BAGIAN 38

375 78 11
                                    

Yeah, update lagi niiih guys. Jangan lupa VOTE dan KOMEN ya. Selamat membaca :)

***

META.

LELAH

Jika bisa dibilang, aku seperti orang yang kehabisan obat. Gelisah, lemas, nggak bergairah, semua bercampur aduk. Kegiatan di Jakarta semakin dekat, tetapi semangatku semakin memudar. Beberapa emosi yang selama ini kuanggap sebagai angin lalu seolah menumpuk di dalam hati.

Ternyata, menjadi seseorang yang mahir menyampaikan sudut pandang tentang hal-hal menarik untuk pertumbuhan diri nggak semudah menerapkannya.

"Jangan berekspektasi kepada orang lain! Berekskpektasi justru bisa menenggelamkanmu ke dalam ilusi."

Itu salah satu ucapan yang pernah aku share melalui video. Saat ini, aku justru sedang melanggarnya. Aku berkepsketasi kepada Gaya. Kupikir, dia akan menjadi orang yang selalu menemaniku dalam keadaan apa pun. Namun, ternyata dia pergi. Dan kepergiannya justru membuat aku semakin keras mencari.

Salah kamu juga, Meta. Mungkin dia pergi karena nggak kunjung dapat kepastian. Kamu hidup di antara dua cowok!

Aku menghela napas. Apa memang begitu?

Bodoh! Aku mengira kalau diriku tegas. Tapi soal masalah ini, aku memang nggak mahir sama sekali. Aku masih memikirkan berbagai bayangan masa lalu tentang Praha. Aku terbutakan ilusi-ilusi yang dibangun sejak dulu bahwa Praha akan menjadi sosok terbaik untukku. Aku nggak pernah melihat ke dalam diriku sendiri bahwa selama ini aku lebih nyaman dengan Gaya. Setiap bersama Gaya, aku merasa jadi diri sendiri.

Lamunanku terhenti saat telepon berbunyi. Pelan, aku menarik ponsel yang ada di pinggir meja, tepat di sisi ranjang. Kulihat, itu Praha. Aku menghela napas panjang sebelum benar-benar mengangkatnya. "Kenapa, Pra?" tanyaku.

"Kamu sakit?" Praha balik bertanya.

"Kok tanya begitu?"

"Suaramu aneh. Kayak nggak ada tenaga."

Aku menggigit bibir. "Ya, agak nggak enak badan."

"Perlu ke dokter?" tanyanya. "Bentar lagi aku pulang kerja. Aku langsung ke apartemen ya."

"Berlebihan." Aku terkekeh. "Cuman nggak enak badan doang. Barusan udah minum obat sih. Jadi aman."

"Beneran?" Terdengar nada ragu. "Aku nggak bisa lho kalau ngebiarin kamu sakit."

"Suer. Aku nggak apa-apa." Ucapku pelan. "Oh iya Pra, kebetulan kamu nelepon. Aku mau ngomong sesuatu."

"Ngomong apa? Kok kayak serius banget?"

Aku terdiam sejenak. Bayangan tentang impianku bisa bersama cowok ganteng semasa di kampus kembali hadir. Saat-saat dia menyatakan perasaan dua bulan lalu, kemudian datang ke Bapak meskipun ditolak, mengapung lagi di sela-sela pikiran.

Kamu yakin, Met?

Lidahku kelu. Beberapa kali aku menggigit bibir. "Ini soal kita."

Terdengar kekehan pelan. "Kita kenapa? Kamu mau ngasih kabar gembira?"

"Soal perasaanku ke kamu," jawabku pelan. "Tapi aku mohon, jangan potong pembicaraanku."

Tawa Praha lagi-lagi menggema. Entahlah. Apakah ekspektasinya besar kepadaku? Maaf Pra, mungkin aku akan membuat ekspektasimu itu jatuh. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Setelah cukup lama melakukan pendekatan. Aku makin kenal diriku. Aku makin tahu sosok yang kubutuhkan dan kuinginkan.

"Dulu, aku memang suka banget sama kamu. Bahkan aku senang kamu datang ke Bapak." Aku menghela napas pelan. "Tapi, Pra. Banyak banget yang berubah akhir-akhir ini. Sampai aku sadar kalau sebenarnya, perasaanku juga berubah."

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang