banget sama akun ini, soalnya aku bisa kenal kalian semua disini. Beberapa dari kalian bahkan udah deket banget sama aku. Untuk mulai dari awal rasanya gak mudah guys.

Ada yang tau caranya? Atau ada yang bisa kasih solusi? Tolong dong😭

Untuk mewanti-wanti, aku udah bikin second akun. Aku takut aja kalau tiba-tiba hapenya rusak atau aplikasinya tiba-tiba ke hapus, soalnya kadang hapenya juga suka di pinjam keponakan yang masih balita.

Kalau aku nggak up lama, kalian bisa cek di akun yang udah aku tag yak! Atau cari aja di profil aku terus cari yang aku ikutin. Okey?!

Tapi sebisa mungkin aku mau namatin AKI di akun ini. Mudah-mudahan nggak ada kendala.

Huhu, maaf ya jadi curhat. Aku tau mungkin ini sepele untuk kalian, tapi enggak untuk aku. Akun ini berarti banget untuk aku.

______________________________________

Kata Bunda kalau beneran suka harus ta'aruf dulu, nanti baru boleh menikah. Tapi jangan sekarang, nanti kalau sama-sama sudah siap.

Nadzia

****

Happy Reading

****

"Assalamualaikum?" Suara salam dari Alvin dan Hafsi terdengar hingga mushola kecil yang ada di bangunan dua lantai ini.

"Waalaikumussalam." jawab Alisha, Aiza, Ainun, dan Zia bersamaan. Keempatnya barusaja menyelesaikan ibadah shalat dzuhur yang dilaksanakan secara berjamaah.

"Bunda, itu Kakek sama Om Papa udah pulang dari masjid!" seru Zia yang langsung bangkit dari atas sajadahnya.

"Bunda Zia mau ke Kakek dulu, ya!" Tanpa menunggu jawaban dari Bundanya, Zia langsung keluar dari dalam ruangan yang yang di khususkan untuk beribadah bersama itu, gadis itu berlari menuju ke lantai bawah, tepatnya ke ruangan yang terdapat pintu utama di bangunan dua lantai ini.

"Zia, mukenanya di lepas dulu, jangan lari-lari, nanti Zia jatuh," kata Aiza yang khawatir karena melihat Zia yang barusaja lari dari dalam ruangan masih menggunakan mukenanya dengan lengkap.

"Ck! Udah Za, sana kamu susulin Zia dulu, mukenanya dilepas, takut nanti malah Zia jatuh gara-gara kesandung bawahan mukenanya. Biar makan siangnya Bunda sama Ainun yang siapkan," kata Alisha.

"Iya, Bunda. Kalau gitu Aiza susulin Zia dulu ya, Bunda." Pamit Aiza setelah perempuan itu melipat kembali sajadah yang tadi di gunakan olehnya dan Zia untuk shalat, sebelum keluar dari ruangan yang berdominasi dengan warna putih ini
Aiza menggunakan cadar talinya, mengingat saat ini ada Hafsi yang statusnya adalah iparnya.

"Zia ... jangan lari-lari, Nduk! Nanti kalau Zia jatuh bagaimana?" kata Alvin saat mendapati cucu perempuannya itu tengah berlari di tangga yang menghubungkan dengan lantai dua.

"Kakek ...! Om Papa ...!" kata Zia yang masih berari menuju ke ruang tamu setelah berhasil menuruni tangga dengan selamat.

"Iya, Kakek sama Om Hafsi di sini. Zia jangan lari-lari, nanti kalau Zia jatuh bagaimana?" kata Alvin.

Assalamu'alaikum Ketiga ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang