BAGIAN 17

511 128 28
                                    

Yeah, akhirnya aku bisa update lagi nih. Jangan lupa ramaikan ya guys. Selamat membaca. 

META.

DILEMA

Aku memindahkan memory card kamera ke laptop. Ya, aku sudah membuat beberapa video sebelum Sandrina ke sini. Maka sekarang, aku tinggal mengeditnya. Ya kali aku kerja terus. Bukannya Sandrina ke sini supaya bisa jalan bareng aku?

Ubah filter, jernihkan suara keseluruhan, cut and cut untuk bagian yang nggak penting, pilih transisi, dan done! Dalam beberapa saat, video satu menitku selesai diedit. Tinggal render, save, dan yes, upload. As simple as that. Jika sudah mengerjakan itu semua, hidupku tenang, mirip seperti saat melihat bintang di langit yang bertebaran.

"Huah!" Suara Sandrina menggema. "Pagi juga akhirnya," lanjutnya sambil menyingkap selimut. "Sengaja aku tidur lagi setelah salat subuh. Biar cepat."

"Apa bedanya dengan melek sampai matahari muncul begini? Kalau bangun dari tadi, kamu bisa bantuin aku masak."

"Masak?" Sandrina meloncat ke hadapanku. Dia mengusap dahi. "Kamu nggak lagi sakit kan? Setahuku, kamu itu paling ogah buat masak. Bukannya Bapakmu yang selalu masak?"

"Ngeremehin!" Aku mencebik. "Kamu tahu kan Bapak gimana? Dia itu super duper perfeksionis! Soal masakkan pun bahkan nggak percaya sama aku. Di rumah, aku nggak bisa berkreasi. Sementara di sini, aku bisa belajar dikit-dikit. Meskipun masakanku masih yang sederhana gitu. Kangkung, bayam, telor dadar, yah, yang bisa dimasak sekali kedip deh."

"Berarti sekarang sudah masak?" tanya Sandrina lagi.

Aku nyengir. "Belum sih. Rencananya kan mau masak setelah ngedit. Eh, kebablasan. Ini malah udah jam delapan."

"Dih." Sandrina memonyongkan bibir. "Ya sudah, aku mandi dulu ya. Kan sekarang mau jalan sama Pandu."

Ucapan itu membuat bibirku yang masih tersenyum lebar mendadak mengerut. "Lah, aku ngedit dari tadi demi kamu. Supaya kita bisa jalan berdua. Kok malah sama cowok sih?"

Sandrina terkekeh. "Nggak apa-apa, kan kamu ada Praha."

Aku melotot. Berusaha mencari jawaban dari hal yang nggak aku ketahui selama bersama Sandrina. Kapan coba Praha bilang mau jalan sama aku?

"Sorry, Met, aku belum bilang soal ini," ucap Sandrina. "Semalam aku chat-an sama Praha. Dia ngajakin kamu buat jalan lewat aku. Ya, aku iyain aja. Aku pura-pura sudah mendapatkan persetujuanmu."

Ucapan itu bagaikan bom atom bagiku. "Kamu dengan lancang menyetujui sesuatu tanpa bilang ke aku?"

"Kan kamu sudah tidur. Jadi ...."

Aku berdiri, lantas bolak-balik di depan kamar.

"Kamu nggak seneng?" Sandrina ikut berdiri. "Aku kira kamu bakal girang. Seharusnya ini jadi kesempatan buat PDKT-an sama dia. Kalian kan sempat terpisah dalam beberapa waktu."

Ucapan itu membuatku diam sejenak. Ini aneh. Seharusnya aku setuju dengan hal-hal yang dikatakan sandrina. Tapi .... ah, susah dijelaskan.

"Lagian, kamu belum ngasih nomor HP ke Praha. Jadi, wajar dia chat lewat aku. Dan sebagai teman yang baik, aku mempermudah jalanmu." Mimik wajah Sandrina begitu percaya diri. Dia seperti pahlawan yang telah melawan penjajah. "Aku yakin. Hari ini akan jadi hari membahagiakan untukmu." Sandrina tertawa dengan senyum menggoda. "Ya udah, aku mandi dulu."

"Oke deh kalau gitu," ucapku lagi. "Sambil nunggu kamu mandi, aku masak di dapur."

Sandrina mengacungkan jempol.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang