Update nih. Jangan lupa ramaikan ya guys ....
***
ORANGTUA.
KEBANGGAAN
Madi yang sedang terbaring membuka mata sesaat setelah mendengar suara yang dia kenal di televisi. Suara itu tidak akan pernah dia lupakan sepanjang hidup. Bukankah sejak bayi suara itu selalu memenuhi telinganya?
"Itu tayangan ulangnya, Om," ucap Praha yang duduk di sofa ruangan itu tanpa ditanyai.
Madi tidak menagnggapi ucapan itu. Dia terpaku kepada wajah ayu seorang Meta. Tutur bahasanya diperhatikan sedemikian rupa. Saat mendapati jawaban-jawaban bijak dari mulut Meta, Madi sadar bahwa anaknya memang sudah dewasa. Dia bukan anak kecil lagi seperti yang ada di bayangan Madi.
"Pasti Om rindu sama Meta ya?" Praha mendekat, sekarang duduk di sisi Madi. Mereka menonton bareng-bareng acara itu. "Maaf ya, Om. Praha belum bisa bawa Meta. Praha ...."
"Saya kenal Meta. Dia memang keras kepala. Bukan salah kamu."
Praha mengangguk-angguk. Dia seperti ingin menyampaikan hal lain, tetapi urung. Dia memilih melihat kembali ke acara televisi, yang pada saat itu pun, ada dirinya di acara itu.
"Saya tidak menyangka kalau Meta bisa berjalan sampai sejauh ini meskipun tanpa saya. Saya selalu yakin jika dia tidak bisa apa-apa tanpa pengawasan dari saya. Tapi nyatanya? Saya salah besar."
Praha mengulas senyum.
"Praha ...."
"Iya, Om?" Badan Praha menegak.
"Terima kasih ya sudah berusaha mengawasi Meta untuk Om." Madi tersenyum lebar. "Kelak kalau kalian jadi bersama-sama, Om minta supaya kamu bisa jaga Meta."
"Pasti, Om. Praha akan lakuin apa pun untuk Meta."
"Terima kasih ...." Madi mengusap lengan Praha.
Madi kembali mengamati Meta yang disoroti kamera. Tidak henti-hentinya dia berdecak kagum. Sampai kemudian, ada satu pertanyaan yang membuat Madi terdiam cukup lama.
"Siapa motivasi Mbak Meta sehingga bisa berjalan sejauh ini?"
Di layar televisi, Meta terdiam sejenak. Sampai kemudian, dia angkat suara. "Jika ditanya motivasi terbesar, tentu saja diri sendiri. Aku selalu bertekad untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Tapi di balik motivasi kuat itu, ada Bapak juga di belakangnya. Dari kecil, dia yang memfasilitasi saya supaya bisa sampai seperti sekarang."
"Waw. Tepuk tangan." Sahir terlihat kagum. "Ngomong-ngomong, apakah Bapakmu sekarang ada di sini?"
Pertanyaan itu membuat Meta terlihat gugup. Raut wajahnya merah pasi, kentara sekali jika pertanyaan itu tidak membuatnya nyaman. Namun, Meta akhirnya berbicara. "Bapak sedang sakit, jadi nggak bisa ikut ke sini. Tapi aku yakin, Bapak pasti sedang nonton di sana."
"Ada yang ingin disampaikan buat Bapak?" tanya Rarina.
"Apa pun keadaannya, aku sayang Bapak." Ucapan itu disampaikan dengan sedikit getaran. Retakkan mirip kaca di mata Meta turut menghiasi layar televisi.
Mata Madi basah mendengar ucapan Meta. Pada malam puncak pembukaan acara itu, Madi tidak menonton acara itu sama sekali. Sebaliknya, dia justru sedang berjuang keras untuk bisa melewati masa kritisnya. Penyakit jantung itu seperti meringkusnya dalam ruangan sempit. Saat ini, saat keadaannya sudah cukup pulih, Madi menyadari banyak hal. Salah satunya tentang kebangaan yang harus dia akui.
Kegiatan menonton televisi terhenti saat ada ketukkan di pintu ruang rawat inap itu. Madi memicingkan mata ke arah sumber suara. Sampai kemudian, dia mendapati sosok yang selalu dia tunggu-tunggu. Sosok itu berdiri dengan kepala menunduk. Kehadirannya membuat Madi bersorak di dalam hati. Tentu, kebahagiaan itu tidak tampil di permukaan. Saat mata Madi dan anak semata wayangnya bertemu, wajah tegas Madi kembali muncul. Tak ketinggalan, tatapan tajamnya mirip sekali seperti pedang yang akan segera menyayat lawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORGAYA (Segera Terbit)
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan kening. Gimana mungkin ada cowok berkeliaran di kos-kosan khusus perempuan? Aku yang kabur ke Bandu...