24

61 5 4
                                    

"Aku dengar kau bertunangan dengan Zeri." Ucapan Henry membuatku menghentikan gerakan jariku yang sibuk mengaduk minumanku. Seketika aku pun membatu.

Bagaimana mungkin ia mengetahui itu semua?

Apa yang harus aku jawab?

Aku pun melihat ke arahnya. Henry pun mulai meneguk teh hangat di hadapannya. Setelah dua tegukan selesai, ia kembali meletakan cangkirnya diatas meja. Matanya pun menangkap tatapanku hingga mata kami bertemu. Hanya beberapa detik mata kami bertemu karena aku mengalihkan pandanganku dengan cepat ke arah yang lain.

"Darimana kau tahu jika aku dan Zeri bertunangan?" Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan.

"Zeri." Jawaban yang mengejutkan. Aku pun kembali melihat ke arahnya. Aku pun mulai melihat wajahnya lagi.

Ia tersenyum saat tatapan kami bertemu.

"Aku sungguh tak percaya jika orang yang saling bermusuhan akan saling mencintai." Ungkapnya dan aku diam seribu bahasa.

Saling mencintai?

Entahlah, aku yakin jika aku tidak mencintainya. Lagipula bagaimana mungkin aku mencintai pria yang menyebalkan itu? Tidak mungkin aku mencintai Zeri. Hubungan kami hanya sebatas kontrak dan akan berakhir dengan cepat. Namun, tak mungkin aku menjelaskan jika hubungan kami sebatas kontrak.

"Mengapa kau datang menemuiku?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tak apa. Hanya ingin bertemu." Balasnya.

"Berapa lama kau di Indonesia?" Tanyaku lagi.

"Entahlah, mungkin satu minggu."

"Oh." Aku tak tahu harus membalas dengan kalimat apa lagi.

"Mungkin akan lebih lama jika masalahku terselesaikan." Lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan.

Hening.

Aku tak suka suasana yang canggung ini. Ini jauh lebih menegangkan dari pertemuanku dengan Zeri yang tak disengaja saat itu.

"Berapa lama Zeri di Amerika?" Tanya Henry.

"Seminggu, tetapi sudah seminggu ia tak pulang." Jawabku.

Sebentar, bagaimana mungkin Henry mengetahui Zeri sedang di Amerika?

"Bagaimana kabar Zeri?" Tanya Henry lagi.

"Sangat baik. Ia mengambil alih beberapa bisnis keluarganya. Ia juga membantu bisnis yang dikelola kakaknya. Kau tahu David, ia kakak Zeri? Bayangkan mereka sering bertengkar seperti anak kecil jika Zeri terlalu malas." Jawabku.

Hening.

"Oh iya, apakah kau tahu jika Zeri pandai memasak?" Tanyaku pada Henry.

"Iya." Jawabnya singkat.

"Ya, aku tak percaya pria menyebalkan itu sangat pandai memasak. Berkat kepandaiannya itu, aku berhasil menghemat pemasukanku. Kau tahu, sebelum dia pergi ke Amerika, dia memasak banyak sekali makanan. Aku bahkan sampai kekenyangan. Pasti saat ini aku terlihat gemuk, kan?" Lanjutku.

"Akhirnya kau banyak bicara." Balas Henry, ia pun meneguk tehnya lagi.

Aku pun diam.

Aku merasa bersalah saat membicarakan Zeri dihadapan Henry. Apakah itu suatu kesalahan fatal?

Aku menoleh ke arah jendela, rupanya langit mendung. Sepertinya tak lama lagi hujan akan turun. Angin pun berhembus cukup kencang hingga pepohonan terlihat bergoyang.

Ponselku berdering, aku segera melihat ponselku. Aku fikir siapa yang menghubungiku. Rupanya Kezia.

'Dimana? Cepat ke kantor, ada yang harus kau tanda tangani!' Pesan dari Kezia.

'Caffee depan kantor. Tunggu sebentar.' Balasku.

Aku menoleh ke arah Henry, rupanya ia sedang menatapku. Aku membalas pertemuan mata kami dengan senyuman, aku berusaha meleburkan rasa canggungku padanya.

"Aku harus kembali bekerja." Ucapku sambil bangkit dari tempat dudukku.

"Besok boleh aku datang lagi?" Tanya Henry.

Sejujurnya aku bingung menjawab apa karena hanya Kezia yang tahu jadwalku secara rinci. Namun, seharusnya aku meluangkan banyak waktu untuknya karena aku sudah lama tak berjumpa dengannya. Aku harus meluangkan waktu untuknya, kan?

"Boleh." Jawabku setelah berfikir cukup panjang.

"Baik, sekarang aku antar kau sampai depan kantor." Balasnya. Aku pun mengangguk pelan.

Kami pun melangkah bersama. Aku merasa sangat canggung di dekatnya, mungkin karena kita lama tak berjumpa. Ia juga terlihat tak banyak bicara saat ini. Bahkan kami melangkah dengan jarak yang cukup terlihat jelas, mungkin satu orang dapat berjalan diantara kami.

"Kau sekarang semakin hebat." Akhirnya ia membuka pembicaraan.

"Ya, semua berkatmu." Balasku.

Ia diam lagi.

Hening.

"Bagaimana pekerjaanmu di Amerika?" Tanyaku untuk memusnahkan keheningan.

"Biasa saja." Jawabnya singkat.

Kami pun kembali melangkah di tengah kesunyian.

Tetesan air pun mengenai hidungku. Aku menatap langit, rupanya rintikan air hujan segera menyerang kami. Henry pun segera menggenggam tanganku dengan sangat erat. Ia menarikku agar berlari dengan cepat. Ia berlari di depanku, aku pun mengikutinya. Mataku terpaku pada tanganku yang digenggam erat olehnya. Dibawah rintik hujan, aku berlari bersamanya.

"Sampai!" Ucapnya saat kami tiba di depan kantorku.

Henry menatap langit yang terus meneteskan miliaran tetesan air. Langit keabuan dan kilatan cahaya juga berada dalam pandangannya. Suara air yang menyerbu jalan mengisi keheningan diantara kami. Angin yang berhembus juga membuatku kedinginan. Saat ia terpaku dengan hujan, aku hanya terpaku pada tangannya yang masih menggenggam tanganku dengan erat.

"Masuklah!" Pintanya.

Aku menunjuk tangannya yang menggenggam tanganku dengan mataku.

"Ah, maaf!" Ucapnya lagi. Aku hanya membalas dengan senyuman.

Ia segera melepaskan tanganku dari genggaman tangannya. Lagi-lagi rasa canggung menghantui kami.

"Aku akan masuk." Ucapku.

"Masuklah! Aku akan menghubungi taxi." Balasnya.

Aku pun mengangguk pelan.

"Sampai jumpa!" Balasku, ia membalas dengan lambaian dan senyumnya.

Tanpa berfikir panjang aku pun pergi meninggalkannya dengan langkah yang sangat cepat. Saat aku memasuki lobby, langkahku semakin lama semakin melambat karena ada hal yang merasuki fikiranku. Langkahku terhenti di depan lift. Mataku menatap pintu lift yang tertutup dengan tatapan kosong.

Mengapa rasanya biasa saja saat bertemu dengan Henry? Bukankah seharusnya aku merasa senang? Entahlah, perasaanku saat bertemu dengannya seperti merasa bertemu dengan teman lama.

Ada hal yang lebih aneh,

Genggaman tangannya itu sama sekali tak membuat jantungku berdebar. Bahkan perasaan yang dulu menguasai hatiku tak muncul lagi saat tangan kami bergenggaman. Ada apa denganku?

***

Bersambung.

Don't call it love!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang