"Appa dan eomma memutuskan untuk berpisah, namun satu hal yang pasti adalah kau tidak akan kehilangan kasih sayang sedikitpun dari diriku ataupun eommamu." Ucap ayahnya sambil berlutut menggenggam jemarinya yang kecil sambil tersenyum kearahnya seolah masalah yang mereka hadapi kini hanyalah masalah kecil. Jiyeon tahu bahwa semua itu tidak benar, bahkan sejak sebulan yang lalu ia tahu ia akan kehilangan ibunya karena campur tangan pria lain. Dia melihat ibunya pergi ditengah malam yang disertai badai, ibunya tidak menoleh sedikitpun seolah ia tidak ingin lagi berurusan dengan masa lalunya dan seolah ia ingin melupakan semua hal yang pernah ia miliki bahkan putrinya sendiri.
Ayahnya tidak hanya kehilangan isterinya saat itu, namun juga sahabatnya. Pria yang pergi bersama isterinya adalah sahabat yang ia percayai lebih dari siapapun didunia ini, mereka tumbuh bersama-sama dari anak-anak yang berasal jalanan kumuh dan membangun perusahaan raksasa bersama-sama namun kenyataan membuktikan bahwa selama apapun kau mengenali seseorang, tidak ada jaminan ia tidak akan mengkhianatimu. Awalnya Jiyeon pikir hubungan ibunya dengan paman Lee hanyalah hubungan persahabatan yang dekat, kemudian ia melihat paman Lee mulai menempati kamar yang ditempati ibu dan ayahnya serta menggunakan barang-barang milik ayahnya saat pria malang itu tidak berada dirumah.
Hubungan gelap ibunya dengan paman lee menjadi rahasia umum dirumah itu, semua orang tahu apa yang ibunya lakukan dan mereka dengan sebaik mungkin mencoba menjauhkannya dari kenyataan itu namun ia sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa hubungan yang dijalankan ibunya adalah kesalahan.
Kepergian ibunya tidak hanya meninggalkan luka namun juga mengubah semuanya, rumah itu terasa dingin dan mati. Ibunya adalah wanita yang suka sekali menanam bunga dan setiap hari ia akan meminta para pelayan mengganti setiap vas dengan bunga-bunga segar, namun setelah kepergiannya bunga-bunga itu layu karena ayah Jiyeon dengan tegas menutup taman bunga itu selamanya. Ayahnya tahu bahwa jika kenangan ibunya bisa menghancurkan dirinya dan Jiyeon secara perlahan.
***
Anak lelaki itu tampak muram, bajunya yang dipenuhi oleh bekas darah yang mengering dan tangannya yang memar membuktikan betapa kerasnya kehidupan dijalanan. Pada usia 10 tahun ia sudah keluar dari panti asuhan dan memutuskan menghidupi dirinya sendiri, ia tidak suka ditempat itu karena panti asuhan itu gambaran dari kesengsaraan tiada akhir dan ia tidak ingin berakhir ditempat itu menjadi korban selanjutnya dari kekasaran pengasuh mereka yang sangat ringan tangan sehingga beberapa anak meninggal dunia namun dunia seolah menutup mata dengan ketidakadilan yang terjadi.
"Kau ingin rokok?" Pria paruh baya itu duduk disampingnya dan menawarkan sebatang rokok untuknya, ia menatap pria itu dengan pandangan ragu dan mengambil batang rokok itu dengan cepat. Pria itu terkekeh dan membantunya menyalakan rokoknya. "Berapa usiamu?" Tanya pria itu padanya, ia tidak ingin menjawab namun pria itu sudah menolongnya bebas dari sekawanan polisi yang ingin menangkapnya dan memasukannya kembali ke panti asuhan.
"15 tahun." Ucapnya dan pria itu terkekeh pelan sambil menghisap rokoknya dan menghembuskannya dengan perlahan.
"Kau keluar dari tempat itu sejak usia?" Dia bertanya
"10 tahun." Jawabnya
"Kau lebih cepat 1 tahun dibandingkan diriku dulu. Namun itu adalah keputusan yang tepat walaupun seperti yang kita lihat kau hampir seperti akan mati dengan tubuhmu yang..." Pria itu menatapnya dari atas sampai bawah seolah tidak enak hati mengatakan kata yang tepat untuk menggambarkan anak jalanan itu. Pria itu tentu saja bukan orang sembarangan dari baju yang ia gunakan dan beberapa anak buah yang sudah menunggunya dengan wajah penuh intimidasi.
"Aku tahu diriku sudah hampir mati, namun lebih baik mati dengan perjuangan dibandingkan menerima takdir kejam dan tidak melakukan apapun untuk membela diri sendiri." Ucapnya membuat pria paruh baya itu menatapnya dalam, dia tahu bahwa apa yang ia katakan itu benar.