Rindu.
Satu kata yang memiliki arti mendalam. Bagi sebagian orang rindu mungkin suatu hal yang menyenangkan. Bagi sebagian orang pula rindu adalah hal yang menyakitkan.
Jika bagi sebagian orang yang menganggap rindu itu menyenangkan maka akan ada waktu untuk mereka bertemu paling tidak keesokan harinya. Berpelukan, melepaskan rindu yang sudah menggebu-gebu. Memeluk raga yang sudah sangat dirundui.
Tapi tak sedikit pula yang menganggap rindu itu menyakitkan, untung saja jika raga itu masih bisa di peluk, untung saja jika raga itu masih bisa diajak bercerita bersama, untung saja jika raga itu masih bisa di lihat, dan untung saja jika raga itu masih bisa di sentuh.
Namun, jika nyatanya tak seindah itu?
Apa yang harus di lakukan?
Bagaimana jika raga itu sudah tak dapat lagi di gapai?
Memeluk pun sudah tak mungkin, berbicara pun sudah tak lagi bisa, melihat pun apalagi. Sangat menyakitkan jika merindukan seseorang yang telah pergi, kekal dan abadi. Menemui rumah masing-masing yang sudah ditentukan oleh sang pencipta.
Yah. Rindu itu sangat menyakitkan baginya. Bagi seorang gadis yang berusia 20 tahun. Zhafira Adele prathiba. Gadis dengan mata coklat khasnya mulai merasakan rindu setelah insiden itu. Saat dirinya berusia 10 tahun. Jika bagi anak-anak lain di usia seperti itu adalah saat-saat bagi seorang anak untuk beradaptasi di lingkungannya maka tidak dengan gadis itu.
Ia sibuk mengatasi rindunya yang tak terbendung. Dirinya yang masih kecil harus di paksa belajar tanpa adanya dukungan dari orang tua.
Kehilangan tentunya adalah hal yang paling menyakitkan bagi setiap orang dan merupakan hal yang paling di hindari tentunya. Namun, jika takdir berkata lain maka tak ada seorang pun yang dapat merubahnya.
Rindu dan kehilangan adalah dua kata yang saling berdampingan dan memiliki masing-masing arti tersendiri.
Zhafira menatap sendu langit dengan bintang-bintang yang bersinar terang di malam ini. Menatap dua bintang yang begitu bersinar dengan cahayanya masing-masing.
"Ayah sama Ibu lagi liatin aku ya di atas? Gimana, disana tenang ya?" Gadis itu tertawa hambar lalu menghapus air matanya yang sedari tadi menetes.
"Kakak rindu di temenin kalian. Apa yang harus kakak lakuin kalau lagi rindu gini? Sakit ya nahan rindu tanpa bisa meluk kalian langsung"
"Ibu--"
"-Kakak pengen di masakin bubur ayam buatan Ibu, Kakak sekarang udah ngga pernah makan bubur ayam lagi karna kakak cuma pengen makan bubur ayam buatan ibu aja" Zhafira lagi-lagi tersenyum kecut namun dengan mata yang mengeluarkan airnya.
"Ayah--"
"-kakak kangen, Kakak rindu di manja sama ayah, kakak pengen belajar main sepatu roda lagi walaupun kakak udah gede sekarang tapi kakak pengen belajar main sepatu roda bareng ayah lagi"
Zhafira kembali menghapus air matanya yang tak berhenti keluar. Dadanya terasa sakit. Sekujur tubuhnya kaku. Dirinya tak tau harus berbuat apa lagi sekarang.
"Kakak mau ikut ayah sama ibu aja, kalian bahagia ya tanpa kakak? kenapa ngga bawa kakak sama kalian? Kakak kangen hiksss..."
Gadis itu menunduk, menyembunyikan wajahnya diantara kakinya yang ia tekuk. Zhafira merindukan sosok yang tak dapat ia gapai, ia merindukan sosok yang tak dapat ia sentuh. Menyakitkan, sungguh menyakitkan.
Tak ada hal lain yang lebih menyakitkan dari rindu yang tak kunjung ada temu. Tak ada yang lebih menyakitkan dari rindu yang tak mendapatkan pertemuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arran dan lukanya [on going]
Teen Fiction"Dari keluarga ini aku belajar; bagaimana caranya agar tidak menyakiti anak-anakku kelak" ___ Arran.