BAGIAN 30

372 90 28
                                    

Update lagi nih. Jangan lupa Vote dan Komen ya guys. Selamat membaca :)

***

Meta.

Lelaki Berkumis

Kejadian seminggu lalu masih terbayang alot di otakku. Gaya, Aura, Maudi, nama-nama itu seolah mengolok-olokku. Padahal, aku sama sekali nggak kenal dengan nama itu. Huh. Ribet juga jadi aku. Gimana mungkin aku bisa benci orang lain tanpa mengenalnya?

Waktu pulang makan malam itu, aku sempat bertanya meski kesal. Basecamp yang dimaksud Aura itu apa? Tanyaku ke Gaya.

Gaya menjawab enteng. "Itu tempat teman-teman kampus saya ngumpul. Kami biasanya ngajak pacar masing-masing. Terus pacaran di basecamp itu. Basecamp-nya dijadikan ajang pamer pacar. Nah kalau yang jomlo, biasanya akan jadi pawang. Hahahaha."

Penjelasan itu makin menjengkelkan, tapi aku masih penasaran. "Emang tempatnya di mana?"

"Di salah satu rumah temen. Di Buah Batu."

"Masih sering ke sana?"

"Nggak pernah lagi. Udah lama. Sejak putus sama Aura-lah. Setengah tahunan lalu. Lagian, saya sekarang lebih banyak main sama anak-anak Riung Mungpulung."

"Bilang aja kalau kamu jomblo. Takut dicengin!" Aku menambahkan dengan nada jutek.

"Haha. Itu salah satu alasan juga sih!"

Perjalanan pulang terasa begitu buruk. Aku bete luar biasa. Tentu, rasa itu mengikuti hingga sekarang. Padahal, aku juga mendapatkan hiburan sana-sini. Terutama dari Praha. Weekend kemarin pun, dia mengajakku nonton film di salah satu bioskop. Tapi, keresahanku soal masa lalu Gaya susah tergantikan oleh apa pun.

Aku menutup buku yang dari tadi malah jadi pendengar omelan-omelanku. Buku yang harusnya bisa bikin aku semangat, nggak mempan sama sekali. Ditambah, ada ketukkan cukup keras di pintu. Apa Si Mamang penjaga kosan lagi?

Waktu mau jalan bareng Gaya, lelaki itu sudah datang. Dia memperkenalkan diri sebagai penjaga kosan. Nggak mungkin dia datang jika bukan untuk menyampaikan hal penting.

Mau nggak mau, aku terpaksa bangun dari tempat tidur, lantas melangkah pelan ke arah pintu.

"Ada ap ....."

Sejenak, aku seperti dibangunkan dari mimpi. Wajah itu. Badan tegapnya. Semuanya nyata di depan mata. Bedanya, sekarang ada kumis. Hal itu menandakan jika dia tidak begitu mengurus diri. Bukankah biasanya selalu dipotong rapi?

"Bap-bapak." Ucapan itu keluar dengan susah payah. "Bapak kok ada ...."

"PULANG!"

Ucapan itu meluncur seperti semburan api. Wajahnya yang merah, membuatku sedikit bergidik.

"Masuk dulu, Pak. Meta mau bikinkan ..."

"Pulang!" tegasnya.

Perkataan Bapak sampai membuatku terguncang. Semua mode di dalam tubuh seolah terhenti. Aku gugup, gagap, beku, tetapi dipaksa untuk menerima sebuah kenyataan kalau Bapak ada di sini. Seketika, aku ingat telepon Sandrina beberapa hari lalu. Apa Bapak tahu alamatku dari Sandrina?

"Aku nggak bisa pulang!" jawabku tegas. "Aku sudah nyaman di sini."

"Rumahmu bukan di sini." Bapak menatapku tajam. "Rumahmu di Garut."

"Buat apa Meta pulang ke rumah yang bukan seperti rumah?" tanyaku.

Pertanyaan itu disambut diam. Aku melihat getaran di tubuh bapak, disusul suara batuk yang keras. Tentu, aku sedikit tersekat saat melihat leher Bapak, urat-uratnya ikut menonjol.

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang