" Aku baik-baik saja, tidak ada yang luka selain tanganku karena memukulnya sampai pingsan." Ucap Jiyeon lelah setelah diperiksa berulang kali oleh dokter yang dipanggil mendadak oleh pria yang kinia masih berdiri dihadapannya dengan wajah merah padam karena marah dan khawatir. Dia memang sempat ketakutan setengah mati setelah pria paruh baya berwajah baik itu tiba-tiba masuk dan mencoba menyakitinya, kita tidak bisa menilai seseorang begitu saja karena Jiyeon berpikir bahwa tidak ada salahnya membantu orang lain sehingga dirinya hampir dalam bahaya.Pelajaran yang selalu ia ingat namun saat terjadi didepannya, ia melakukan kesalahan lagi dan lagi. Namun, jika bukan dirinya yang berbuat baik, siapa lagi? namja paruh baya itu tampak sangat putus asa ketika Jiyeon melihatnya melalui kamera diruangannya sehingga Jiyeon pikir mungkin dia salah satu orang tua yang tersesat saat mencari anaknya.
Dia tidak berpikir bahwa pria itu mantan napi yang baru saja keluar dari penjara setelah melakukan kekerasan terhadap anak dan isterinya juga namja itu adalah pengguna narkoba. Jiyeon menyadari bahwa seorang pengguna akan mengalami perubahan perilaku dan ia tidak ingin main-main, sehingga saat namja itu berhasil merusak pintunya, Jiyeon langsung memukulnya membabi buta sambil membawa tongkat bisbol bersamanya.
Namja paruh baya itu tidak menyadari siapa yang ia hadapi saat ini, Jiyeon tidak bangga namun ia pernah hampir membunuh seseorang karena melakukan tindakan pelecehan seksual dan ia tidak akan pernah menyesal melakukan hal yang sama lagi, apalagi ini untuk melindungi dirinya sendiri dari bahaya.
"Apakah sakit jika aku gerakan seperti ini." Dokter itu tiba-tiba menarik jari kelingkingnya sampai Jiyeon hampir melompat karena serangan rasa sakit yang tiba-tiba, ia meringis dan hal itu menambahkan rona pucat diwajah namja yang ada dihadapannya.
"Apakah terjadi sesuatu padanya?"
"Sepertinya nona, kau mematahkan jarimu ketika meninju pelaku." Ucap sang dokter, Jiyeon menatap jari kelingkingnya yang memang tampaknya agak miring dan mulai membengkak, tidak lupa bekas kebiruan kecil disamping jemarinya yang lama-lama mulai tampak mengerikan.
"Patah?!"
"Aku tidak bisa memastikan seberapa besar patahannya, bagaimana jika nona berkunjung kerumah sakit dan melakukan beberapa pemeriksaan untuk menentukan perencanaan selanjutnya untuk tatalaksana-"
"Apakah tidak bisa dibiarkan saja?" Jiyeon menatap
"Tidak nona, selain akan merusak estetikanya, aku rasa jika dibiarkan akan membuatmu kesulitan juga." ucap dokter tegas membuat Jiyeon menghela napas lelah
"Belakangan ini aku sedang banyak pekerjaan dan jika aku meminta libur, mereka akan berpikir aku tidak bertanggung jawab."
"Jika kau lupa, perusahaan itu milikku. Aku akan mengurusnya, kau tinggal masuk rumah sakit hari ini dan melakukan prosedur yang diminta oleh dokter, aku tidak akan membiarkan namja itu hidup jika terjadi sesuatu pada jarimu."
"Oppa! biarkan pihak berwajib yang menanganinya." Minho berdecak dan kemudian dengan langkah kesal mengikuti sang dokter yang sejak tadi hanya diam mendengarkan pertengkaran mereka.
"Aku akan menghubungi bagian personalia dan menjelaskan kondisiku, jika memang harus aku akan mengambil cuti. Kau puas oppa?"
"Kau tidak perlu bersusah payah, aku akan menghub-"
"Tidak! jangan merusak nama baikku karena mereka akan berpikir kau memiliki hubungan denganku." Jiyeon berbalik dan kembali menghadap Minho yang kini menatap Jiyeon dengan kesal, Jiyeon tampak keras kepala dan tidak mau dibantah. Dia mirip dengan dirinya dulu tapi saat ini yeoja itu sudah dewasa dan Minho tahu bahwa itu sudah menjadi prinsip yang tidak dapat ia ganggu gugat.