BAGIAN 45

1K 104 29
                                    

Ini PART terakhir. Huhu. Sedih. Tapi kisah ini memang harus beres. Aku nggak mau manjang-manjangin cerita. Jangan lupa VOTE dan KOMEN yaaa guys. Selamat membaca :)

***

GAYA.

TETAP SAHABAT

Jika pada hari-hari terakhir gedung studio itu terasa kelam, maka saat saya datang, saya merasakan kehangatan yang kembali muncul. Gedung itu seolah menyapa dan bilang: masuk! Tempat lu emang di sini! Meskipun studio itu bukan studo pribadi, tapi dari awal Riung Mungpulung Band berdiri, bangunan itu sudah seperti saksi bagaimana kami berproses. Saat ini, saya menginjakkan kembali kaki di tempat ini. Dengan sedikit perasaan was-was.

Langkah saya sedikit terseret. Agak berat harus menemui teman-teman yang mungkin sudah sangat kecewa. Tapi, saya harus tetap masuk ke ruangan tempat kami latihan kan? Kalau enggak, bisa saja Riung Mungpulung akan benar-benar bubar.

Tidak seperti biasanya, saya memilih mengetuk pintu ruangan studio. Saya seperti akan masuk ke ruangan asing. Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka. Terpampang wajah Pandu dengan pelototan khasnya.

"Du, saya ....."

"Gaya!" Pandu memeluk saya erat sambil menarik badan saya ke dalam studio.

Saat di dalam. Abar dan Wastra ikut memeluk. Sampai-sampai saya sesak.

"Sorry ya, Gay. Urang udah semena-mena. Sumpah, Riung Mungpulung Band nggak ada apa-apanya tanpa maneh." Wastra berbicara sambil bergetar.

"Beberapa minggu ini, kita cuman ngelamun. Kita nggak pernah latihan lagi. Ke sini cuman nunggu, siapa tahu kamu dateng. Eh, doa kita-kita dikabul. Sekarang kamu balik."

"Maafin saya ya." Saya buka suara setelah pelukkan itu lepas. "Saya jahat sama kalian. Saya jahat sama band kita. Saya ...."

"Kita yang jahat!" Abar menggeleng. "Kita harusnya tahu posisimu."

"Gimana interview-nya, lancar?" tanya Pandu.

"Lancar ....." Saya tersenyum simpul.

Terdapat wajah penuh senyum, tetapi saya tahu kalau di dalam hati mereka ada kekecewaan.

"Lancar ditolak!"

Ucapan itu ditanggapi riuh yang besar. Abar bahkan pargoy seperti orang kesurupan.

"Tapi saya mau ngelamar di tempat lain lagi." Saya menyambung dengan tatapan tajam.

"Yah, yah ...." Gerakkan Abar terhenti. "Tapi nggak apa-apa sih, Gay. Kami udah pasrah. Setelah kamu nggak ada, kayaknya band ini mending dibubarin aja."

"Jangan dibubarin, Bar. Mending ..."

"Enggak." Wastra menyambung. "Bukan salah kamu. Nggak ada yang nyalahin kamu. Intinya, kita bubar baik-baik. Bukan kayak kemaren. Marah-marahan. Kabur-kaburan. Kita benar-benar nggak mau kalau hubungan kita nggak baik."

"Dengerin saya bicara sampai beres deh." Saya menghela napas. "Saya memang berencana untuk ngelamar di tempat lain, tapi Mama saya terlanjur ngangkat saya jadi CEO of Kosan Ibu Dama. Jadi ya, saya tetap di Bandung. Dan kita nggak bakal bubar."

Ada hening saat penjelasan itu terlontar. Mereka saling tatap. Tanpa diduga, mereka bertiga lari ke hadapan saya, kemudian mengangkat badan saya ke atas. Saya seperti akan di lempar ke sungai karena diayun-ayun ke kanan dan ke kiri.

"Hidup Gaya!"

"Hidup Riung Mungpulung Band!"

"Pokokna jadi bikin single. Fiks ini mah!" Abar berbicara paling keras.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang