Sesungguhnya banyak hal yang harus aku bicarakan kepada Cinta hari ini. Aku ingin berdiskusi untuk mencari jalan keluar dari permasalahan proyek yang dilakukan perusahaanku dan perusahaan Cyntia. Proyek kami berjalan sangat lancar pada awalnya, tetapi beberapa pemegang saham perusahaanku tidak menyukai proyek itu karena reputasi perusahaan Cyntia sedang tidak baik. Sebagai partner kerja, aku adalah partner yang buruk karena tidak memberi tahu keadaan itu. Namun, aku tidak ingin membuatnya khawatir. Selama aku bisa menangani permasalahan ini, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menanganinya. Aku hanya perlu mencari cara untuk meyakinkan pemegang saham bahwa bahan makanan yang diproduksi perusahaan Cyntia sangat bagus dalam proyek bisnis makanan ini.
Saat ini hal yang terburuk adalah ia tiba di hadapanku, mengapa ia tahu jika aku sudah pulang? Bahkan, mengapa ia datang untuk menghampiriku?
Aku tidak ingin mendiskusikan permasalahan proyek itu dihadapan Cyntia, Cinta tahu itu. Bahkan aku dan Cinta kebingungan bukan main apa yang akan kami lakukan saat ini?
Pembicaraanku dan Cinta tentang proyek itu pun dibatalkan, dengan terpaksa kami mengisi waktu luang itu untuk bernostalgia saat kami sekolah di Amerika. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari sulitnya menjalani kehidupan, sulitnya beradaptasi, keluh kesah yang tak ada henti, hingga membicarakan kebiasaan kami. Banyak hal yang kami bicarakan, hal-hal yang tak begitu penting.
Tanpa aku sadari, aku lebih banyak berbincang dengan Cinta dibandingkan dengan Cyntia. Mungkin karena aku bertemu dengan teman lama yang banyak bicara, sehingga aku melupakan keberadaan Cyntia sesaat.
Aku pun menoleh kearahnya.
Entahlah apa alasannya tetapi setiap aku melihatnya, hal yang aku fikirkan pertama kali adalah 'apakah ia sudah makan?'. Ia memang terlihat baik-baik saja secara jasmani, meski ia terlihat hampir mati kebosanan. Aku melihat wajahnya yang terlihat sangat jenuh.
"Cyntia!" Aku memanggilnya, ia segera menoleh ke arahku.
"Kau sudah makan?" Tanyaku. Mengapa ekspresinya terlihat sangat kesal seakan sangat marah saat mendengar pertanyaanku?
"Sudah." Jawabannya sangat singkat.
Kami diam.
Aku menatapnya, tetapi ia tak sedetik pun membalas tatapan mataku. Ada apa dengannya?
Mungkinkah ia berbohong dan sangat kelaparan? Oh, sepertinya ia kesal karena sangat lapar.
"Aku keluar sebentar." Ucapku dan aku segera keluar dari kantorku.
Cinta sangat pandai mencari teman. Cyntia juga sangat ramah. Aku tak perlu khawatir untuk meninggalkan mereka berdua. Aku yakin jika mereka akan cepat akrab.
Aku segera memasuki lift tanpa berfikir panjang. Otakku seakan memberi instruksi bahwa aku harus memberikan Cyntia makan secepatnya sehingga gerak tubuhku lebih cepat. Aneh sekali diriku ini. Rasanya terlalu mabuk cinta, bukan?
Mataku hanya menatap layar yang menunjukkan lantai yang telah dicapai oleh lift yang aku naiki. Jika memperhatikan layar itu terus-menerus rasanya waktu berjalan sangat lambat. Namun, aku tetap saja menatap layar itu seakan tak sabar untuk segera tiba di lantai 1.
'1' akhirnya, aku tiba di lantai 1!
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar dari lift. Lagi-lagi langkahku semakin cepat. Aku sadar jika diriku terlalu tergesa-gesa. Aku ingin berjalan santai tetapi otak ini memegang kendali tubuhku.
"Saya ingin bertemu Zeri, saya sahabatnya." Langkahku terhenti saat melewati meja resepsionis. Siapa yang mengaku jadi sahabatku?
Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Aku pun melangkah menghampiri meja resepsionis itu. Rupanya seorang pria mencariku dan mengaku jadi sahabatku. Aku tidak melihat wajahnya karena ia membelakangiku. Aku ingin tahu siapa pria itu sehingga aku menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't call it love!
Teen FictionSemesta rasanya tidak berpihak pada Cyntia. Tidak hanya perusahaannya yang sedang berada dibawah roda kehidupan, tetapi neneknya sakit dan terus memaksanya menikah. Orang yang ia cintai dan mencintainya pun hilang tak ada kabar. Tak ada pertolongan...