PROLOG

6.7K 649 293
                                    

Apa yang akan kamu lakukan jika hidupmu dikekang selama puluhan tahun oleh orangtuamu sendiri?

Kayaknya, aku terlalu buru-buru deh bikin kalian mikir. Datang-datang kok langsung ngasih pertanyaan aja.

Baiklah. Dari pada kalian bete, mending prolog dulu nih dari aku, sang penulis METAFORGAYA .....

Hai guys, apa kabar? Masih inget aku? Pasti enggak ya? Udah lama banget soalnya aku nggak nyapa kalian. Mungkin kalian juga lupa pernah follow aku.

Tapi nggak apa-apa. Kali ini, aku mau datang seolah-olah orang baru. Ya, aku akan kembali menuliskan kisah dalam bentuk cerita yang aku tulis sepenuh hati. Demi terciptanya cerita yang bisa kalian suka.

Di METAFORGAYA, kamu akan ketemu sama Meta Cantaka, seorang influencer di Instagram yang kabur dari Garut ke Bandung demi menemukan dirinya yang telah lama hilang. Ya, dia merasa begitu. Dia ingin hidup sendiri tanpa bayang-bayang Bapaknya sendiri.

Sementara di Bandung, Meta bertemu dengan Gaya Andara. Si cowok tengil nan ganteng, tukang gombal, sekaligus punya sisi kelam. Di balik pesonanya sebagai vocalis salah satu band, dia memiliki banyak rahasia yang justru akan membuat hubungannya dengan Meta bisa saja memburuk.

Meta ditemani Gaya selama di Bandung. Tetapi selama itu pula, ada berbagai petualangan yang mereka alami, yang membuat mereka menyadari banyak hal. Termasuk tentang takdir yang nggak bisa ditebak.

Gimana-gimana? Udah ada sedikit gambaran nggak? Semoga ada ya. Nah di cerita ini juga, kalian akan disuguhi drama-drama keluarga, romance, juga sentuhan komedi ala Gaya. Semoga kalian terhibur.

Tanpa lama-lama, mending kalian langsung saja deh baca prolog di bawah.

****

PROLOG

"Meta ada, Om?"

Suara itu terdengar pelan dari lantai bawah. Dia adalah cowok kesekian yang datang ke rumah. Dan aku nggak yakin kalau Bapak bakal menyambutnya dengan normal.

"Bawa seblak?" tanya Bapak.

Aku yang berada di balik pintu kamar menggelosorkan badan.

Kenapa sih, Bapak selalu punya ide buat ngerjain cowok yang naksir sama anaknya? Cimol, Tahu Sumedang, Cireng, Tahu Gejrot, Burayot, Opak, Rengginang, terus sekarang Seblak? Haduh, Bapak memang doyan makan!

"Eng-enggak, Om. Tapi ....."

Aku mendengar jika suara Praha mulai tidak stabil. Apa dia baik-baik saja? Apa lututnya nggak gemetar di hadapan Bapak? Semoga enggak. Soalnya beberapa cowok ada yang pulang dalam keadaan tertekan. Bahkan beberapa memilih mundur buat deketin aku.

"Saya bawa dulu kalau gitu, Om," lanjut Praha. "Saya beli di depan."

"Oke. Saya tunggu ya," jawab Bapak dengan suara menyebalkan.

Jika harus mendapatkan penghargaan, mungkin Bapak akan menjadi Bapak paling over protektif sekompleks Sukahaji atau bahkan se-Indonesia. Lebih dari sepuluh cowok yang datang ke rumah menyatakan 'nyerah' berhadapan dengan Bapak.

Permintaaan Bapak memang sederhana, tapi setelah si cowok sampai kembali ke rumah dan membawa makanan yang diminta, di sanalah semuanya dimulai. Dengan telaten, Bapak pasti akan menanyakan bahan-bahan yang terkandung dalam makanan yang dibawakan. Nggak ketinggalan, sejarah, keuntungan, juga kekurangan dari masakan itu pasti ikut menjadi soal teka-teki. Aku jadi heran. Sebenarnya, Bapak sedang milihin cowok buat jadi pacar anaknya atau mau nyeleksi cowok buat jadi tukang dagang di sekolah tempatnya ngajar?

Sebelum semuanya terlambat, aku harus turun ke ruang depan. Nggak bisa dibiarin! Harusnya Praha jadi cowok terakhir yang Bapak isengin. Lagian, aku suka sama Praha. Dia baik, soleh, bahasa Sunda-nya juga bagus. Seperti permintaan Bapak. Setiap orang yang deket sama aku harus jago bahasa Sunda. Katanya, Bapak suka sama laki-laki yang masih memakai bahasa daerahnya.

"Pak!"

Bapak yang sedang melihat ke arah jendela luar, yang sepertinya sedang menunggu Praha kembali, menengok ke belakang.

Terlihatlah wajah datar tanpa senyum. Kacamata dengan frame lama berbentuk kotak dan berwarna hitam nggak pernah lepas dari wajahnya.

"Ada apa, Geulis?" tanyanya.

"Please, Pak!" Aku menggeleng. "Jangan kerjain Praha. Udah cukup."

"Siapa yang ngerjain?" Bapak melangkah ke arahku. "Bapak harus tes laki-laki itu! Kalau lolos, dia boleh ngajak kamu jalan malam ini."

"Pak, gebetan Meta itu bukan calon murid-murid Bapak. Jadi Meta mohon, lepasin Praha!"

"Lepasin?" Bapak menggeleng. "Memangnya Bapak bakal gigit?"

"Gigit sih enggak! Tapi sikap Bapak ini yang bikin cowok kabur, Pak. Meta itu udah 23 tahun. Apa Bapak tega kalau Meta nggak ngerasain pacaran di umur segini?"

"Dengarkan Bapak!" Bapak menatap tajam. "Kalau beneran cowok itu sayang sama kamu, mereka-mereka itu tidak akan nyerah begitu saja. Buktinya? Baru sekali ketemu Bapak saja sudah mundur."

"Tapi, Pak ...."

"Stttt!" Bapak mengangkat jari telunjuk. "Mending kamu ke kamar lagi. Calon pacarmu itu sebentar lagi datang. Berdoa saja supaya dia lolos mengerjakan ujian dari Bapak!"

Tanpa menjawab, aku balik kanan. Tentu saja aku pergi dengan langkah yang dientak. Lama-lama, bosan juga hidup seperti ini. Keputusan yang harusnya aku ambil malah jadi keputusan Bapak. Dan itu menyebalkan!

Apalagi yang harus aku lakukan?

Selama hidup, hampir seluruh keputusan selalu Bapak yang nentuin. Warna pakaian, jenis makanan, jurusan kuliah, bahkan hal remeh seperti jepitan saja selalu komentar. Aku seperti nggak punya kehidupan!

Apa aku pergi saja dari rumah? Ini adalah ide yang sering muncul di kepalaku sejak setahun lalu. Lagi pula, kuliahku sudah selesai. Aku juga punya penghasilan sendiri. Jadi sekarang, giliran aku yang harus beri Bapak pelajaran.

Ya, sepertinya itu akan menjadi hal tergila yang pernah kulakukan selama hidup satu rumah bersama Bapak Parmadi, guru bahasa Sunda di SMA Cenderawasih. Guru paling killer untuk murid-muridnya sekaligus .... anaknya sendiri.

***

Gimana perasaanmu setelah membaca prolog? Kasih komentar dong kesan pertamamu bertemu Meta dan Bapaknya. Vote juga ya, sebagai bentuk dukungan kalian terhadap cerita ini. See you di next part :)

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang