BAGIAN 1

3.4K 467 197
                                    

META.

KEPUTUSAN

"Jadi, sayangi dirimu! Kalau bukan kamu, siapa lagi? Nggak akan ada ...."

"Meta!"

Ketika sedang berbicara dengan raut bahagia di depan kamera, aku memejamkan mata, lantas menengok ke arah pintu kamar yang sudah terbuka lebar. "Kenapa sih, Pak? Kenapa selalu ganggu?"

Bapak terlihat tidak peduli dengan protesanku. Dia yang sudah rapi mengenakan batik berwarna biru dengan motif bunga-bunga, serta celana bahan kebanggaannya, masuk begitu saja.

"Kemarin, Bapak lihat videomu di Instagram," ucapnya tanpa ekspresi.

"Terus Bapak mau apa?" Aku mematikan kamera dan ring lighting di depanku, lantas memilih menghadap Bapak. "Mau komentar kalau videonya terlalu banyak filter? Mau bilang kalau rambutku acak-acakkan? Atau mau bilang kalau toon dari videonya nggak cocok sama instagramku?"

"Bukan. Bukan itu semua."

"Terus?" Aku menghela napas jengkel.

"Di video terakhir yang kamu unggah, bajumu terlalu tipis. Baju dalamnya juga kelihatan dari luar."

Aku yang sedang mengusap dahi mendadak diam. Sekarang, Bapak berubah jadi seorang fashion guru yang sering aku lihat di acara-acara pencarian bakat.

Aku memilih mengambil ponsel di atas meja, lantas membuka video terakhir. Aku mengamati lamat-lamat video itu. Kamu tahu? Menurutku, kaos putih yang kupakai masih wajar. Tidak ada hal-hal yang aneh. Apa mata Bapak mulai rabun?

"Jangan main-main, Pak!" tegasku. "Bajuku nggak ketipisan."

"Bagian lengannya juga pendek. Bapak harap, besok kamu pakai baju yang berlengan panjang."

Tanpa beban, tanpa menanggapi ucapan anaknya soal pakaian yang tidak tipis, pembicaraan bapak berbelok ke permasaalahan 'lengan pakaian'.

"Jelas?" Bapak angkat bicara saat aku membisu.

"Belum jelas!" Aku akhirnya berdiri, menghadap Bapak dengan tingkat kejengkelan yang membuncah.

"Bagian mana yang belum jelas?" Bapak mengangkat sedikit dagu. Seperti biasa, dia berusaha mengintimidasi anak perawan satu-satunya ini. "Apa bahasa Bapak kurang sederhana untuk ukuran anak lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia?"

"Bukan! Meta cuma mau berpendapat," sanggahku. "Aku tahu, kemungkinan besar, Bapak nggak akan pernah dengar omongan 'sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia' sepertiku. Lagian, aku masih tetap seperti anak kecil kan di mata Bapak? Tapi ya, aku akan tetap menyampaikan pendapatku ini ....."

"...."

"Soal baju, mohon maaf, Pak. Meta nggak bisa turutin. Meta itu belajar banyak dari buku-buku yang meta baca. Bapak itu terlalu takut kan kalau anaknya dikomentari sama orang lain? Bapak takut kan kalau teman-teman Bapak di sekolah ngasih kritik sama Bapak?"

Kulihat, Bapak membeku, tetapi aku tetap melanjutkan ucapan.

"Hidup itu bukan selalu tentang orang lain. Kita nggak bisa nyenengin mereka setiap saat. Kita nggak bisa ngikutin standar orang terus-terusan."

"Bapak nggak setuju sama kamu!" Bapak angkat bicara lagi. "Yang namanya standar, itu sudah disesuaikan dengan norma yang berlaku, Meta. Kalau Bapak memberikan masukan dan kritik, tandanya itu untuk kebaikkan kamu!"

"Bukan hanya saran dan kritik yang bapak kasih ke Meta, tapi juga paksaan! Bapak lupa masukin 'paksaan' dalam ucapan Bapak tadi!"

Wajah datar Bapak memerah. Aku tahu, Bapak tersinggung. Mana mungkin seorang guru yang di sekolah selalu jadi panutan, kini malah dilawan habis sama anaknya?

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang