1

248 11 0
                                    

"Aku rasa tak baik jika terlalu sibuk dengan pekerjaan, Cyntia." Ucap nenekku, keluargaku satu-satunya.

"Bukankah wanita karir adalah hal yang sangat menakjubkan?" Aku bertanya seakan menguji.

"Menjadi seorang istri dan ibu adalah wanita karir. Berkarir untuk karir suami dan anaknya." Balas nenekku dengan percaya diri.

Pegawai pun meletakan roti bakar dengan taburan coklat. Nenekku segera mengambil piring itu dan memberikan kepada salah satu asisten pribadi nenek, rupanya pegawai baru itu tidak tahu jika aku sangat membenci coklat.

Aku tak tahu harus mengeluarkan alibi apa lagi. Cukup diam dan memberi senyuman manis dihadapan nenekku ini. Ia pun tertawa lagi.

Aku memang terlalu mencintai pekerjaanku. Mana mungkin aku mengabaikan pekerjaanku, sebuah bisnis kecil yang aku rintis hingga menjadi perusahan ternama adalah mimpiku. Dilema akan pekerjaan dan cinta tak pernah menghampiriku. Tentu pilihanku adalah karirku.

"Bagaimana bisnismu?" Tanya nenekku.

"Cukup lancar, hanya ada batu kerikil yang menghalangi." Jawabku, tentu aku berbohong.

Tak ada bisnis yang selalu berjalan mulus. Jika roda terus berputar, mungkin saat ini roda kehidupanku hampir mendekati titik terendah. Harga saham mulai turun secara perlahan. Sumber daya pun perlu asupan uang. Aplikasi chatting pada ponsel yang sebelumnya selalu digunakan, kini mulai redup secara perlahan. Usaha untuk membuat aplikasi tersebut kembali bersinar sudah kami lakukan hingga aku kehabisa ide.

"Nanti malam kau akan pulang?" Tanya nenekku.

"Mungkin." Balasku, sepertinya hari ini aku tak akan pulang lagi.

"Sebelumnya kita hanya tinggal di rumah yang ukurannya sama seperti ruang tamuku, tetapi rumah itu lebih nyaman untuk ditinggali." Ucap nenekku. Ia meletakkan kedua sendok dan garpunya di atas meja.

Kami pun berhenti menyantap makanan kami. Mata kami bertemu. Aku pun baru menyadari jika ia kesepian.

"Sekarang aku tinggal sendiri dengan lima orang pembantu. Kau semakin lama mulai jarang di rumah ini. Awalnya memiliki apartement dekat perusahaan hanya untuk tempat singgah sesaat, semakin lama kau semakin sering disana, bahkan saat ini aku dengar dari sekertarismu jika kau lebih sering tinggal di kantor."

Aku pun melirik ke arah jam dinding. Waktuku tersisa 10 menit lagi. Namun, bagaimana mungkin aku meninggalkannya saat ini.

"Jika kau tidak bisa menemaniku di sisa hidupku, tidak bisakah kau memberikanku seorang cucu. Tak perlu banyak, tiga pun cukup." Aku pun langsung tertawa lepas setelah suasana menegangkan itu.

Namun, nenekku tak tertawa. Ia kembali menyantap makanannya tanpa menatapku. Sepertinya ia berbicara serius.

"Aku rasa waktuku takkan lama." Aku benci ucapan itu lagi. "Mana mungkin aku hidup ratusan tahun, saat ini saja berjalan kaki membuatku lelah." Lanjutnya.

Aku diam. Suasana pun kembali menegangkan.

"Aku tahu kau sudah ingin pergi karena tadi kau sudah melirik ke arah jam." Ia selalu memahamiku.

Baiklah, waktunya untuk bekerja.

"Kabulkan permintaanku saat ini jika kau tidak akan pulang ke rumah hari ini." Ucapnya dengan wajah yang mengekspresikan kesedihan itu.

"Baiklah, apa?" Tanyaku, aku pun segera menghampirinya untuk memeluk tubuhnya.

"Nanti siang aku beri tahu."

***
Bersambung

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang