ORANGTUA.
Ditinggalkan
Ada satu hal yang paling menyakitkan dalam hidup, yaitu membisu disaat rindu. Itu pula yang dirasakan Madi saat ini. Sejak lima menit lalu, posisi badannya tidak pernah berubah. Dia terbaring di atas kasur dengan mata mengarah ke langit-langit kamar. Sementara jempol tangan kanannya tidak berhenti mengetuk-ngetuk layar ponsel.
Si Geulis
Itu nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Si Geulis adalah panggilan kesayangan Pak Madi untuk Meta. Panggilan yang jarang diucapkan secara langsung, tetapi paling menempel di otak dan di hati.
"Bapak rindu," ucapnya.
Ini adalah hari ke lima belas Madi terluka karena rindu.
"Kamu anggap Bapak apa, Nak?" tanya Madi saat dia membaca surat yang ditulis Meta di hari kepergiaannya. "Apa kamu tidak pernah tahu perjuangan, Bapak?"
Masih tetap! Madi tidak pernah merasa dirinya menyakiti Meta. Madi masih menganggap bahwa semua hal yang dilakukannya adalah hal yang wajar. Bapak melindungi anak, bukankah itu keharusan? Pikirnya. Sayangnya, Meta tidak suka dengan sikap itu.
Jika sebelumnya Madi terbaring, kini dia bangun dari kasurnya dan memilih duduk di sisi ranjang. Dia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Dulu, Madi sering datang ke kamar Meta untuk pura-pura bertanya tentang apa pun.
Salah satunya,
"Met, tugasmu sudah selesai semua?"
Dan Meta pasti akan menjawab, "Kenapa Bapak nggak pernah berhenti menanyaiku tentang apa pun? Apa Bapak nggak bosen?"
Jawaban itu selalu membuat Madi tersenyum diam-diam. Jauh dilubuk hatinya, Madi sebenarnya ingin memastikan jika Meta ada di kamar dalam keadaan baik-baik saja.
Saat ini, pertanyaan-pertanyaan yang memuakkan bagi Meta tidak lagi bisa dilontarkan. Sialnya, Madi mengakui jika dia merindukannya, meski tak muncul melalui ucapan. Itu pula yang membuatnya berniat untuk menelepon Meta. Menghubungi nomor yang baru masuk beberapa hari lalu.
Alih-alih memijit ikon berwarna hijau untuk menelepon, Madi malah mematikan ponsel, lantas menyimpannya di atas ranjang. Gengsinya terlalu besar sehingga merasa tidak sanggup untuk sekadar menyapa lewat benda elektronik itu.
Sekarang, Madi menyalakan lampu meja sehingga ada sedikit penerangan. Di sisi lampu meja, ada satu frame foto yang bertengger. Tentu saja Madi mengambil foto itu, lantas menatapnya dalam.
Di foto itu, terdapat dua orang yang tengah duduk di situasi sakral. Si lelaki sedang menggenggam tangan seorang Bapak dengan wajah tegas dan penuh percaya diri. Sementara si perempuan terlihat tegang. Meski terbalut make up, wajah merahnya terlihat jelas. Entah memang setegang itu, atau effek dari kamera yang memotret gambar tersebut. Ya, itu foto saat ijab kabul berlangsung puluhan tahun lalu.
"Ma ....." Madi mengusap wajah perempuan di dalam foto. "Maafkan Bapak. Bapak tidak bisa jaga si Geulis. Ketegasan Bapak kalah oleh keras kepalanya dia yang mirip kamu."
Madi menghela napas berat, bibirnya bergetar saat pikirannya melayang kepada kejadian 23 tahun lalu.
"Meta marah ke Bapak. Meta berpikir jika semua yang Bapak lakukan membuatnya tersiksa. Padahal, Bapak hanya ingin melindunginya. Bapak tidak mau dia pergi seperti kamu yang meninggalkan Bapak. Apa yang harus Bapak lakukan? Bapak tidak sanggup membiarkan Meta jauh dari Bapak. Bapak juga tidak bisa membiarkan dia bebas begitu saja. Bapak takut!"
Berbarengan dengan kalimat terakhir dari ucapannya, Madi menjatuhkan badan di kasur sambil memeluk foto itu. Dia meringkuk dengan badan terguncang. Kekecewaan, rasa sedih, dan rasa bersalah pecah lewat tangisan. Dia memang terlihat kejam dengan segala peraturan dan ketegasannya. Namun sebenarnya, Madi adalah lelaki yang penuh rasa takut. Dia takut jika kesalahan yang pernah dia lakukan terulang kembali.
![](https://img.wattpad.com/cover/280853448-288-k554311.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
METAFORGAYA (Segera Terbit)
ChickLit[FOLLOW SEBELUM BACA YA GUYS 😘] **** "Saya Gaya!" Itu ucapan pertama cowok tengil yang tengah berdiri di hadapan pintu kosan. Tentu aku mengerutkan kening. Gimana mungkin ada cowok berkeliaran di kos-kosan khusus perempuan? Aku yang kabur ke Bandu...