Part 12

800 157 114
                                    

"Jiyeon" Jiyeon merasakan tubuhnya direngkuh dalam pelukan erat bibinya yang merupakan saudara jauh ayahnya, air matanya terus berjatuhan namun tidak ada tangisan yang keluar dari mulutnya. Dia merasakan tubuhnya gemetar hebat namun tetap saja ia menangis dalam diam walaupun sejak tadi semua orang mencoba memberikan kekuatan untuknya.

Dia masih terus mengulang waktu beberapa jam yang lalu, ia yakin melihat ayahnya masih duduk diatas meja makan dan memberikan candaan untuknya saat ia pulang setelah seharian berada di kampusnya dan toko peralatan dapur tempat ia bekerja, tidak ada sedikitpun raut kesakitan dari wajah itu dan Jiyeon melewati ayahnya begitu saja setelah mengatakan bahwa ia sangat lelah dan akan tidur untuk beberapa saat.

"Tidurlah sayang, appa akan membangunkanmu jika makan malam tiba." Tapi sampai tengah malam ayahnya tidak sama sekali membangunkan dirinya, jadi Jiyeon berjalan kearah ruang tengah dan menemukan makanan sudah tersusun rapi dimeja makan namun ia tahu makanan itu sudah tidak panas lagi dan perasaan tidak nyaman langsung menusuknya saat itu.

"Appa?" Jiyeon memanggil ayahnya dan mendengar suara air menyala dari arah dapur, memang sejak kepindahan mereka 3 tahun yang lalu mereka tidak pernah memiliki pekerja tetap karena ayahnya mengatakan ingin menghabiskan waktu yang lebih dekat dengan anaknya dengan masak bersama dan melakukan kegiatan lainnya secara mandiri. Jiyeon juga tidak menutup mata dengan bangkrutnya perusahaan ayahnya, sisa uang yang dimiliki ayahnya disimpan untuk membiayai pendidikan Jiyeon yang bisa dikatakan tidak murah untuk keadaan ekonomi mereka sekarang.

Jiyeon juga sudah mulai bekerja sejak 2 tahun yang lalu mencoba membantu keuangan ayahnya dan walaupun awalnya ayahnya menolak, ia akhirnya hanya bisa pasrah karena Jiyeon memang keras kepala. Awalnya ia memiliki masa yang sulit untuk beradaptasi dengan dunia kerja yang sebelumnya tidak pernah ia sentuh sama sekali dan karena Jiyeon memiliki sedikit pengetahuan tentang memasak serta sedikit bakat untuk membuat dessert yang dikatakan 'cukup enak' oleh atasannya, jadilah dirinya diterima bekerja sebagai salah satu bawahan chef di toko dessert yang cukup terkenal di Paris.

"Appa?" Jiyeon melihat ayahnya duduk membelakanginya didapur dengan posisi yang aneh, Jiyeon memegang dadanya seolah menyadari sesuatu yang begitu menyakitinya. Dia berusaha sekuat mungkin untuk menolak semua pikiran buruknya namun saat ia bergerak untuk melihat wajah ayahnya, ia tahu bahwa sejak detik itu ia sudah ditinggalkan sendirian di dunia yang kejam ini.

"Aku mencintaimu, appa." Bisiknya dan menutup mata ayahnya perlahan, sambil berusaha menarik napas dalam ia meluruskan tubuh ayahnya dan menatap wajah pucat itu dalam waktu yang lama. Tubuhnya terasa dingin karena jauh didalam dirinya, ia seperti ditusuk oleh ribuan pedang.

"Oh appa, aku sangat mencintaimu. Terimakasih atas segalanya appa" Jiyeon memeluk tubuh tidak bernyawa itu dengan erat dan ia mulai menangis, menangis paling memilukan yang pernah ia lakukan setelah ditinggalkan begitu saja oleh kakanya Choi Minho yang sampai saat ini sudah putus komunikasi dengan mereka.

Jiyeon melepaskan pelukannya setelah cukup lama memberikan pelukan perpisahan untuk ayahnya dan kemudian meraih ponselnya, ia menghubungi panggilan darurat dan mengatakan bahwa pada saat itu ayahnya sudah meninggal dunia, tidak butuh waktu lama untuk petugas medis dan polisi datang ke Apartement mereka.

Dia pikir tidak akan sesakit ini, ia tahu suatu saat nanti semua akan kembali ke penciptanya. Tapi ia tidak akan pernah menyangka bahwa perpisahan akan kematian begitu mengerikan karena mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Perlahan namun pasti tangannya mulai mengambil abu ayahnya didalam guci dan mulai melepaskannya ke lautan lepas, setiap abu yang berterbangan dilepaskannya dengan kata perpisahan yang menggambarkan betapa ia mencintai pria paruh baya itu disepanjang usianya.

Moral Of The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang