META.
KEPASTIAN
Makan di tempat mewah yang disesaki pasangan-pasangan elit di daerah Dago menjadi salah satu kegiatan rutinku setiap Sabtu malam. Tentu saja bersama Praha. Benar kata Gaya. Aku sudah seperti di-charter untuk selalu bersama cowok itu setiap weekend. Mau gimana lagi. Bukankah ini yang selama ini kumau? Dulu, Praha harus dites dulu saat ingin mengajakku main. Sekarang, kami bahkan bisa jalan sepuasnya tanpa pengawasan.
"Udah nelepon Bapak?" tanya Praha.
Aku yang sedang memotong stek, mengangkat dagu. "Belum."
"Kenapa?"
"Belum mau aja. Ribet," tukasku jujur.
Gestur Praha terlihat nggak nyaman. Dia menarik kemeja yang melapisi kaus putih dengan gerakkan pelan. "Mau sampai kapan, Met?"
Aku angkat bahu.
Obrolan kami terasa hambar. Aku memilih melanjutkan makan steak setelah Praha diam. Oh, selama jalan beberapa minggu ini, sepertinya memang Praha yang selalu memancing obrolan. Aku lebih banyak diam, mendengar, dan menanggapi.
"Kerjaan lancar?" tanya Praha.
"Lancar."
"Kalau nanti nikah, mau lanjut kerja kayak gitu?"
Pertanyaan itu membuat potongan steak yang sudah menancap di garpu, mengambang di dekat mulut. Aku yang akan melahapnya mendadak diam. "Kerja kayak gitu?"
Alisnya terangkat.
"Nggak cuman 'kayak gitu' Pra. Aku bisa hidup sampai sekarang dari kerjaan itu. Bahkan, aku bisa membayar beberapa pengeluaran di rumah juga gara-gara itu."
"Sorry." Praha meneguk air. "Ya, apa pun itu, apakah kamu akan tetap jadi influencer setelah menikah?"
"Kamu sendiri maunya gimana?" Aku menatapnya balik.
"Dari dulu, aku nggak suka kamu jadi pusat perhatian." Dia berucap hati-hati. "Setelah kita nikah, aku ingin kamu berhenti dari kerjaan. Biar aku yang kerja. Kamu tinggal menungguku di rumah, jadi istri yang baik."
Penjelasan itu membuatku agak sedikit beku. Tanpa mengetahui aku maunya apa, Praha langsung tegas menyatakan keinginannya.
Aku jadi ibu rumah tangga? Nggak masalah. Namun entah kenapa, perkataan Praha serasa ganjil di telingaku. Ganjil di telinga perempuan yang selalu mengutarakan pentingnya kebebasan. Mode nggak mau diatur-atur muncul di otakku.
Kamu pernah dengar jika seseorang yang melakukan sesuatu secara sukarela bisa lebih bahagia? Mungkin, aku akan jadi perempuan seperti itu setelah menikah kelak. Aku menyadari tugas dan kewajiban sebagai seorang istri pada saatnya. Namun jika diawal aku sudah 'diatur' untuk menjadi sesuatu yang dia ingin, aku serasa dipenjara.
"Ngomong-ngomong, kenapa akhirnya kamu mau ikut kerja di perusahaan Papamu?" Mau nggak mau, aku harus mengalihkan pembicaraan.
"Karena ingin pengalaman baru." Praha terlihat bersemangat. "Kamu tahu? Dari kuliah, aku itu anak organisasi banget. Ikut BEM, ikut UKM Sastra, juga banyak hal-hal lain yang kulakukan. Hal itu bikin aku sadar bahwa punya usaha sendiri juga nggak cukup. Aku harus menerobos perusahaan yang punya sistem. Biar aku bisa belajar banyak. Meskipun aku kerja di bagian konten medsos, tapi pada akhirnya, aku mempelajari banyak hal dari divisi-divisi di perusahaan Papa."
"Waw."
"Apalagi, jurusan kuliahku Ekonomi, kan. Aku ngerasa bahwa pengalaman kerja itu penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORGAYA (Segera Terbit)
Romanzi rosa / ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan kening. Gimana mungkin ada cowok berkeliaran di kos-kosan khusus perempuan? Aku yang kabur ke Bandu...