Pertemuan kedua, ia begitu takut untuk bertemu denganku. Aku belum berdiri di hadapannya, tetapi mengapa ia sudah pergi lebih dulu. Kata maaf pun tertunda, seharusnya aku tak berbicara kasar padanya dan meminta maaf saat kami bertemu pertama kali.
Ia tampak lebih cantik dan lebih berwibawa dibandingkan saat kita dibangku sekolah. Kini tiap langkahnya diikuti oleh berbagai pegawai dan bahkan ia menjadi pemilik perusahaan. Aku menjadi bangga padanya. Namun, sayang ia tampak pucat dan lebih kurus.
"Zeri?!" Seseorang menyebut namaku.
Ah, rupanya Kezia. Ia masih bersahabat dengan Cyntia.
"Kalian saling mengenal?" Tanya kakakku.
"Tidak." Jawab Kezia dengan cepat.
Mengapa ia berbohong? Yasudahlah, aku tak peduli.
Aku dan kakakku memasuki mobil. Sesaat aku pun berfikir, mungkinkah ia belum makan siang karena pertemuan kami tadi? Ia bahkan tak meneguk air putih di restoran tadi.
"Kau lihat perempuan tadi?" Tanya kakakku.
"Ia pemilik perusahaan itu dan dia wanita yang akan dijodohkan denganku." Informasi yang ia beritahu sudah aku ketahui lebih dulu.
"Lalu, kakak suka?" Tanyaku, hanya basa-basi.
"Tentu." Jawaban yang cukup membuatku kesal.
"Ia akan mengajakku makan malam dua hari lagi. Mungkin aku ingin membahas perjodohan itu, jika ia menerimanya mungkin semua akan berjalan sangat lancar." Lanjutnya.
"Jangan suka padanya!" Pintaku.
"Kenapa?" Ia bertanya.
"Ia mencintai pria lain dan pria yang ia cintai lebih mencintainya." Jawabku.
***
Akhirnya kami akan bertemu lagi. Ia bahkan tahu jika aku akan hadir. Aku sangat menantikan pertemuan ini. Aku akan meminta maaf padanya, setelah itu aku akan menyerah padanya.
"Ayo!" David mengajakku memasuki restoran.
"Ibu bilang ia tak memiliki kekasih, bagaimana seseorang saling mencintai tetapi tak saling memiliki?" David mengungkit hal itu lagi.
"Lalu, kau ingin melanjutkan perjodohan itu?" Tanyaku. Aku takut mendengar jawabannya.
"Jika ia membicarakan lebih dulu." Balasnya.
"Jika tidak?" Tanyaku.
"Jika tidak berarti hatinya ditempati orang lain. Jika ia membuka hati tentang perjodohan ini, berarti hatinya sedang kosong. Aku-"
"Sudahlah, dia sudah tiba." Aku menghentikan ucapannya.
Makan malam kami berjalan lancar. Walau ia lebih banyak mengabaikanku, tak apa. Pasti akan ada celah kami akan berbicara berdua. Selama ada David, ia tidak menunjukkan wajah yang ketakutan. Menyebalkan! Lalu, mengapa ia takut jika hanya berdua denganku.
Aku tak bisa berhenti memandanginya. Ia sangat cantik, semua pria pasti akan takluk padanya. Tidak berdandan saja sudah sangat cantik dan membuat jantuku berdebar, apalagi berdandan seperti ini. Fikiran mungkinkah ia berdandan untukku berhasil membuat wajahku merona. Entahlah, jika melihat senyumannya saat ini aku ingin egois untuk memiliki hatinya.
Ponsel David berdering, aku tahu itu rekan kerjanya. Ia pun pergi meninggalkan kami berdua karena ingin menerima panggilan itu. Akhirnya, suasana ini membuatku tersenyum meski ia mulai tampak takut lagi.
"Aku memaafkanmu." Ucapan itu mendahului permintaan maafku.
"Tentang apa?" Bagian mana yang ia maafkan? Aku sudah terlalu banyak berdosa padanya.
"Masa lalu kita." Balasnya.
Aku tersenyum. Namun, aku tidak ingin hubungan ini berakhir hanya dengan kata maaf.
Hening. Makanannya sudah habis, ia pun meneguk minumannya sedikit. Aku tidak dapat berhenti menatapnya.
"Kau tahu jika aku dan kakakmu akan dijodohkan?" Aku tak menyangka jika ia menanyakan hal itu. Bukankah Henry telah memiliki hatinya?
"Iya." Jawabku amat singkat.
"Apakah kakakmu tahu?"
"Aku rasa." Balasku. Aku tak ingin membahas hal ini. Tolong jangan bahas hal ini!
Ia menarik nafas panjang dan memberanikan diri untuk berbicara lebih dalam.
"Sebentar lagi kita akan menjadi partner kerja. Aku mohon kerjasamanya dan aku mohon jangan menginjak-injak harga diriku lagi." Mendengar suaranya yang gemetar karena kerakutan membuatku sedih.
"Tentu tidak, mana mungkin aku melakukan hal buruk kepada rekan kerja." Jawabku dengan santai.
"Kata nenekku, kakakmu belum memiliki kekasih. Aku pun memutuskan untuk menerima perjodohanku dan kakakmu." Suaranya begitu yakin. Aku membenci rencananya.
"Lalu?"
"Tujuanku kesini bukanlah bertemu denganmu yang akan menggantikan kakakmu saat perusahaan bekerjasama. Tujuanku kesini untuk membicarakan perjodohan ini. Sekali lagi aku meminta tolong, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?" Sungguh, ucapan itu sangat menyakiti hatiku.
Hening. Aku menatapnya, aku menahan amarahku.
Persahabatanku dan Henry rusak karenanya. Aku bahkan pindah ke Amerika karena tidak ingin melanjutkan kehidupanku sebagai pria yang menyiksa perempuan yang ia sukai. Apakah ia tahu jika aku selalu sakit hati jika menyaksikan ia tertawa bersama Henry?
Rupanya semua sia-sia.
"Kau sungguh ingin menjadi kakak iparku?" Ia bertanya padanya.
Ia diam dan hanya menatapku. Mata yang gemetar saat menatap mataku sangat memperjelas jika ia takut kepadaku.
"Jawablah dengan jujur, apakah kau masih takut denganku?" Tanyaku, kesal.
"Untuk kali ini, aku mohon-"
"Jawablah dengan jujur, apakah kau berdandan cantik untuk bertemu dengan kakakku?" Aku bertanya lagi. Ia mengangguk pelan.
Menyebalkan, semua sungguh sia-sia. Aku yakin jika ia tak mencintai kakakku. Apakah mungkin ia melakukan ini agar perusahaannya kembali stabil?
"Kau tidak berubah, masih murahan." Kebiasaanku menghinanya muncul kembali.
Aku menghinanya agar ia melihatku, bukan sungguh ingin menginjak harga dirinya. Matanya selalu terpaku oleh pria lain, bagiku cara itu yang bisa membuatnya melirik ke arahku sesaat.
"Kau bebas menghinaku. Tapi bisakah kau membiarkan aku dan David bicara berdua?" Pintanya.
"Bicarakan saja dihadapanku, aku tak peduli. Lagipula kalian telah mengabaikanku sejak awal." Balasku.
"Bagaimana mungkin? Aku akan canggung. Ayolah, David sudah dekat!" Pintanya dengan tegas.
"Mau aku beri tahu cara yang mudah?"
Aku pun menghampiri wajahnya, aku menciumnya dengan yakin. Ia berusaha menghindar tetapi aku memaksanya. Beberapa detik pun ciuman itu berakhir. Beberapa detik yang cukup menjelaskan kepadanya dan David jika aku mencintainya.
"Ini bantuan dariku." Ucapku, sambil tersenyum.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...