BAGIAN 26

374 90 5
                                    

META.

PERMINTAAN

Kombinasi AC dan juga sikap Praha yang sama-sama dingin membuat mobil terasa semakin beku. Saat aku mengejarnya, dia bisa dususul. Dia bahkan berkata akan mengantarku pulang. Tapi setelah di dalam mobil, hanya embusan napas yang kudengar. Nggak ada obrolan apa pun. Aku lebih baik mati dari pada kayak patung begini.

"Pra. Kamu masih marah?"

"Menurutmu?" Praha bertanya balik tanpa menoleh.

"Aku harus gimana?"

"Kamu harus tegas!" Aku melihat urat-urat di punggung tangan yang menonjol. "Nggak ada cowok yang mau kalau keberadaannya cuma dianggap angin lewat doang."

"Tapi aku beneran bingung, Pra!" Aku mengembuskan napas. "Sikapmu yang seperti ini justru malah bikin aku ragu. Nggak sabaran, nuntut ini itu, bikin aku dilema, semuanya membuat cita-cita yang dulu terasa indah menguap gitu aja."

Ucapan itu membuat Praha menoleh. "Terus mau kamu apa sekarang?"

"Waktu!" Aku menggigit bibir. "Kamu sadar nggak sih, pertemuan aku dan kamu itu baru intens sekarang-sekarang!"

"Tapi kita udah saling kenal dari dulu. Dari kuliah. Dari ...."

"No!" Aku menatapnya. "Dulu, kita sebatas kenal aja. Baru akhir-akhir ini kita benar-benar dekat. Tandanya ...." Aku menatapnya dalam. "Kamu atau Gaya punya peluang yang sama. Kalian punya peluang yang sama untuk jadi orang terbaik untukku."

Perkataan itu mungkin sangat menyakitkan bagi Praha, tapi setelah dipikir-pikir, kenyataannya memang begitu kan? Satu-satunya cara untuk bisa memastikan orang yang kupilih tentu saja adalah waktu. Aku nggak mungkin memutuskan hanya dalam waktu singkat.

"Sekarang terserah kamu!" Aku melipatkan tangan di dada. "Kalau masih mau perjuangin aku, mangga, dilanjut. Kalau enggak, ya udah."

Itu adalah ucapan paling berani untuk Praha.

"Aku mengaku salah karena belum ngasih kepastian." Aku menatapnya sekali lagi. "Tapi aku juga punya hak untuk memastikan orang yang benar-benar baik buat aku. Bukan cuma modal kesiapan yang seperti kamu bilang!"

"Sorry, Met." Praha melirikku. Raut wajah yang tadi begitu keras, melunak. Dia bahkan mengangkat tangan kiri, kemudian mengusap jemariku. "Sorry kalau aku bikin kamu nggak nyaman. Aku sadar. Ternyata kita memang baru seumur jagung. Aku aja yang ngerasa udah kenal kamu lama. Seperti kata kamu, kenyataannya kita baru sebatas tahu. Belum saling kenal luar dalam."

"It's oke. Kita impas," jawabku. "Aku senang kalau kamu ngasih aku waktu."

Senyum Praha melebar, dia mengangguk. "Mau lanjut jalan lagi?"

"Pulang aja. Energiku sudah habis."

***

GAYA.

PENGORBANAN

"Harus dirayu dulu!" Samar, suara itu terdengar sampai ke ruang tengah. "Kali ini, Teteh tidak mungkin kalah. Teteh sudah di titik darah penghabisan. Sudah dua hari juga Teteh enggak ngobrol sama dia. Biar tahu rasa!"

Saya mendeham, membuat Mama menoleh sejenak. Ada raut yang masih terlihat seperti beberapa hari sebelumnya, kecut. Hingga dia berucap lagi. "Sudah dulu atuh ya, Mur. Teteh mau masak dulu."

Setelah telepon ditutup, Mama berbalik tanpa mengajakku mengobrol. Dia berjalan ke dapur dengan gerakkan cepat. Selama hidup, sepertinya ini pertengkaran terlama yang pernah terjadi. Sejam dua jam, biasanya Mama sudah ngajakin saya ngobrol lagi. Sementara saat ini, sudah dua hari Mama menyueki saya. Mama benar-benar memegang omongannya tempo hari. Dia nggak main-main untuk membujuk saya melamar pekerjaan di luar sana.

Langkah saya pelan mengarah ke dapur. Saya nggak mau lama-lama marahan kayak gini. Saat sampai, Mama sedang memotong bawang, saya lantas memeluknya dari belakang. "Ma ...."

Mama tidak menjawab.

"Jalan yuk?"

Masih diam.

"Ke mana aja deh. Gaya rela ngajak Mama jalan-jalan seharian." Saya menyambung lagi.

Dengan gerakkan cepat, kedua tangan saya diturunkan dari perutnya. Tentu saja saya tidak menyerah begitu saja. Saya terkekeh saat tangan itu masih melingkar di perutnya, seolah memiliki kekuatan super. "Nggak bakalan bisa Mama lepasin."

"Mau kamu teh apa sebenarnya?" Pertanyaan Mama terdengar begitu keras. Jutek. Khas ibu-ibu banget.

"Gaya nggak mau Mama marah lagi. Gaya rindu ngobrol sama Mama." Ucapan itu diucapkan dengan pelan di belakang telinga Mama. "Please, jangan marah lagi."

"Permintaan Mama cuma satu, kamu kerja!" tegasnya.

"Kan Gaya udah kerja. Gaya ...."

"Sttt!" potong Mama. "Mama sudah bosan dengan semua alasanmu. Kamu mah bedegong! Udah jelas-jelas Mama ingin kamu hidup sejahtera, ini malah mau susah-susahan jadi penyanyi. Haduh!"

Saya menghela napas dengan wajah membenam di rambutnya. "Mama nggak mau ditumpangi Gaya terus?"

"Kamu mau terus-terusan begini? Hidup teh kudu gerak. Jangan diam saja begitu."

"Gaya nyanyi! Nggak diem!"

Ucapan itu membuat Mama mengeluarkan sejenak tenaga. Hingga tangan saya yang masih melingkar di perutnya benar-benar lepas. Saya mendengar deru napas yang mengeras. "Udah ah, Mama nggak mau ngobrol lagi sama kamu."

"Tapi Ma ...."

Mama berbalik ke arahku sambil mengacungkan pisau yang sempat dipakai untuk memotong bawang tadi. Otomatis, saya mundur beberapa langkah.

"Pergi!" tegasnya. "Jangan ajak Mama ngobrol kalau kamu tidak mau nurutin Mama!"

Ucapan itu membuat saya benar-benar mundur. Saya berbalik dengan badan lemas. Ya ampun, si Mama benar-benar nggak asik. Mana pakek ngacung-ngacung pisau begitu. Jadi ngeri sendiri. Dia kira, mungkin anaknya ini kambing yang siap dicincang.

Apa saya harus nyerah di sini? Saya benar-benar nggak habis pikir dengan jalan pikiran Mama. Kenapa dia nggak ngasih saya kesempatan untuk membuktikan bahwa musik bisa membawa berkah?

Dari dulu, bukannya lu bilang gitu juga? Sekarang buktinya mana? Masih gitu-gitu aja!

Sialan! Benar juga. Apa saya terlalu naif dengan semuanya?

Pertanyaan itu terus berputar, bahkan setelah saya sampai di kamar. Berbagai kecamuk itu baru hilang saat saya melirik laptop yang ada di atas meja. Sudah lama sekali saya tidak membuka benda itu.

Saya melempar tas ke atas kasur, lantas duduk di kursi, menghadap laptop yang tertutup. Sebelum benar-benar membukanya, saya mengusap laptop itu dengan pelan. Debunya tebal banget. Mungkin, selama ini laptop yang saya pakai sejak kuliah selalu menangis hingga menghasilkan air mata yang bertransoformasi menjadi debu.

Lamaran kerja ....

Huh! Saya benar-benar nggak punya pilihan selain membuka benda itu. Saya ingat kata-kata Meta saat di vila. Dia bilang jika pilihan saya belum tentu yang terbaik. Pilihan saya belum tentu bikin Mama bahagia. Barangkali, puncak kebahagiaan Mama adalah melihat saya benar-benar kerja di suatu tempat.

Dari laptop ini, saya akan memulai.

Untuk pertama kalinya, saya melonggarkan ego dengan cara menekan tombol power. Demi Mama.

Salah! Demi dirimu sendiri!

Iya bawel! Demi saya sendiri ....

***

Apa Gaya akan benar-benar meninggalkan Bandung? Menurutmu gimana?

METAFORGAYA  (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang