Part ini bakal sedih banget 😭
***
ORANG TUA.
HAMBAR
Suara nyaring dari bawang yang termakan minyak panas memenuhi dapur. Tentu, di depan wajan yang mengepul, ada seorang lelaki yang tengah membolak-balikkan spatula, sedang memastikan jika potongan bawang merah dan putih itu sudah matang dan siap ditumpahi nasi.
Sesaat setelah itu, lelaki tadi memasukkan nasi dari piring ke dalam wajan. Dia cekatan melakukan semua gerakkan. Terlihat professional. Padahal, dia hanya lelaki tua yang sampai saat ini sedang kesepian. Ini percobaan masak kesekian kali setelah sekian lama menarik diri dari dapur.
"Sayang kalau nasi itu basi!" Begitu katanya sebelum bersinggungan dengan dapur.
Setelah telepon terakhir dari Meta, hidup Madi kian hambar. Setiap pagi, dia tidak lagi bersemangat membuat suatu hidangan. Dia memilih untuk mandi, memakai pakaian kerja, lantas pergi ke sekolah. Sisanya, dia memilih makan di kantin sekolah, dengan hanya berbekal lontong dan gorengan. Tentu, kualitas makanan yang masuk semakin menurun ketimbang hari-hari biasanya. Apalagi, gunjingan mulai terdengar.
"Kalau terjadi sama anak saya, sudah saya kasih pelajaran, Pak!" tegas salah satu rekan guru, seorang perempuan berkacamata yang umurnya tak jauh dari Madi. "Anak muda zaman sekarang memang begitu. Ngahanakeun! Dia tidak tahu bagaimana susahnya orang tua berjuang demi mereka."
Mendapati ucapan itu, Madi hanya tersenyum. Entah kenapa obrolan yang awalnya berurusan dengan kegiatan kelas, pada saat itu malah beralih kepada Meta. Mengobrolkan masalah keluarga membuat Madi tidak nyaman. Apalagi, obrolan itu dipertegas dengan kata-kata 'pelajaran'. Seolah-olah, Madi adalah lelaki gagal yang tidak bisa mendidik anak perempuannya.
"Terus sekarang kumaha Pak Madi?" tanya rekan seprofesinya lagi. "Sudah ditindaklanjuti?"
Madi menggeleng. "Saya belum tahu posisinya di mana. Lagi pula, sepertinya saya memang harus memberikan dia ruang."
"Ulah kitu atuh!" ucapannya semakin berapi-api. "Seharusnya Bapak bertindak lebih tegas. Dia itu anak perempuan, Pak. Kalau Bapak tidak tahu lokasinya, Bapak bisa menghubungi polisi. Biasanya polisi bisa melacak nomor ponsel. Ada alatnya gitu. Bener teu Bapak-Bapak, Ibu-Ibu?"
Beberapa guru yang memang mendengar obrolan itu, mengangguk setuju.
Menghubungi polisi sudah pernah terpikirkan sebelumnya. Sering sekali Madi berniat melangkahkan kaki ke kantor polisi terdekat. Namun, semua itu urung. Madi merasa jika Meta bukan orang hilang. Meta pergi karena kemauan sendiri. Entah, Madi merasa jika menghubungi polisi bukan hal tepat. Apalagi dengan diam-diam melacak nomor ponsel Meta. Meta akan semakin keras menolak pulang.
"Nanti saya akan coba lakukan hal terbaik," ucap Madi pada akhirnya.
"Eh, Pak, satu lagi, anak perawan kalau dilepas bisa-bisa ...."
"Saya permisi!" ucapan itu dipotong dengan tegas. "Saya harus ngajar."
Beberapa guru mengangguk, sementara ucapan salah satu guru itu terhenti begitu saja. Madi sadar, kepergian anaknya menjadi trending topik belakangan. Apalagi, beberapa guru kenal Meta. Menyebalkannya, mereka menjadikan masalah hidup Madi seolah tontonan yang boleh kapan saja dikomentari. Semakin ocehan itu dibiarkan, Madi merasa semakin gagal.
Lamunan Madi yang terbang jauh kepada kejadian di sekolah terhenti saat hidungnya berhasil mencium aroma nasi goreng. Perpaduan bawang, sosis, penyedap rasa ayam, serta telur yang sudah bercampur dengan nasi membuatnya kembali fokus ke masa kini. Dia memindahkan nasi ke atas piring, lantas menghiasnya dengan seladah dan beberapa potongan bonteng. Nasi goreng itu mirip sekali dengan nasi goreng yang sering dijual di luaran sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORGAYA (Segera Terbit)
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan kening. Gimana mungkin ada cowok berkeliaran di kos-kosan khusus perempuan? Aku yang kabur ke Bandu...